Minggu, 07 Juni 2020

Orang Tua

Ardan merasa berat untuk pulang ke kampung. Ia enggan bertemu dengan ayahnya. Ia masih ogah bersua. Tetapi kabar dari seorang tetangganya bahwa sang ayah jatuh sakit, berhasil juga melunturkan kekerasan hatinya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk pulang dengan perasaan terpaksa, seperti keterpaksaannya untuk pulang di tahun-tahun yang lampau.

Semenjak ayah dan ibunya bercerai, ketika ia masih kanak-kanak, Ardan memang tak mau lagi peduli soal ayahnya. Masa mudanya hancur karena perceraian itu, dan ia menyalahkan ayahnya secara penuh. Pasalnya, ia beberapa kali menyaksikan ayahnya bermain tangan terhadap ibunya, dan ia yakin bahwa tindak kekerasan itulah yang menyebabkan perceraian.

Dan kepada ibunya, Ardan sungguh berbeda sikap. Ia mencintai ibunya, seolah-olah ia terlahir karena seorang ibu saja, tanpa seorang ayah. Apalagi setelah perceraian itu, ia turut dengan ibunya yang memberikan segala apa yang ia inginkan. Sebab itulah, kini, ketika ia berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses, ia memberikan segalanya demi kebahagiaan sang ibu.

Namun sebaliknya dari Ardan, kebencian atas perceraian itu, tidak berlaku bagi ibunya. Sejak dahulu, ibunya telah mengikhlaskan perceraian beserta sebab-sebabnya sebagai masa lalu yang tak perlu dikenang dengan kebencian. Ibunya bahkan telah berulang kali menasihatinya untuk memaafkan sang ayah dengan segala kesalahnnya di masa silam.

“Tengoklah Ayahmu, Nak,” pinta ibunya, malam tadi, selepas bersantap di ruang makan.

Ardan pun membuang wajah, seolah tak mau peduli.

“Berhentilah membenci Ayahmu,” nasihat sang ibu untuk ke sekian kalinya.

Ardan cuek saja, seperti tak mau mendengar.

“Kadang-kadang, perceraian memang menjadi jalan terbaik bagi sepasang suami-istri, termasuk bagi aku dan Ayahmu,” tutur sang ibu lagi, seperti mengharapkan pemakluman atas apa yang telah terjadi.

“Tetapi perceraian itu tidak akan terjadi jika bukan karena perangai buruk Ayah, Bu!” sergah Ardan dengan raut wajah muram.

“Nak, perceraian itu adalah akibat masalah demi masalah di dalam rumah tangga, begitu pun perceraian di antara kami. Mungkin sebab perceraian itu hanya berpuncak pada sikap kasar Ayahmu, tetapi sebenarnya, sebagai seorang istri, aku pun turut melakukan kesalahan-kesalahan dalam hubungan kami di waktu-waktu sebelumnya,” tanggap sang ibu dengan sikap yang tenang dan mencoba menenangkan.

Perlahan-lahan, Ardan pun tampak berdiskusi dengan dirinya sendiri.

“Dahulu, di awal-awal pernikahan, Ayahmu itu adalah orang yang sangat lembut dan perhatian. Ia memenuhi segala apa yang aku inginkan sebagai seorang istri. Tetapi kebangkrutan usaha pertokoan akhirnya membuat ia menjadi seorang yang temperamental. Dan kurasa, kebangkrutan itu terjadi karena ketidakpandaianku juga dalam mengelola keuangan,” ungkap sang ibu, seperti bermaksud memberikan bahan pemikiran lebih lanjut.

Diam-diam, Ardan pun mulai menggugat kekerasan hatinya sendiri.

“Nak, kukira, kau sungguh tidak adil jika kau membenci Ayahmu dan kau tidak membenciku pula. Jika kau bisa memaafkan dan menerimaku atas perceraian itu, seharusnya, kau pun bisa bersikap demikian terhadap Ayahmu,” kata sang ibu lagi, seolah menyimpulkan maksud nasihatnya.

Ardan diam saja dalam renungan, dan sang ibu pun beranjak.

Akhirnya, sepanjang malam tadi, Ardan terus memikir-mikirkan sikapnya kepada sang ayah. Semakin dalam dan semakin menyesakkan. Hingga pada pagi tadi, ia pun memutuskan untuk mencoba berdamai dengan kebenciannya sendiri. Dan ketika sore menjelang, ia pun membawa dirinya untuk menengok sang ayah, bersama istrinya yang tengah mengandung.

Waktu demi waktu bergulir. Akhirnya, pada malam yang hening, ketika Ardan duduk menyendiri di teras depan rumah sembari mengenang-ngenang masa kecilnya yang penuh rasa, ayahnya pun datang menghampiri dengan langkah yang pelan dan napas yang terengah-engah. Sang ayah lalu duduk di sampingnya, sembari turut memandang keremangan malam di depannya.

“Untuk semua yang telah berlalu, maafkan aku, Nak,” kata sang ayah, setelah menit-menit berlalu dalam kediaman.

Ardan menghela-hembuskan napas yang panjang, seakan-akan ia memendam balasan yang seharusnya, namun berat untuk ia ucapkan. Lama-lama, ia tak juga berucap. Hingga akhirnya, air mata tergelincir di pipinya, dan ia hanya kuasa mengangguk-angguk kecil.

“Aku sungguh bersalah padamu, Nak, dan juga pada Ibumu,” tutur sang ayah lagi, yang seketika turut meneteskan air mata. “Aku telah gagal sebagai seorang ayah dan seorang suami.

Keharuan Ardan pun semakin tergugah, dan ia terus saja berkhidmat dalam tangisannya.

Sang ayah pun menyeka air mata dan berusaha menenangkan diri. “Tetapi aku berharap, pada kegagalanku itu, kau mengambil pelajaran yang semestinya untuk menjadi seorang yang baik untuk istri dan anakmu kelak.”

Ardan mengangguk-angguk saja, sembari terus meluruhkan emosinya lewat bulir-bulir air mata.

Dengan senyuman tegar di wajahnya yang lembap, sang ayah lantas menuturkan pesan-pesan, “Agar kau tak berakhir sepertiku, jadilah kepala keluarga yang bijak,” katanya, sambil menepak-nepak punggung sang anak. “Di tengah usahamu yang berkembang baik, janganlah berlebih-lebihan untuk kesenangan hidup keluarga kecilmu di hari ini saja, tetapi ingatlah hari esok yang masih akan berlangsung lama.”

Tanpa berkata-kata, Ardan pun mengangguk tegas dengan emosi yang mulai terkendali, seolah paham atas pesan-pesan sang ayah.

Hening untuk beberapa saat kemudian.
 
Sang ayah lantas beranjak ke dalam rumah.

Ardan masih tinggal dengan renungan yang mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar