Sebelum
berangkat ke rumah seorang pasien yang hendak memasang gigi palsu, Rusman, seorang
tukang gigi, sarapan pagi terlebih dahulu. Ia menyantap bubur kacang hijau yang
dimasak sejak kemarin pagi oleh istrinya yang telah berangkat kerja sebagai
seorang guru SD berstatus honorer. Ia pun jadi kenyang ketika bubur itu masih
tersisa setengah mangkuk yang merupakan bagian untuk seorang anaknya yang telah
berangkat ke sekolah tanpa makan apa-apa.
Akhirnya,
Rusman menyudahi santapannya dan berharap saja kalau bubur itu masih layak
makan siang nanti, sebab ia malas memanasinya kembali. Ia lantas bangkit untuk
bergegas melaksanakan tugasnya. Namun di teras depan, ketika ia hendak memakai
sepatu, ia melihat Marno, seorang pemulung, tetangga dekatnya, yang berjalan
sambil memikul sekarung botol plastik dari sampah masyarakat yang belum diangkut
petugas kebersihan, dan ia merasa kasihan.
Tanpa
mengulur waktu, Rusman pun kembali ke ruang makan. Ia lantas melimpahkan sisa
bubur kacang hijaunya ke dalam sebuah mangkuk, lalu menutupnya rapat-rapat. Ia lantas
bergegas membawa bubur itu ke rumah Marno yang selang empat rumah dari
rumahnya. Ia yakin bahwa Marno yang
sudah tua dan tinggal sendirian setelah ditinggal mati istrinya dan ditinggal
pergi anak-anaknya, akan merasa senang menerima sisa makanannya itu.
Ketika
Marno tampak mengaso di depan rumahnya, Rusman pun segera bertamu dengan rupa yang
ramah. “Ini, Pak. Ada bubur kacang hijau untuk Bapak,” katanya, sambil
menyodorkan semangkuk bubur kacang hijau tersebut.
Dengan
raut terkesima, Marno pun menyambut pemberiannya itu. “Terima kasih banyak,
Pak.”
“Sama-sama,
Pak,” balas Rusman, sambil tersenyum, kemudian lekas berbalik badan dan beranjak
pergi, agar Marno tak semakin segan dan bisa menyantap bubur itu sebagai
sarapan paginya, sesegera mungkin.
Marno
pun tak menahannya dengan basa-basi.
Akhirnya,
Rusman berangkat kerja dengan perasaan senang atas dirinya yang telah berhasil
mewujudkan kepedulian kepada Marno dengan sisa bubur kacang hijaunya.
Waktu
bergulir cepat.
Sudah
hampir tengah hari. Sepulang menunaikan pekerjaannya, Rusman yang tengah
beristirahat di dalam rumahnya sembari menonton televisi, tiba-tiba mendengar
ketukan dari pintu utama. Ia pun jadi penarasan dan bergegas melangkah untuk menyambut
entah siapa yang ia yakini pasti bukan istri atau anaknya. Dan benar saja,
setelah membuka kuncian dan menyibak daun pintu, ia pun mendapati seorang Marno.
“Ini
mangkuk bubur kacang hujau Bapak pagi tadi,” katanya, sambil menyodorkan mangkuk
itu. “Terima kasih sekali lagi.”
Rusman
menyambut mangkuk itu sambil tersenyum. “Sama-sama, Pak,” balasnya, sembari
merasa-rasai mangkuk yang terasa berat, seolah-olah berisi sesuatu.
Setelah
melayangkan senyuman sekilas yang menampakkan giginya yang rontok, Marno pun
segera pergi tanpa menjelaskan apa-apa.
Sontak,
Rusman akhirnya bertanya-tanya tentang isi mangkuk itu. Ia lantas menutup pintu
dan segera menyibak penutup mangkok tersebut. Dan seketika pula, ia tersentak
menyaksikan dua potong ayam krispi di atas gundukan nasi putih pulen yang
bertabur potongan-potongan sayur sup.
Rusman
pun tak habis pikir kenapa Marno mesti repot-repot untuk membalasnya dengan
sesuatu yang jauh lebih berharga dari apa yang telah ia berikan. Ia sungguh tak
mengira, apalagi mengharapkan pembalasan semacam itu. Ia hanya bisa menduga kalau
Marno telah merasa tidak enakan kepadanya, hingga memaksakan diri untuk membalas
pemberiannya yang tanpa pamrih itu.
Atas
harga dirinya yang merasa tidak pantas untuk menerima pemberian lebih dari
Marno yang ia tahu betul tak lebih baik dari segi ekonomi ketimbang dirinya,
Rusman pun bertekad untuk melakukan pembalasan balik. Sambil menyantap
pemberian Marno sebagai santapan siang yang terpaksa ia hargai sebagaimana ia
ingin dihargai, Rusman pun memikir-mikirkan menu andalan yang lebih berharga dari
ayam krispi sebagai sesuatu yang akan ia berikan kepada Marno pada waktu
petang, agar jadi makanan malam bagi lelaki tua itu.
Waktu
berulir cepat.
Akhirnya,
setelah sore hari, Rusman pun kembali bertandang ke rumah Marno sambil membawa
sekotak nasi pulen berlauk rendang dan sate yang terbungkus di dalam plastik.
Ia tak lagi menggunakan perabotannya sendiri sebagai tempat makanan, sebab ia
tak ingin Marno kembali membalasnya dengan alasan mengembalikan perabotan.
“Ini,
ada sekotak makanan untuk Bapak,” kata Rusman kemudian, lalu menyodorkan menu tersebut
dengan senyuman hangat.
Marno
menerimanya dengan rona sungkan.
Seolah-olah
bisa membaca perasaan Marno, Rusman pun segera mengarang alasan, “Aku kebetulan
dapat rezeki tak terduga, Pak. Seorang pasienku pemberiku bayaran yang
berlebih. Jadi tadi, waktu aku makan di restoran, aku terpikir untuk berbagi
kebahagiaan dengan Bapak,” katanya, dengan sikap yang ia buat-buat sebersahabat
mungkin.
Sambil
memandang-mandang permukaan bukusan makanan itu, raut wajah Marno malah tampak menyiratkan
kekecewaan. Ia lantas melemparkan senyuman yang canggung, lalu membalas, “Tak
usah, Pak. Terima kasih.”
Rusman
pun terkaget. “Terimalah, Pak. Tak usah sungkan. Aku ikhlas.”
Marno
melebarkan senyuman yang terpaksa. “Tetapi mau bagaimana lagi, Pak. Aku tidak
menikmati makanan semacam ini.”
Rusman
terkejut hebat.
Marno
pun segera menjelaskan untuk menghindari kesalahpahaman, “Bukan karena tidak
enak, Pak, tetapi karena aku sudah tak punya gigi untuk mengunyah daging.”
Sontak,
Rusman memahami kekeliruannya. Ia pun merasa bodoh sendiri.
“Makanan
semacam ini seharusnya disantap oleh orang-orang yang masih muda, yang giginya masih
berdaya,” saran Marno, lalu menyerahkan kembali sebungkus menu itu dengan
senyuman yang menampakkan gigi tunggalnya di sisi depan atas. “Maafkan aku,
Pak.”
Rusman
pun memahami dan mengambil kembali pemberiannya itu. “Tak apa-apa, Pak. Akulah yang
seharusnya meminta maaf karena tidak mengerti keadaan Bapak.”
“Tak
apa-apa, Pak,” balas Marno, dengan senyuman bersahaja. “Terima kasih atas niat
baik Bapak.”
Rusman
mengangguk sambil tersenyum simpul, kemudian berbalik badan dan beranjak pergi.
Seketika
juga, di tengah langkah-langkah pulangnya, Rusman pun menduga kuat kalau Marno
membalasnya dengan ayam krispi pada siang hari karena persoalan gigi pula.
Karena itu, sebagai orang yang ahli soal gigi, ia tahu apa yang mesti ia berikan
terlebih dahulu kepada Marno sebelum memberinya makanan berdaging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar