Minggu, 07 Juni 2020

Guru Matematika

Matematika telah menciptakan dendam di hati Mirdan. Ia dendam pada perihal masa silamnya akibat ketidakbecusannya sendiri dalam pelajaran berhitung. Pada masa SD, SMP, dan SMA, nilai matematikanya selalu berada pada bagian peringkat bawah di antara nilai teman-temannya. Ia terhitung gagal pada mata pelajaran itu, meski ia bisa bersaing pada mata pelajaran yang lain.

Namun setelah ia menafsir-nafsir kembali masa lalunya yang penuh kekecewaan atas matematika, kekesalannya terhadap dirinya sendiri, kemudian beralih kepada para guru. Kini, ia telah memahami logika dasar matematika, sehingga ia pun berpendapat bahwa bukan dirinya yang tidak bisa memahami pelajaran itu di masa lalu, tetapi guru yang tak becus memberikan pemahaman.

Dendamnya kepada para guru matematika pun semakin mendalam. Ia selalu benci ketika mengingat-ingat sikap para guru matematika yang selalu saja bertindak kejam kepada dirinya yang tak bisa menyelesaikan soal dengan benar. Ia benci membayangkan bahwa guru-guru yang gagal mengajar logika matematika itu, malah doyan menghajarnya secara fisik. 

Sampai kini, Mirdan selalu teringat ketika pelajaran matematika berlangsung di masa dahulu. Ia akan duduk takzim di sisi belakang ruang kelas, sebab ia takut kalau-kalau guru menunjuknya mengerjakan soal, dan ia akan mendapatkan pukulan setelah salah menjawab. Meski sesekali berhasil dengan bantuan temannya, tetapi yang demikian hanyalah keselamatan sementara.

Namun anehnya, rasa benci dan dendam kepada para guru matematika, tidak malah membuatnya ingin melakukan kebodohan yang sama. Perasaan itu malah membuatnya ingin menjadi guru matematika yang baik. Sampai akhinya, ia mengambil jurusan matematika di masa kuliah, hingga ia berhasil mendalami dan mencintai pelajaran itu di dalam suasana pembelajaran yang dialogis.

Kini, tekad Mirdan pun terwujud. Setelah menamatkan kuliah, ia menjadi seorang guru matematika berstatus honorer di sebuah SMP negeri di pinggiran kota. Ia lantas melaksanakan tugas pembelajarannya dengan metode yang sebisa mungkin mengantarkan pemahaman kepada para siswa melalui sentuhan pikiran, dan bukan memaksakan pemahaman melalui sentuhan fisik.

Berdasarkan pada pengalamannya sendiri, Mirdan pun meyakini bahwa metode pembelajaran persuasif dan dialogis yang ia lakukan adalah cara terbaik dalam mengajarkan matematika. Ia yakin bahwa para siswa akan memahami matematika jika mereka diajak untuk berpikir sesuai jalan pikiran mereka sendiri sebagai subjek yang khusus, bukan sebagai objek bagi jalan pikiran seorang guru.

Dan hari ini, Mirdan pun kembali menjalankan tugasnya sebagai guru matematika. Ia masuk ke dalam kelas dengan tenang, sembari melemparkan senyuman kepada para siswa yang menyambutnya dengan riang gembira. Setelah sedikit basa-basi yang mengundang gelak tawa, ia pun memulai pembelajaran dengan membangun suasana yang serius tetapi santai.

Di tengah waktu pembelajaran, setelah menjelaskan materi dan memberikan beberapa contoh penyelesaian, Mirdan lantas menuliskan sebuah soal di papan tulis. Lekas kemudian, ia berbalik kepada para siswa dan mencari-cari seorang calon penjawab. Lalu seketika, perhatiannya tertuju pada seorang siswa yang tertunduk memandang layar ponselnya. 

“Ayo, yang di duduk di pojok belakang, maju ke depan dan jawab soal di papan tulis,” pintanya dengan nada mengajak, tanpa menyebut nama, sebab ia memang belum mengenali siswanya satu per satu.

Bukannya menoleh pada Mirdan dan bergegas melaksanakan tugas, sang siswa yang dimaksud malah tetap fokus memandang layar ponselnya, sembari tersenyum-senyum sendiri dengan tawa-tawa yang kecil.

“Hai, yang di pojok, ayo, naik ke atas dan coba jawab soal di papan tulis,” perintah ulang Mirdan, dengan suara yang sedikit menekan.

Sontak, beberapa siswa mencoba menyadarkan sang siswa.

“Aku, Pak?” tanya balik sang siswa, dengan raut yang malas.

“Iya, kau,” kata Mirdan.

Sang siswa mengeluh-menolak. “Aku tak suka pelajaran matematika, Pak. Kalau pun aku naik, aku tak akan bisa menjawab dengan benar,” balasnya, dengan sikap yang terkesan ogah.

Siswa-siswi yang lain pun tertawa menyaksikan respons sang siswa.

“Coba saja dulu. Ayo!” pinta Mirdan, dengan suara datar.

“Kalau aku bilang tidak bisa, ya, tidak bisa, Pak,” tanggap sang siswa, dengan raut jengkel. “Yang lain saja, Pak,” sarannya, lalu kembali menunduk-menatap ponselnya.

“Tak ada alasan! Ayo, naik!” titah Mirdan, dengan suara yang meninggi.

Sang siswa malah menatap Mirdan dengan rupa kesal, kemudian bertanya dengan nada menantang, “Bapak memaksaku?”

Seolah kehilangan kendali, Mirdan pun mendekati sang siswa, lalu mendaratkan tamparan di pipinya.

Seketika suasana jadi hening.

Dengan tatapan yang nanar, sang siswa pun mengambil tasnya, lalu keluar ruangan tanpa kata-kata.

Sepanjang sisa waktu jam pelajaran, suasana kelas akhirnya menjadi tegang. Sebuah keadaan yang tak pernah diinginkan oleh Mirdan sendiri.

Detik demi detik bergulir cepat di hari yang kelabu.

Tak lama kemudian, pada jam istirahat, suasana sekolah menjadi riuh setelah video penamparan sang siswa oleh Mirdan, tersebar tak terkendali di jagat maya. 

Mirdan lantas mendapatkan panggilan untuk menghadap kepada kepala sekolah.
 
Waktu demi waktu bergilir.

Akhirnya, menjelang tengah hari, Mirdan pun keluar dari ruang kepala sekolah. Ia lantas pulang sembari membawa surat pemecatan atas dirinya yang dianggap telah mencemarkan nama baik sekolah setelah ia terbukti menampar seorang siswa yang merupakan anak sang kepala sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar