Minggu, 07 Juni 2020

Bubur dan Daging

Sebelum berangkat ke rumah seorang pasien yang hendak memasang gigi palsu, Rusman, seorang tukang gigi, sarapan pagi terlebih dahulu. Ia menyantap bubur kacang hijau yang dimasak sejak kemarin pagi oleh istrinya yang telah berangkat kerja sebagai seorang guru SD berstatus honorer. Ia pun jadi kenyang ketika bubur itu masih tersisa setengah mangkuk yang merupakan bagian untuk seorang anaknya yang telah berangkat ke sekolah tanpa makan apa-apa.

Akhirnya, Rusman menyudahi santapannya dan berharap saja kalau bubur itu masih layak makan siang nanti, sebab ia malas memanasinya kembali. Ia lantas bangkit untuk bergegas melaksanakan tugasnya. Namun di teras depan, ketika ia hendak memakai sepatu, ia melihat Marno, seorang pemulung, tetangga dekatnya, yang berjalan sambil memikul sekarung botol plastik dari sampah masyarakat yang belum diangkut petugas kebersihan, dan ia merasa kasihan.

Tanpa mengulur waktu, Rusman pun kembali ke ruang makan. Ia lantas melimpahkan sisa bubur kacang hijaunya ke dalam sebuah mangkuk, lalu menutupnya rapat-rapat. Ia lantas bergegas membawa bubur itu ke rumah Marno yang selang empat rumah dari rumahnya.  Ia yakin bahwa Marno yang sudah tua dan tinggal sendirian setelah ditinggal mati istrinya dan ditinggal pergi anak-anaknya, akan merasa senang menerima sisa makanannya itu.

Ketika Marno tampak mengaso di depan rumahnya, Rusman pun segera bertamu dengan rupa yang ramah. “Ini, Pak. Ada bubur kacang hijau untuk Bapak,” katanya, sambil menyodorkan semangkuk bubur kacang hijau tersebut.

Dengan raut terkesima, Marno pun menyambut pemberiannya itu. “Terima kasih banyak, Pak.”

“Sama-sama, Pak,” balas Rusman, sambil tersenyum, kemudian lekas berbalik badan dan beranjak pergi, agar Marno tak semakin segan dan bisa menyantap bubur itu sebagai sarapan paginya, sesegera mungkin.

Marno pun tak menahannya dengan basa-basi.

Akhirnya, Rusman berangkat kerja dengan perasaan senang atas dirinya yang telah berhasil mewujudkan kepedulian kepada Marno dengan sisa bubur kacang hijaunya.

Waktu bergulir cepat.

Sudah hampir tengah hari. Sepulang menunaikan pekerjaannya, Rusman yang tengah beristirahat di dalam rumahnya sembari menonton televisi, tiba-tiba mendengar ketukan dari pintu utama. Ia pun jadi penarasan dan bergegas melangkah untuk menyambut entah siapa yang ia yakini pasti bukan istri atau anaknya. Dan benar saja, setelah membuka kuncian dan menyibak daun pintu, ia pun mendapati seorang Marno.

“Ini mangkuk bubur kacang hujau Bapak pagi tadi,” katanya, sambil menyodorkan mangkuk itu. “Terima kasih sekali lagi.”

Rusman menyambut mangkuk itu sambil tersenyum. “Sama-sama, Pak,” balasnya, sembari merasa-rasai mangkuk yang terasa berat, seolah-olah berisi sesuatu.

Setelah melayangkan senyuman sekilas yang menampakkan giginya yang rontok, Marno pun segera pergi tanpa menjelaskan apa-apa.

Sontak, Rusman akhirnya bertanya-tanya tentang isi mangkuk itu. Ia lantas menutup pintu dan segera menyibak penutup mangkok tersebut. Dan seketika pula, ia tersentak menyaksikan dua potong ayam krispi di atas gundukan nasi putih pulen yang bertabur potongan-potongan sayur sup.

Rusman pun tak habis pikir kenapa Marno mesti repot-repot untuk membalasnya dengan sesuatu yang jauh lebih berharga dari apa yang telah ia berikan. Ia sungguh tak mengira, apalagi mengharapkan pembalasan semacam itu. Ia hanya bisa menduga kalau Marno telah merasa tidak enakan kepadanya, hingga memaksakan diri untuk membalas pemberiannya yang tanpa pamrih itu.

Atas harga dirinya yang merasa tidak pantas untuk menerima pemberian lebih dari Marno yang ia tahu betul tak lebih baik dari segi ekonomi ketimbang dirinya, Rusman pun bertekad untuk melakukan pembalasan balik. Sambil menyantap pemberian Marno sebagai santapan siang yang terpaksa ia hargai sebagaimana ia ingin dihargai, Rusman pun memikir-mikirkan menu andalan yang lebih berharga dari ayam krispi sebagai sesuatu yang akan ia berikan kepada Marno pada waktu petang, agar jadi makanan malam bagi lelaki tua itu.

Waktu berulir cepat.

Akhirnya, setelah sore hari, Rusman pun kembali bertandang ke rumah Marno sambil membawa sekotak nasi pulen berlauk rendang dan sate yang terbungkus di dalam plastik. Ia tak lagi menggunakan perabotannya sendiri sebagai tempat makanan, sebab ia tak ingin Marno kembali membalasnya dengan alasan mengembalikan perabotan.

“Ini, ada sekotak makanan untuk Bapak,” kata Rusman kemudian, lalu menyodorkan menu tersebut dengan senyuman hangat.

Marno menerimanya dengan rona sungkan.

Seolah-olah bisa membaca perasaan Marno, Rusman pun segera mengarang alasan, “Aku kebetulan dapat rezeki tak terduga, Pak. Seorang pasienku pemberiku bayaran yang berlebih. Jadi tadi, waktu aku makan di restoran, aku terpikir untuk berbagi kebahagiaan dengan Bapak,” katanya, dengan sikap yang ia buat-buat sebersahabat mungkin.

Sambil memandang-mandang permukaan bukusan makanan itu, raut wajah Marno malah tampak menyiratkan kekecewaan. Ia lantas melemparkan senyuman yang canggung, lalu membalas, “Tak usah, Pak. Terima kasih.”

Rusman pun terkaget. “Terimalah, Pak. Tak usah sungkan. Aku ikhlas.”

Marno melebarkan senyuman yang terpaksa. “Tetapi mau bagaimana lagi, Pak. Aku tidak menikmati makanan semacam ini.”

Rusman terkejut hebat.

Marno pun segera menjelaskan untuk menghindari kesalahpahaman, “Bukan karena tidak enak, Pak, tetapi karena aku sudah tak punya gigi untuk mengunyah daging.”

Sontak, Rusman memahami kekeliruannya. Ia pun merasa bodoh sendiri.

“Makanan semacam ini seharusnya disantap oleh orang-orang yang masih muda, yang giginya masih berdaya,” saran Marno, lalu menyerahkan kembali sebungkus menu itu dengan senyuman yang menampakkan gigi tunggalnya di sisi depan atas. “Maafkan aku, Pak.”

Rusman pun memahami dan mengambil kembali pemberiannya itu. “Tak apa-apa, Pak. Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak mengerti keadaan Bapak.”

“Tak apa-apa, Pak,” balas Marno, dengan senyuman bersahaja. “Terima kasih atas niat baik Bapak.”

Rusman mengangguk sambil tersenyum simpul, kemudian berbalik badan dan beranjak pergi.

Seketika juga, di tengah langkah-langkah pulangnya, Rusman pun menduga kuat kalau Marno membalasnya dengan ayam krispi pada siang hari karena persoalan gigi pula. Karena itu, sebagai orang yang ahli soal gigi, ia tahu apa yang mesti ia berikan terlebih dahulu kepada Marno sebelum memberinya makanan berdaging.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar