Matematika
telah menciptakan dendam di hati Mirdan. Ia dendam pada perihal masa silamnya akibat
ketidakbecusannya sendiri dalam pelajaran berhitung. Pada masa SD, SMP, dan SMA,
nilai matematikanya selalu berada pada bagian peringkat bawah di antara nilai teman-temannya.
Ia terhitung gagal pada mata pelajaran itu, meski ia bisa bersaing pada mata
pelajaran yang lain.
Namun
setelah ia menafsir-nafsir kembali masa lalunya yang penuh kekecewaan atas
matematika, kekesalannya terhadap dirinya sendiri, kemudian beralih kepada para
guru. Kini, ia telah memahami logika dasar matematika, sehingga ia pun berpendapat
bahwa bukan dirinya yang tidak bisa memahami pelajaran itu di masa lalu, tetapi
guru yang tak becus memberikan pemahaman.
Dendamnya
kepada para guru matematika pun semakin mendalam. Ia selalu benci ketika
mengingat-ingat sikap para guru matematika yang selalu saja bertindak kejam
kepada dirinya yang tak bisa menyelesaikan soal dengan benar. Ia benci
membayangkan bahwa guru-guru yang gagal mengajar logika matematika itu, malah doyan
menghajarnya secara fisik.
Sampai
kini, Mirdan selalu teringat ketika pelajaran matematika berlangsung di masa
dahulu. Ia akan duduk takzim di sisi belakang ruang kelas, sebab ia takut
kalau-kalau guru menunjuknya mengerjakan soal, dan ia akan mendapatkan pukulan
setelah salah menjawab. Meski sesekali berhasil dengan bantuan temannya, tetapi
yang demikian hanyalah keselamatan sementara.
Namun
anehnya, rasa benci dan dendam kepada para guru matematika, tidak malah
membuatnya ingin melakukan kebodohan yang sama. Perasaan itu malah membuatnya
ingin menjadi guru matematika yang baik. Sampai akhinya, ia mengambil jurusan
matematika di masa kuliah, hingga ia berhasil mendalami dan mencintai pelajaran
itu di dalam suasana pembelajaran yang dialogis.
Kini,
tekad Mirdan pun terwujud. Setelah menamatkan kuliah, ia menjadi seorang guru matematika
berstatus honorer di sebuah SMP negeri di pinggiran kota. Ia lantas
melaksanakan tugas pembelajarannya dengan metode yang sebisa mungkin mengantarkan pemahaman kepada para siswa melalui sentuhan pikiran, dan bukan memaksakan
pemahaman melalui sentuhan fisik.
Berdasarkan
pada pengalamannya sendiri, Mirdan pun meyakini bahwa metode pembelajaran persuasif
dan dialogis yang ia lakukan adalah cara terbaik dalam mengajarkan matematika.
Ia yakin bahwa para siswa akan memahami matematika jika mereka diajak untuk
berpikir sesuai jalan pikiran mereka sendiri sebagai subjek yang khusus, bukan sebagai
objek bagi jalan pikiran seorang guru.
Dan
hari ini, Mirdan pun kembali menjalankan tugasnya sebagai guru matematika. Ia
masuk ke dalam kelas dengan tenang, sembari melemparkan senyuman kepada para
siswa yang menyambutnya dengan riang gembira. Setelah sedikit basa-basi yang
mengundang gelak tawa, ia pun memulai pembelajaran dengan membangun suasana
yang serius tetapi santai.
Di
tengah waktu pembelajaran, setelah menjelaskan materi dan memberikan beberapa
contoh penyelesaian, Mirdan lantas menuliskan sebuah soal di papan tulis. Lekas
kemudian, ia berbalik kepada para siswa dan mencari-cari seorang calon penjawab.
Lalu seketika, perhatiannya tertuju pada seorang siswa yang tertunduk memandang
layar ponselnya.
“Ayo,
yang di duduk di pojok belakang, maju ke depan dan jawab soal di papan tulis,”
pintanya dengan nada mengajak, tanpa menyebut nama, sebab ia memang belum
mengenali siswanya satu per satu.
Bukannya
menoleh pada Mirdan dan bergegas melaksanakan tugas, sang siswa yang dimaksud
malah tetap fokus memandang layar ponselnya, sembari tersenyum-senyum sendiri
dengan tawa-tawa yang kecil.
“Hai,
yang di pojok, ayo, naik ke atas dan coba jawab soal di papan tulis,” perintah
ulang Mirdan, dengan suara yang sedikit menekan.
Sontak,
beberapa siswa mencoba menyadarkan sang siswa.
“Aku,
Pak?” tanya balik sang siswa, dengan raut yang malas.
“Iya,
kau,” kata Mirdan.
Sang
siswa mengeluh-menolak. “Aku tak suka pelajaran matematika, Pak. Kalau pun aku
naik, aku tak akan bisa menjawab dengan benar,” balasnya, dengan sikap yang
terkesan ogah.
Siswa-siswi
yang lain pun tertawa menyaksikan respons sang siswa.
“Coba
saja dulu. Ayo!” pinta Mirdan, dengan suara datar.
“Kalau
aku bilang tidak bisa, ya, tidak bisa, Pak,” tanggap sang siswa, dengan raut jengkel.
“Yang lain saja, Pak,” sarannya, lalu kembali menunduk-menatap ponselnya.
“Tak
ada alasan! Ayo, naik!” titah Mirdan, dengan suara yang meninggi.
Sang
siswa malah menatap Mirdan dengan rupa kesal, kemudian bertanya dengan nada menantang,
“Bapak memaksaku?”
Seolah
kehilangan kendali, Mirdan pun mendekati sang siswa, lalu mendaratkan tamparan
di pipinya.
Seketika suasana jadi hening.
Dengan
tatapan yang nanar, sang siswa pun mengambil tasnya, lalu keluar ruangan tanpa
kata-kata.
Sepanjang
sisa waktu jam pelajaran, suasana kelas akhirnya menjadi tegang. Sebuah keadaan
yang tak pernah diinginkan oleh Mirdan sendiri.
Detik
demi detik bergulir cepat di hari yang kelabu.
Tak
lama kemudian, pada jam istirahat, suasana sekolah menjadi riuh setelah video
penamparan sang siswa oleh Mirdan, tersebar tak terkendali di jagat maya.
Mirdan
lantas mendapatkan panggilan untuk menghadap kepada kepala sekolah.
Waktu
demi waktu bergilir.
Akhirnya,
menjelang tengah hari, Mirdan pun keluar dari ruang kepala sekolah. Ia lantas
pulang sembari membawa surat pemecatan atas dirinya yang dianggap telah mencemarkan
nama baik sekolah setelah ia terbukti menampar seorang siswa yang merupakan anak
sang kepala sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar