Minggu, 07 Juni 2020

Restu Api

Sudah hampir tengah malam ketika Roman mengakhiri sesapan segelas kopinya di sebuah kafe. Ia lantas melipat laptopnya dan segera mengarungi jalan kota yang sepi dan dingin. Ia mengarah pulang ke kamar indekosnya dengan pikiran-pikiran yang menyesaki kepalanya. Ia membingunkan jalan penghidupannya selepas dua tahun sarjana dan tak juga menggeluti pekerjaan yang menghasilkan.

Sebenarnya, Roman tak memusingkan penghidupannya sendiri. Ia hanya memusingkan perasaan ibunya yang selalu mengkhawatirkan masa depannya. Ibunya selalu menekankan agar ia berusaha mendapatkan pekerjaan yang menjamin. Ibunya ingin agar ia hidup mapan dan membangun rumah tangga. Hingga akhirnya, demi menenangkan ibunya, ia pura-pura saja mengupayakan itu.

Tetapi belakangan ini, sikap ibunya semakin membuatnya kalut. Tidak hanya menyemangati dan memberikan ongkos untuk berjuang, ibunya yang semakin mahir berselancar di dunia maya, mulai mengirimkannya informasi-informasi lowongan kerja. Sampai akhirnya, sang ibu mengirimkan info lowongan sebuah perusahaan minyak milik pemerintah, berserta harapan semoga ia diterima sebagai pegawai.

Hari demi hari pun bergulir. Besok adalah hari terakhir penerimaan berkas lamaran kerja pada perusahaan migas itu, sedangkan Roman belum juga mempersiapkan apa-apa. Ia belum menulis surat lamaran, belum mempercantik riwayat hidup, bahkan belum menggandakan berkas-berkas administratif, setelah waktunya hampir habis untuk menyalurkan kesenangannya pada dunia fiksi.

Seperti juga sepanjang malam ini. Ketimbang membereskan berkas lamaran kerja, ia malah fokus merampungkan sebuah naskah novel yang hendak ia kirimkan pada sebuah penerbit. Ia lebih mementingkan penyelesain cerita fiksi yang tersendat itu daripada penyelesaian urusan lamaran kerja di ujung waktu, meski alur cerita itu akan buntu lagi dan kembali menyita perhatiannya.

Kegandrungan Roman pada penulisan fiksi memang mengalahkan segalanya. Ia merasa hidupnya sangat berarti jika berhasil menyesesaikan sebuah cerita fiksi, meski tanpa keuntungan materi sedikit pun. Tetapi demi keseimbangan hidup, demi harapan ibunya, ia pun menjadikan kesenanannya itu sebagai cita-cita barunya. Ia ingin menjadi seorang penulis fiksi, seorang novelis, yang sukses.

Namun dilematiknya, keberhasilan rencana menggantungkan hidup pada aktivitas penulisan fiksi, tidaklah pasti. Ia sendiri menyadari ketidakpastian masa depan perekonomiannya di dalam dunia penulisan fiksi. Tetapi demi kesenangan batinnya, ia memilih untuk tetap berjuang dan merahasiakan jalan hidupnya itu kepada sang ibu yang pasti sulit mengerti, sampai ia benar-benar berhasil.

Di tengah keteguhannya menjadi penulis yang sukses, Roman akhirnya menyesali tingkat pendidikannya yang tinggi. Ia menyesal telah mendapatkan ijazah sarjana yang membuahkan tuntutan baginya untuk menggeluti pekerjaan kantor yang dianggap prestisius. Sebuah model pekerjaan dengan rutinitas-mekanis yang pasti akan mengganggu fokusnya untuk menulis.

Tetapi akhirnya, di akhir perjalanan pulangnya malam ini, ia berserah saja untuk memasrahkan jalan penghidupanya pada nasib. Ia berencana untuk menyelesaikan dan mengirimkan berkas lamarannya esok hari demi ibunya, meski hasilnya akan membuatnya bimbang sendiri. Soalnya, ia sadar, di usia yang sangat matang, ia tak sepatutnya menggantungkan hidup pada sang ibu.

Namun seketika pula, rencananya harus berbalik lagi. Ia harus meredam tekadnya untuk mematuhi permintaan sang ibu. Ia harus menerima bahwa rencana pengiriman berkas lamarannya akan batal esok hari. Pasalnya, ia sampai ketika bangunan indekosnya tengah dilalap api, termasuk juga kamarnya, yang membuat selembar ijazahnya sudah pasti ludes menjadi abu.

Dengan sikap biasa, ia lalu turun dari sepeda motornya. Ia lantas mendekat pada bangunan indekosnya dengan langkah pelan. Ia sama sekali tak bersikap emosional seperti penghuni indekos yang lain. Ia seolah-olah tak kehilangan perihal yang berharga atas bencana itu. Ia seolah tetap memiliki segalanya dengan sebuah tas ransel berisi laptop di punggungnya.

Di tengah perasaannya yang abu-abu, ia pun menelepon ibunya. “Halo, Bu, indekosku kebakaran. Kamarku juga,” katanya kemudian.

“Apa?” tanggap ibunya, terdengar sangat kaget. “Tapi kau baik-baik saja, kan?”

“Iya, Bu. Aku baik-baik saja”

“Ah, syukurlah, Nak!”

“Tapi berkas-berkasku pasti ludes semua, Bu.”

“Ah, yang penting kau baik-baik saja, Nak. Soal berkas, kan bisa diurus belakangan.”

Jeda tiga detik.

“Aku mohon maaf, Bu,” tutur Roman.

“Untuk apa, Nak? Musibah itu kan di luar kendalimu.”

“Maaf karena aku belum sempat mengirimkan berkas lamaran kerja di perusahaan yang Ibu sarankan, dan berkas-berkasku malah sudah habis terbakar.”

“Ya, tak apa-apa, Nak. Kalau begitu, jalan rezekimu memang bukan di situ. Mungkin pada pekerjaan yang lain.”

“Terima kasih atas pengertian Ibu.”

“Iya, Nak. Aku berharap segala yang terbaik untukmu. Teruslah berusaha dan mencoba!”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

“Kalau begitu, kau tinggallah sementara waktu di rumah, Pamanmu. Jangan sungkan-sungkan mengabarinya,” saran sang ibu.

“Tapi aku sudah janji untuk menumpang di rumah seorang temanku, Bu,” balas Roman, terkesan mengelak. “Apalagi, rumah Paman sangat jauh dari sini.”

“Baiklah, Nak. Terserah kau. Asalkan kau tetap baik-baik saja.”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Perbincangan mereka pun berakhir.

Tanpa mengulur-ulur waktu untuk sekadar meratapi keadaan berkas-berkasnya, Roman pun memutuskan untuk segera menuju ke rumah seorang teman karibnya yang juga seorang penulis fiksi. Ia sudah tak sabar untuk menjalani hari-harinya di sana demi menyelesaikan sebuah novel yang telah ia rangkai sekian lama, tanpa gangguan pikiran soal apapun, termasuk soal lamaran kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar