Ardan
merasa berat untuk pulang ke kampung. Ia enggan bertemu dengan ayahnya. Ia masih
ogah bersua. Tetapi kabar dari seorang tetangganya bahwa sang ayah jatuh sakit,
berhasil juga melunturkan kekerasan hatinya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk
pulang dengan perasaan terpaksa, seperti keterpaksaannya untuk pulang di
tahun-tahun yang lampau.
Semenjak
ayah dan ibunya bercerai, ketika ia masih kanak-kanak, Ardan memang tak mau lagi
peduli soal ayahnya. Masa mudanya hancur karena perceraian itu, dan ia menyalahkan
ayahnya secara penuh. Pasalnya, ia beberapa kali menyaksikan ayahnya bermain
tangan terhadap ibunya, dan ia yakin bahwa tindak kekerasan itulah yang
menyebabkan perceraian.
Dan
kepada ibunya, Ardan sungguh berbeda sikap. Ia mencintai ibunya, seolah-olah ia
terlahir karena seorang ibu saja, tanpa seorang ayah. Apalagi setelah
perceraian itu, ia turut dengan ibunya yang memberikan segala apa yang ia
inginkan. Sebab itulah, kini, ketika ia berhasil menjadi seorang pengusaha yang
sukses, ia memberikan segalanya demi kebahagiaan sang ibu.
Namun
sebaliknya dari Ardan, kebencian atas perceraian itu, tidak berlaku bagi
ibunya. Sejak dahulu, ibunya telah mengikhlaskan perceraian beserta
sebab-sebabnya sebagai masa lalu yang tak perlu dikenang dengan kebencian.
Ibunya bahkan telah berulang kali menasihatinya untuk memaafkan sang ayah
dengan segala kesalahnnya di masa silam.
“Tengoklah
Ayahmu, Nak,” pinta ibunya, malam tadi, selepas bersantap di ruang makan.
Ardan
pun membuang wajah, seolah tak mau peduli.
“Berhentilah
membenci Ayahmu,” nasihat sang ibu untuk ke sekian kalinya.
Ardan
cuek saja, seperti tak mau mendengar.
“Kadang-kadang,
perceraian memang menjadi jalan terbaik bagi sepasang suami-istri, termasuk
bagi aku dan Ayahmu,” tutur sang ibu lagi, seperti mengharapkan pemakluman atas
apa yang telah terjadi.
“Tetapi perceraian itu tidak akan terjadi jika bukan karena perangai buruk Ayah, Bu!” sergah Ardan dengan raut wajah muram.
“Nak,
perceraian itu adalah akibat masalah demi masalah di dalam rumah tangga, begitu
pun perceraian di antara kami. Mungkin sebab perceraian itu hanya berpuncak
pada sikap kasar Ayahmu, tetapi sebenarnya, sebagai seorang istri, aku pun
turut melakukan kesalahan-kesalahan dalam hubungan kami di waktu-waktu
sebelumnya,” tanggap sang ibu dengan sikap yang tenang dan mencoba menenangkan.
Perlahan-lahan,
Ardan pun tampak berdiskusi dengan dirinya sendiri.
“Dahulu,
di awal-awal pernikahan, Ayahmu itu adalah orang yang sangat lembut dan
perhatian. Ia memenuhi segala apa yang aku inginkan sebagai seorang istri. Tetapi
kebangkrutan usaha pertokoan akhirnya membuat ia menjadi seorang yang
temperamental. Dan kurasa, kebangkrutan itu terjadi karena ketidakpandaianku
juga dalam mengelola keuangan,” ungkap sang ibu, seperti bermaksud memberikan
bahan pemikiran lebih lanjut.
Diam-diam,
Ardan pun mulai menggugat kekerasan hatinya sendiri.
“Nak,
kukira, kau sungguh tidak adil jika kau membenci Ayahmu dan kau tidak
membenciku pula. Jika kau bisa memaafkan dan menerimaku atas perceraian itu, seharusnya,
kau pun bisa bersikap demikian terhadap Ayahmu,” kata sang ibu lagi, seolah
menyimpulkan maksud nasihatnya.
Ardan
diam saja dalam renungan, dan sang ibu pun beranjak.
Akhirnya,
sepanjang malam tadi, Ardan terus memikir-mikirkan sikapnya kepada sang ayah.
Semakin dalam dan semakin menyesakkan. Hingga pada pagi tadi, ia pun memutuskan
untuk mencoba berdamai dengan kebenciannya sendiri. Dan ketika sore menjelang, ia
pun membawa dirinya untuk menengok sang ayah, bersama istrinya yang tengah
mengandung.
Waktu
demi waktu bergulir. Akhirnya, pada malam yang hening, ketika Ardan duduk
menyendiri di teras depan rumah sembari mengenang-ngenang masa kecilnya yang
penuh rasa, ayahnya pun datang menghampiri dengan langkah yang pelan dan napas
yang terengah-engah. Sang ayah lalu duduk di sampingnya, sembari turut
memandang keremangan malam di depannya.
“Untuk
semua yang telah berlalu, maafkan aku, Nak,” kata sang ayah, setelah
menit-menit berlalu dalam kediaman.
Ardan
menghela-hembuskan napas yang panjang, seakan-akan ia memendam balasan yang
seharusnya, namun berat untuk ia ucapkan. Lama-lama, ia tak juga berucap. Hingga
akhirnya, air mata tergelincir di pipinya, dan ia hanya kuasa mengangguk-angguk
kecil.
“Aku
sungguh bersalah padamu, Nak, dan juga pada Ibumu,” tutur sang ayah lagi, yang seketika
turut meneteskan air mata. “Aku telah gagal sebagai seorang ayah dan seorang
suami.
Keharuan
Ardan pun semakin tergugah, dan ia terus saja berkhidmat dalam tangisannya.
Sang
ayah pun menyeka air mata dan berusaha menenangkan diri. “Tetapi aku berharap,
pada kegagalanku itu, kau mengambil pelajaran yang semestinya untuk menjadi seorang
yang baik untuk istri dan anakmu kelak.”
Ardan
mengangguk-angguk saja, sembari terus meluruhkan emosinya lewat bulir-bulir air
mata.
Dengan
senyuman tegar di wajahnya yang lembap, sang ayah lantas menuturkan
pesan-pesan, “Agar kau tak berakhir sepertiku, jadilah kepala keluarga yang
bijak,” katanya, sambil menepak-nepak punggung sang anak. “Di tengah usahamu
yang berkembang baik, janganlah berlebih-lebihan untuk kesenangan hidup keluarga
kecilmu di hari ini saja, tetapi ingatlah hari esok yang masih akan berlangsung
lama.”
Tanpa
berkata-kata, Ardan pun mengangguk tegas dengan emosi yang mulai terkendali,
seolah paham atas pesan-pesan sang ayah.
Hening
untuk beberapa saat kemudian.
Sang
ayah lantas beranjak ke dalam rumah.
Ardan
masih tinggal dengan renungan yang mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar