Minggu, 07 Juni 2020

Latar Cerita

Aku selalu terkenang pada hari-hari kebersamaan kita. Tentang kita yang suka saling berbagi cerita tanpa sekat-sekat rahasia. Semua rahasiamu, adalah rahasiaku juga. Semua masalahmu, adalah masalahku juga. Begitu pun sebaliknya. Seolah-olah kita adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda.

Hingga akhirnya, aku teringat kembali pada obrolan kita yang terakhir, ketika kau bercerita bahwa kau akan segera dipinang oleh seseorang lelaki di tengah statusmu sebagai mahasiswa.

“Bagaimana menurutmu? Apa yang harus aku lakukan?” tanyamu kemudian.

Sambil meredam perasaanku yang berkecamuk, aku pun menjawab dengan sikap biasa. “Ya, terserah kau saja. Yang kau rasa baik untukmu, ya pasti baik untukmu. Aku yakin itu.”

Tak lama kemudian, atas kebodohanku yang tak jujur atas perasaanku sendiri, apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Aku tak sempat mengungkapkan perasaanku yang lebih dari rasa persahabatan kepadamu, hingga kau menikah dengan seseorang yang kau maksud.

Akhirnya, atas kita, aku mengerti bahwa tak ada persahabatan sejati di antara seorang laki-laki dan perempuan. Selalu saja ada perasaan berlebih di antara keduanya. Kalaupun tidak, pasti pada salah satunya. Seperti yang kurasakan terhadapmu, dan entah sebaliknya. 

Setelah pernikahanmu, aku pun terus bergelut dengan kutukan perasaan terpendamku sepanjang waktu. Setiap kali kita bertemu di sisa masa kuliah, di sebuah organisasi penulisan, aku terus berusaha menerima kenyataan bahwa kau memang hanyalah sahabat baik untukku.

Kini, kita memang tak pernah lagi bertemu. Kau beranjak ke kota seberang dengan keluarga kecilmu, dan aku tetap di kota ini dengan keluarga kecilku juga. Tetapi sampai kini pula, perasaan yang kusimpan untukmu, belum juga redam. 

Mungkin pertanyaanlah yang membuat perasaanku terus bertahan seperti dahulu. Aku selalu ingin mengetahui bagaimana bentuk perasaanmu kepadaku, sebab aku tak juga mengetahui jawabannya akibat kebodohanku yang tak juga pernah menanyakannya kepadamu.

Akhirnya, aku memilih cara terbaik untuk meluruhkan perasaanku yang tak terbendung. Aku menuliskan kisah kita dalam balutan cerita fiksi. Aku menulis awal cerita yang sesuai kenyataan kita, dan mengakhirinya dengan intrik klise, bahwa kau meninggal dan kita tak sempat bersama.

Selain begitu, aku tentu bingung menamatkan cerita itu dengan akhir yang lebih baik di tengah ketidakpastian ke mana kisah kita akan menuju jika saja kuutarakan perasaanku dahulu. Apakah kau akan menerima perasaanku untuk hidup bersama sebagai sepasang kekasih, atau tidak? Entahlah.

Namun berdasarkan pertimbangan dari pembaca pertamaku, dari istriku, akhirnya, aku mengubah juga akhir cerita itu dengan menyatakan bahwa tiap-tiap pernikahan kita hanyalah jeda; bahwa pada akhirnya, di usia senja, kita kembali bertemu dan hidup bersama, setelah kita ditinggal mati oleh pasangan hidup kita masing-masing.

Aku sungguh merasa tenang setelah menandaskan cerita kita dengan akhir yang lebih baik. Segenap kegalauanku seakan-akan berpindah ke dalam rangkaian huruf-huruf. Tetapi seketika pula, aku merasa semakin berdosa kepada istriku, seolah-olah aku telah mengabadikan pengkhianatanku kepadanya, setelah ia membantuku menyelesaikan cerita tanpa tahu apa-apa tentang kita.

Namun dilema atas istriku malah berlanjut. Setelah membaca ulang keseluruhan kisah kita, istriku menilainya sebagai sebuah cerita yang menarik. Ia ingin aku menerbitkannya dengan keyakinan bahwa cerita itu akan menjadi batu loncatan bagiku untuk terkenal sebagai penulis fiksi. Tetapi aku berkeras menolak, sebab menerbitkannya berarti menyebarluarkan keabadian cintaku kepadamu dan menyebarluarkan keabadian pengkhianatanku kepadanya.

Tetapi akhirnya, istriku mengirimkan naskah cerita itu kepada sebuah penerbit tanpa sepengetahuanku. 

Lalu, seperti yang ia sangka-sangka dan tak pernah kuharapkan, cerita kita pun menjadi sebuah novel yang laris, dan aku mulai popular sebagai seorang penulis fiksi yang handal.

Selepas hari-hari yang penuh perayaan, di tengah kekalutan hatiku, hari ini, aku pun mendapatkan sebuah surat elektronik:

Kau menulis tentang kita, kan? Apa kau benar-benar punya perasaan kepadaku? Apa kau benar-benar mengharapkan kebersamaan kita di masa depan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar