Aku
selalu terkenang pada hari-hari kebersamaan kita. Tentang kita yang suka saling
berbagi cerita tanpa sekat-sekat rahasia. Semua rahasiamu, adalah rahasiaku juga.
Semua masalahmu, adalah masalahku juga. Begitu pun sebaliknya. Seolah-olah kita
adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda.
Hingga
akhirnya, aku teringat kembali pada obrolan kita yang terakhir, ketika kau bercerita
bahwa kau akan segera dipinang oleh seseorang lelaki di tengah statusmu sebagai
mahasiswa.
“Bagaimana
menurutmu? Apa yang harus aku lakukan?” tanyamu kemudian.
Sambil
meredam perasaanku yang berkecamuk, aku pun menjawab dengan sikap biasa. “Ya,
terserah kau saja. Yang kau rasa baik untukmu, ya pasti baik untukmu. Aku yakin
itu.”
Tak
lama kemudian, atas kebodohanku yang tak jujur atas perasaanku sendiri, apa yang
kutakutkan akhirnya terjadi. Aku tak sempat mengungkapkan perasaanku yang lebih
dari rasa persahabatan kepadamu, hingga kau menikah dengan seseorang yang kau
maksud.
Akhirnya,
atas kita, aku mengerti bahwa tak ada persahabatan sejati di antara seorang
laki-laki dan perempuan. Selalu saja ada perasaan berlebih di antara keduanya.
Kalaupun tidak, pasti pada salah satunya. Seperti yang kurasakan terhadapmu, dan
entah sebaliknya.
Setelah
pernikahanmu, aku pun terus bergelut dengan kutukan perasaan terpendamku sepanjang
waktu. Setiap kali kita bertemu di sisa masa kuliah, di sebuah organisasi
penulisan, aku terus berusaha menerima kenyataan bahwa kau memang hanyalah sahabat
baik untukku.
Kini,
kita memang tak pernah lagi bertemu. Kau beranjak ke kota seberang dengan keluarga
kecilmu, dan aku tetap di kota ini dengan keluarga kecilku juga. Tetapi sampai
kini pula, perasaan yang kusimpan untukmu, belum juga redam.
Mungkin
pertanyaanlah yang membuat perasaanku terus bertahan seperti dahulu. Aku selalu
ingin mengetahui bagaimana bentuk perasaanmu kepadaku, sebab aku tak juga
mengetahui jawabannya akibat kebodohanku yang tak juga pernah menanyakannya kepadamu.
Akhirnya,
aku memilih cara terbaik untuk meluruhkan perasaanku yang tak terbendung. Aku
menuliskan kisah kita dalam balutan cerita fiksi. Aku menulis awal cerita
yang sesuai kenyataan kita, dan mengakhirinya dengan intrik klise, bahwa kau
meninggal dan kita tak sempat bersama.
Selain
begitu, aku tentu bingung menamatkan cerita itu dengan akhir yang lebih baik di
tengah ketidakpastian ke mana kisah kita akan menuju jika saja kuutarakan
perasaanku dahulu. Apakah kau akan menerima perasaanku untuk hidup bersama
sebagai sepasang kekasih, atau tidak? Entahlah.
Namun
berdasarkan pertimbangan dari pembaca pertamaku, dari istriku, akhirnya, aku
mengubah juga akhir cerita itu dengan menyatakan bahwa tiap-tiap pernikahan
kita hanyalah jeda; bahwa pada akhirnya, di usia senja, kita kembali bertemu
dan hidup bersama, setelah kita ditinggal mati oleh pasangan hidup kita
masing-masing.
Aku
sungguh merasa tenang setelah menandaskan cerita kita dengan akhir yang lebih
baik. Segenap kegalauanku seakan-akan berpindah ke dalam rangkaian huruf-huruf.
Tetapi seketika pula, aku merasa semakin berdosa kepada istriku, seolah-olah
aku telah mengabadikan pengkhianatanku kepadanya, setelah ia membantuku menyelesaikan cerita tanpa
tahu apa-apa tentang kita.
Namun
dilema atas istriku malah berlanjut. Setelah membaca ulang keseluruhan kisah
kita, istriku menilainya sebagai sebuah cerita yang menarik. Ia ingin aku menerbitkannya
dengan keyakinan bahwa cerita itu akan menjadi batu loncatan bagiku untuk
terkenal sebagai penulis fiksi. Tetapi aku berkeras menolak, sebab
menerbitkannya berarti menyebarluarkan keabadian cintaku kepadamu dan
menyebarluarkan keabadian pengkhianatanku kepadanya.
Tetapi
akhirnya, istriku mengirimkan naskah cerita itu kepada sebuah penerbit tanpa
sepengetahuanku.
Lalu,
seperti yang ia sangka-sangka dan tak pernah kuharapkan, cerita kita pun menjadi
sebuah novel yang laris, dan aku mulai popular sebagai seorang penulis fiksi yang
handal.
Selepas
hari-hari yang penuh perayaan, di tengah kekalutan hatiku, hari ini, aku pun
mendapatkan sebuah surat elektronik:
Kau menulis tentang kita, kan? Apa
kau benar-benar punya perasaan kepadaku? Apa kau benar-benar mengharapkan kebersamaan
kita di masa depan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar