Sudah
hampir tengah malam ketika Roman mengakhiri sesapan segelas kopinya di sebuah
kafe. Ia lantas melipat laptopnya dan segera mengarungi jalan kota yang sepi
dan dingin. Ia mengarah pulang ke kamar indekosnya dengan pikiran-pikiran yang menyesaki
kepalanya. Ia membingunkan jalan penghidupannya selepas dua tahun sarjana dan
tak juga menggeluti pekerjaan yang menghasilkan.
Sebenarnya,
Roman tak memusingkan penghidupannya sendiri. Ia hanya memusingkan perasaan ibunya
yang selalu mengkhawatirkan masa depannya. Ibunya selalu menekankan agar ia
berusaha mendapatkan pekerjaan yang menjamin. Ibunya ingin agar ia hidup mapan dan
membangun rumah tangga. Hingga akhirnya, demi menenangkan ibunya, ia pura-pura saja
mengupayakan itu.
Tetapi
belakangan ini, sikap ibunya semakin membuatnya kalut. Tidak hanya menyemangati
dan memberikan ongkos untuk berjuang, ibunya yang semakin mahir berselancar di dunia maya, mulai mengirimkannya informasi-informasi lowongan kerja. Sampai akhirnya, sang
ibu mengirimkan info lowongan sebuah perusahaan minyak milik pemerintah, berserta
harapan semoga ia diterima sebagai pegawai.
Hari
demi hari pun bergulir. Besok adalah hari terakhir penerimaan berkas lamaran
kerja pada perusahaan migas itu, sedangkan Roman belum juga mempersiapkan apa-apa.
Ia belum menulis surat lamaran, belum mempercantik riwayat hidup, bahkan belum
menggandakan berkas-berkas administratif, setelah waktunya hampir habis untuk menyalurkan
kesenangannya pada dunia fiksi.
Seperti
juga sepanjang malam ini. Ketimbang membereskan berkas lamaran kerja, ia malah
fokus merampungkan sebuah naskah novel yang hendak ia kirimkan pada sebuah
penerbit. Ia lebih mementingkan penyelesain cerita fiksi yang tersendat itu daripada
penyelesaian urusan lamaran kerja di ujung waktu, meski alur cerita itu akan
buntu lagi dan kembali menyita perhatiannya.
Kegandrungan
Roman pada penulisan fiksi memang mengalahkan segalanya. Ia merasa hidupnya sangat
berarti jika berhasil menyesesaikan sebuah cerita fiksi, meski tanpa keuntungan
materi sedikit pun. Tetapi demi keseimbangan hidup, demi harapan ibunya, ia pun menjadikan
kesenanannya itu sebagai cita-cita barunya. Ia ingin menjadi seorang penulis
fiksi, seorang novelis, yang sukses.
Namun
dilematiknya, keberhasilan rencana menggantungkan hidup pada aktivitas
penulisan fiksi, tidaklah pasti. Ia sendiri menyadari ketidakpastian masa depan
perekonomiannya di dalam dunia penulisan fiksi. Tetapi demi kesenangan batinnya, ia
memilih untuk tetap berjuang dan merahasiakan jalan hidupnya itu kepada sang
ibu yang pasti sulit mengerti, sampai ia benar-benar berhasil.
Di
tengah keteguhannya menjadi penulis yang sukses, Roman akhirnya menyesali tingkat
pendidikannya yang tinggi. Ia menyesal telah mendapatkan ijazah sarjana yang membuahkan
tuntutan baginya untuk menggeluti pekerjaan kantor yang dianggap prestisius.
Sebuah model pekerjaan dengan rutinitas-mekanis yang pasti akan mengganggu
fokusnya untuk menulis.
Tetapi
akhirnya, di akhir perjalanan pulangnya malam ini, ia berserah saja untuk
memasrahkan jalan penghidupanya pada nasib. Ia berencana untuk menyelesaikan
dan mengirimkan berkas lamarannya esok hari demi ibunya, meski hasilnya akan
membuatnya bimbang sendiri. Soalnya, ia sadar, di usia yang sangat matang, ia
tak sepatutnya menggantungkan hidup pada sang ibu.
Namun
seketika pula, rencananya harus berbalik lagi. Ia harus meredam tekadnya untuk mematuhi
permintaan sang ibu. Ia harus menerima bahwa rencana pengiriman berkas lamarannya
akan batal esok hari. Pasalnya, ia sampai ketika bangunan indekosnya tengah
dilalap api, termasuk juga kamarnya, yang membuat selembar ijazahnya sudah pasti
ludes menjadi abu.
Dengan
sikap biasa, ia lalu turun dari sepeda motornya. Ia lantas mendekat pada bangunan indekosnya dengan langkah pelan. Ia sama sekali tak bersikap emosional
seperti penghuni indekos yang lain. Ia seolah-olah tak kehilangan perihal yang
berharga atas bencana itu. Ia seolah tetap memiliki segalanya dengan sebuah tas
ransel berisi laptop di punggungnya.
Di
tengah perasaannya yang abu-abu, ia pun menelepon ibunya. “Halo, Bu, indekosku
kebakaran. Kamarku juga,” katanya kemudian.
“Apa?” tanggap ibunya, terdengar sangat kaget. “Tapi kau baik-baik saja, kan?”
“Iya,
Bu. Aku baik-baik saja”
“Ah,
syukurlah, Nak!”
“Tapi
berkas-berkasku pasti ludes semua, Bu.”
“Ah,
yang penting kau baik-baik saja, Nak. Soal berkas, kan bisa diurus belakangan.”
Jeda
tiga detik.
“Aku
mohon maaf, Bu,” tutur Roman.
“Untuk
apa, Nak? Musibah itu kan di luar kendalimu.”
“Maaf
karena aku belum sempat mengirimkan berkas lamaran kerja di perusahaan yang Ibu
sarankan, dan berkas-berkasku malah sudah habis terbakar.”
“Ya,
tak apa-apa, Nak. Kalau begitu, jalan rezekimu memang bukan di situ. Mungkin
pada pekerjaan yang lain.”
“Terima
kasih atas pengertian Ibu.”
“Iya,
Nak. Aku berharap segala yang terbaik untukmu. Teruslah berusaha dan mencoba!”
“Baik,
Bu. Terima kasih.”
“Kalau
begitu, kau tinggallah sementara waktu di rumah, Pamanmu. Jangan
sungkan-sungkan mengabarinya,” saran sang ibu.
“Tapi
aku sudah janji untuk menumpang di rumah seorang temanku, Bu,” balas Roman,
terkesan mengelak. “Apalagi, rumah Paman sangat jauh dari sini.”
“Baiklah,
Nak. Terserah kau. Asalkan kau tetap baik-baik saja.”
“Baik,
Bu. Terima kasih.”
Perbincangan
mereka pun berakhir.
Tanpa
mengulur-ulur waktu untuk sekadar meratapi keadaan berkas-berkasnya, Roman pun
memutuskan untuk segera menuju ke rumah seorang teman karibnya yang juga
seorang penulis fiksi. Ia sudah tak sabar untuk menjalani hari-harinya di sana demi menyelesaikan sebuah novel yang telah ia rangkai sekian lama, tanpa gangguan pikiran
soal apapun, termasuk soal lamaran kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar