Minggu, 07 Juni 2020

Jangan Datang

Sejak dua minggu yang lalu, Dian, adikku, menjadi murung tanpa sebab yang jelas. Ia jadi sering mengurung diri di dalam kamar dengan alasan yang masih menjadi rahasia. Sebagai sesama perempuan, ibuku telah beberapa kali menanyakan persoalannya itu. Tetapi ia tetap tidak ingin bercerita, seolah-olah ia memang ingin memendam permasalahannya sendiri.

Akhirnya, sikap Dian mengubah suasana rumah. Tak ada lagi keceriaan setelah ia tak lagi melontarkan gurauan. Tak ada lagi gelak tawa setelah ia tak lagi mempertontonkan kekonyolan. Yang ada malah sebaliknya. Suasana rumah semakin tidak menyenangkan setelah ia tak sungkan lagi bersungut-sungut di hadapan orang lain, termasuk kepada teman kuliahku yang kerap bertamu.

Aku dan ibu pun jadi kelimpungan. Kami bingung bagaimana mengeluarkannya dari masalah yang kami sendiri tidak tahu. Kami tak lagi punya cara selain berpasrah dan berharap semoga perasaannya segera membaik dengan sendirinya. Apalagi, kami telah sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa ia sedang dilanda persoalan asmara di usianya yang telah dewasa.

Sangkaan atas masalah percintaan, terhitung jitu, sebab didasarkan pada pendapat ibuku. Ia mengatakan bahwa perempuan yang patah hati atas laki-laki, akan menunjukkan gejala seperti sikap adikku. Ia tahu karena ia pernah mengalaminya ketika ia cemburu melihat ayahku dekat dengan wanita yang lain di masa pekenalan mereka.

Tetapi masalahnya, menurut ibuku pula, kegalauan adikku sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sudah lewat dua minggu, tetapi ia masih saja larut dalam kemurungan. Hingga kami pun bertanya-tanya, serumit apakah cerita cinta yang menghancurkan perasaannya. Apalagi, setahu kami, ia tak pernah menjalin hubungan spesial dengan seorang lelaki pun.

Namun akhirnya, dari keadaan Dina, aku memahami betapa rapuhnya perasaan perempuan. Karena itu, aku bertekad menjaga perasaan perempuan, sebagaimana aku ingin laki-laki menjaga perasaan adik perempuanku. Aku tak akan seperti teman-temanku yang gemar mengobral kata cinta kepada perempuan, kemudian pergi setelah menancapkan harapan.

Penentanganku terhadap intrik atas nama cinta, jadi semakin menguat setelah kehilangan demi kehilanganku belakangan ini. Aku telah kehilangan kehangatan di dalam rumah setelah adikku mendingin akibat persoalan yang kuyakin adalah cinta semu. Aku pun telah kehilangan kehangatan di luar rumah setelah teman-temanku sibuk dengan para cinta sesaatnya.

Aku benar-benar kesepian. Apalagi setelah empat belas hari yang lalu, Roda, teman baikku, kembali berhasil mendapatkan kekasih baru dengan modal ketampanannya. Ia lantas menghabiskan waktu-waktunya dengan sang wanita, sebagaimana yang tampak di akun media sosialnya, dan aku merasa tak sepatutnya mengganggu.

Sepuluh hari yang lalu adalah waktu kebersamaanku yang terakhir kalinya dengan Roda. Ia datang dengan penuh semangat untuk berbagi cerita tentang kekasih barunya. Tetapi belum juga bermain gim sesuai rencana, ia memilih pulang karena merasa kurang nyaman setelah mendengar suara tangis Dina di sela-sela suara ibuku yang tak henti mengucapkan kata-kata penenang.

Namun tiba-tiba, siang ini, aku mendapatkan panggilan telepon darinya. “Hai, aku boleh ke rumahmu sore ini atau tidak?” tanyanya, terdengar bersemangat.

Tentu saja aku merasa senang mendengar tawarannya. Itu berarti kami akan kembali bersenang-senang dengan bermain gim. “Terserah kau saja. Yang penting kau benar-benar sempat dan tak punya urusan lain dengan si dia,” candaku, bermaksud menyingung soal pujaan hatinya.

Ia pun tergelak. “Kan bisa sekalian aku bawa ke rumahmu, agar kau mengenalnya juga,” katanya, kemudian kembali melepas tawa.

Aku pun balas tertawa. “Terserah kau saja kalau begitu.”

“Baiklah. Sampai jumpa sore nanti.”

“Oke!”

Setelah perjanjian itu, aku pun lekas mengatur dan mempersiapkan perangkat playstation yang pasti kami mainkan ketika ia datang. Selepas itu, aku lantas beranjak ke samping rumah untuk mengambil buah rambutan yang kukira pas sebagai cemilan kami nantinya. 

Sesampainya di bawah pohon rambutan, tiba-tiba, aku melihat sebuah boneka beruang berukuran sedang dengan bagian kaki dan kepala yang terpisah dari sisi badannya yang sobek. Perangkat boneka itu tersebar di antara pohon rambutan dan sisi belakang kamar Dina. Dan setelah mengingat-ingat, aku pun tahu kalau boneka itu adalah pemberian Roda di hari ulang tahun Dina yang ke-17, tiga bulan yang lalu.

Seketika, aku lantas bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi Roda. “Halo, kawan, sebaiknya, kau tak datang sore ini. Ada masalah keluarga yang mesti aku urus terlebih dahulu,” kataku.

Ia sontak mengeluh. Terdengar sangat kecewa. “Memangnya masalah apa?”

“Kau tak perlu tahu,” jawabku, berharap ia memahami saja.

Ia pun mengaduh. Terkesan sangat berat menerima. “Kalau besok bagaimana?”

“Entahlah. Sepertinya masalah ini masih akan berlangsung lama.”

Lagi-lagi, ia mengaduh. “Baiklah kalau begitu. Kabari aku kalau sudah boleh bertamu.”

“Baiklah.”

Sambungan telepon pun terputus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar