Sejak
dua minggu yang lalu, Dian, adikku, menjadi murung tanpa sebab yang jelas. Ia
jadi sering mengurung diri di dalam kamar dengan alasan yang masih menjadi rahasia.
Sebagai sesama perempuan, ibuku telah beberapa kali menanyakan persoalannya itu.
Tetapi ia tetap tidak ingin bercerita, seolah-olah ia memang ingin memendam permasalahannya
sendiri.
Akhirnya,
sikap Dian mengubah suasana rumah. Tak ada lagi keceriaan setelah ia tak lagi
melontarkan gurauan. Tak ada lagi gelak tawa setelah ia tak lagi
mempertontonkan kekonyolan. Yang ada malah sebaliknya. Suasana rumah semakin tidak
menyenangkan setelah ia tak sungkan lagi bersungut-sungut di hadapan orang
lain, termasuk kepada teman kuliahku yang kerap bertamu.
Aku
dan ibu pun jadi kelimpungan. Kami bingung bagaimana mengeluarkannya dari
masalah yang kami sendiri tidak tahu. Kami tak lagi punya cara selain berpasrah
dan berharap semoga perasaannya segera membaik dengan sendirinya. Apalagi, kami
telah sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa ia sedang dilanda persoalan
asmara di usianya yang telah dewasa.
Sangkaan
atas masalah percintaan, terhitung jitu, sebab didasarkan pada pendapat ibuku. Ia
mengatakan bahwa perempuan yang patah hati atas laki-laki, akan menunjukkan
gejala seperti sikap adikku. Ia tahu karena ia pernah mengalaminya ketika ia cemburu
melihat ayahku dekat dengan wanita yang lain di masa pekenalan mereka.
Tetapi
masalahnya, menurut ibuku pula, kegalauan adikku sudah pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Sudah lewat dua minggu, tetapi ia masih saja larut dalam kemurungan.
Hingga kami pun bertanya-tanya, serumit apakah cerita cinta yang menghancurkan
perasaannya. Apalagi, setahu kami, ia tak pernah menjalin hubungan spesial dengan
seorang lelaki pun.
Namun
akhirnya, dari keadaan Dina, aku memahami betapa rapuhnya perasaan perempuan. Karena
itu, aku bertekad menjaga perasaan perempuan, sebagaimana aku ingin laki-laki menjaga
perasaan adik perempuanku. Aku tak akan seperti teman-temanku yang gemar
mengobral kata cinta kepada perempuan, kemudian pergi setelah menancapkan
harapan.
Penentanganku
terhadap intrik atas nama cinta, jadi semakin menguat setelah kehilangan demi kehilanganku
belakangan ini. Aku telah kehilangan kehangatan di dalam rumah setelah adikku mendingin
akibat persoalan yang kuyakin adalah cinta semu. Aku pun telah kehilangan kehangatan
di luar rumah setelah teman-temanku sibuk dengan para cinta sesaatnya.
Aku
benar-benar kesepian. Apalagi setelah empat belas hari yang lalu, Roda, teman baikku,
kembali berhasil mendapatkan kekasih baru dengan modal ketampanannya. Ia lantas
menghabiskan waktu-waktunya dengan sang wanita, sebagaimana yang tampak di akun media sosialnya, dan aku merasa tak sepatutnya mengganggu.
Sepuluh
hari yang lalu adalah waktu kebersamaanku yang terakhir kalinya dengan Roda. Ia
datang dengan penuh semangat untuk berbagi cerita tentang kekasih barunya.
Tetapi belum juga bermain gim sesuai rencana, ia memilih pulang karena merasa
kurang nyaman setelah mendengar suara tangis Dina di sela-sela suara ibuku yang
tak henti mengucapkan kata-kata penenang.
Namun
tiba-tiba, siang ini, aku mendapatkan panggilan telepon darinya. “Hai, aku
boleh ke rumahmu sore ini atau tidak?” tanyanya, terdengar bersemangat.
Tentu
saja aku merasa senang mendengar tawarannya. Itu berarti kami akan kembali
bersenang-senang dengan bermain gim. “Terserah kau saja. Yang penting kau
benar-benar sempat dan tak punya urusan lain dengan si dia,” candaku, bermaksud
menyingung soal pujaan hatinya.
Ia
pun tergelak. “Kan bisa sekalian aku bawa ke rumahmu, agar kau mengenalnya
juga,” katanya, kemudian kembali melepas tawa.
Aku
pun balas tertawa. “Terserah kau saja kalau begitu.”
“Baiklah.
Sampai jumpa sore nanti.”
“Oke!”
Setelah
perjanjian itu, aku pun lekas mengatur dan mempersiapkan perangkat playstation yang pasti kami mainkan ketika
ia datang. Selepas itu, aku lantas beranjak ke samping rumah untuk mengambil
buah rambutan yang kukira pas sebagai cemilan kami nantinya.
Sesampainya
di bawah pohon rambutan, tiba-tiba, aku melihat sebuah boneka beruang berukuran
sedang dengan bagian kaki dan kepala yang terpisah dari sisi badannya yang
sobek. Perangkat boneka itu tersebar di antara pohon rambutan dan sisi belakang
kamar Dina. Dan setelah mengingat-ingat, aku pun tahu kalau boneka itu adalah
pemberian Roda di hari ulang tahun Dina yang ke-17, tiga bulan yang lalu.
Seketika,
aku lantas bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi
Roda. “Halo, kawan, sebaiknya, kau tak datang sore ini. Ada masalah keluarga
yang mesti aku urus terlebih dahulu,” kataku.
Ia
sontak mengeluh. Terdengar sangat kecewa. “Memangnya masalah apa?”
“Kau
tak perlu tahu,” jawabku, berharap ia memahami saja.
Ia
pun mengaduh. Terkesan sangat berat menerima. “Kalau besok bagaimana?”
“Entahlah.
Sepertinya masalah ini masih akan berlangsung lama.”
Lagi-lagi,
ia mengaduh. “Baiklah kalau begitu. Kabari aku kalau sudah boleh bertamu.”
“Baiklah.”
Sambungan
telepon pun terputus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar