Minggu, 07 Juni 2020

Malam Pelampiasan

Mirdan selalu merasa khawatir setiap kali akan berangkat ke sekolah. Kedamaian hidupnya sirna kala membayangkan situasi di lingkungan SMP-nya itu. Saat akan mengambil langkah pertama untuk meninggalkan rumah, seketika, di benaknya muncul gambaran menakutkan tentang rupa dan tindakan beberapa siswa yang selalu suka merundungnya.

Keadaan hari ini pun demikian. Sepanjang perjalanan, sampai ketika berada di lingkungan sekolah, Mirdan terus waswas kalau-kalau ia berurusan lagi dengan gerombolan pemalak. Apalagi, jika menolak untuk menyetorkan uang, ia akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Protes sedikit saja, bisa membuahkan hardikan keras dari para preman sekolah itu.

Akhirnya, seperti sejak tiga hari yang lalu, Mirdan memilih menghindar untuk terbebas dari gara-gara. Setelah jam istirahat datang, secara sembunyi-sembunyi, ia pun menapaki jalur belakang sekolah untuk menuju ke sebuah warung makan yang agak jauh dari lingkungan sekolah. Sebuah warung yang lebih banyak diisi warga biasa dan tak pernah ditandangi para perusuh.

Mirdan jelas tak ingin kena sial untuk hari ini. Apalagi, ia beranjak ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Ibunya belum sempat menyajikan makanan, dan ia takut terlambat jika harus menunggu masakan. Hingga akhirnya, ia berangkat ke sekolah dengan bekal uang jajan dari sang ibu untuk porsi makanan besar yang ia rencanakan sebagai nasi goreng.

Namun apes buat Mirdan. Masih juga di pertengahan jalan tikus, segerombolan preman yang ia takutkan, tiba-tiba muncul dan mencegatnya. Ia ingin menghindar, tetapi tubuhnya seolah takluk oleh ketakutannya sendiri. Ia  seperti anak kecil yang telah berbuat salah, yang mematuhi perintah ayahnya yang keras untuk mendekat, meski ia tahu dirinya akan mendapat hukuman.

“Pantas saja kau tak pernah lagi menyetor. Ternyata kau sudah pandai menghindar, ya?” kata Raman, sang bos preman, kakak kelasnya, anak kepala sekolah, di sekeliling tiga orang begundal yang seragam memajang tampang garang.

Mirdan pun tertunduk dan ciut beradu pandang, seolah-olah ia telah melakukan pelanggaran.

Seorang anak buah sang bos sigap merekam peristiwa itu dengan telepon genggamnya.

“Ayo, mana setorannya. Cepat!” pinta Raman.

Mirdan yang ketakutan, patuh saja dan menyerahkan selembar uang Rp. 2.000.

“Aduh! Hanya begini!” kesal Raman. “Sudah tiga hari kau tak membayar pajak. Harusnya lebih banyak dari ini. Ayo!”

“Tapi aku juga butuh uang untuk jajan, Kak,” terang Mirdan.

Raman tampak geram. “Geledah!”

Seketika, dua orang kacung melaksanakan perintah.

Namun tanpa terduga, Mirdan menampik-nampik tangan mereka yang mencoba merogoh saku-sakunya.

“Oh, kamu sudah berani melawan, ya?” singgung Raman dengan rupa beringas, sambil menepak-nepak lengan Mirdan.

Sontak saja, Mirdan kehabisan nyali. Ia pun pasrah ketika selembar uang pecahan Rp. 10.000, terambil dari saku belakang celananya.

Tanpa menunggu lama, para gerombolan itu pun pergi dengan tawa dan seru-seru kesenangan.

Perlahan-lahan kemudian, kegeraman Mirdan pun menyeruak. Ia jadi sangat bernafsu menghantam Raman dan anak buahnya dari belakang, sampai mereka mampus. Ia ingin melampiaskan amarahnya tanpa sisa. Tetapi kemarahan itu redam seketika oleh ketakutannya sendiri. Ia takut mengambil resiko, hingga ia memilih menerima kepecundangannya lagi. 

Namun untuk beberapa lama, bersama dengan perutnya yang keroncongan, Mirdan tak henti menyesali kekalahannya. Ia kesal pada dirinya yang tak bernyali membela haknya di hadapan orang-orang bejat. Ia kesal atas kebodohnnya yang tak sekali pun melakukan perlawanan. Tetapi pada akhirnya, kekesalan itu hanya menumpuk dan terpendam di dalam hatinya.

Waktu bergulir. Malam pun tiba. Mirdan yang terperangkap di dalam dunia nyata yang menggerahkan, kembali masuk ke dalam dunia maya sebagai tempat pelarian ternyamannya. Sampai akhirnya, di halaman media sosial, ia menyaksikan laku kepengecutannya di depan Raman dan anak-anak buahnya pada siang hari tadi.

Dengan cepat, orang-orang menanggapi unggahan video itu. Kebanyakan dari mereka mengutuk tindakan Raman dan anggotanya, sembari mengungkapkan rasa kasihan untuk Mirdan. Tak sedikit pula yang menuntut agar Raman dan kelompoknya dikenakan sanksi, sembari meminta pihak terkait untuk memberikan perhatian khusus kepada Mirdan.

Perlahan-lahan, perasaan Mirdan pun bergejolak menyaksikan video itu beserta tanggapan orang-orang. Ia tidak merasa senang, meski orang-orang mengutuk Raman segeng, sambil menyampaikan rasa perhatian untuknya. Ia malah merasa bahwa penyebaran video itu telah menegaskan kepengecutannya, dan ia merasa malu atas pengetahuan orang-orang.

Lalu tiba-tiba, Mirdan mendapatkan sebuah panggilan telepon dari sebuah nomor asing. Ia pun menjawab dengan penuh penasaran.

“Halo, Mirdan, ini aku, Raman,” kata seseorang di ujung telepon, dengan suara rendah.

Mirdan merasa kelimpungan mendengar suara dari seseorang yang sangat ia benci itu. “Ada apa?” tanya Mirdan dengan intonasi tenang.

Raman balik bertanya, “Bolehkah kita bertemu malam ini?”

Mirdan jadi sedikit penasaran. “Untuk apa?”

“Aku ingin meminta maaf padamu atas apa yang terjadi siang tadi, dan semua yang telah kulakukan padamu di hari-hari yang lalu,” jelas Raman.

“Sudahlah. Semua sudah terjadi. Semua orang sudah tahu,” tanggap Mirdan, dengan nada datar.

“Tapi aku ingin bertemu. Aku ingin sebuah bukti bahwa kau benar-benar telah memaafkan aku atas semua itu. Aku ingin merekam dan mengunggah perdamaian kita di media sosial,” pinta, Raman, terkesan memohon.

Mirdan menjeda untuk berpikir, hingga akhirnya, ia melontarkan sebuah keputusan, “Kalau begitu, temui aku di lapangan sekolah.”

“Baiklah,” setuju Raman.

Telepon pun terputus.

Detik demi detik bergulir.

Akhirnya, sekitar jam 9 malam, mereka pun bertemu di tempat yang telah mereka perjanjikan. Mereka berdua saja, di lingkungan sekolah yang lengang dan temaram. 

Tanpa pikir panjang, dan tanpa berbagi kata terlebih dahulu, Mirdan pun memutuskan untuk meluruhkan segenap kemarahan yang selama ini ia pendam. Tanpa belas kasih, ia menghantam Raman dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi, hingga sang pemalak itu, tergolek tak berdaya.

Akhirnya, sebelum tengah malam, jagat maya pun kembali digegerkan oleh sebuah video. Raman, pelaku perundungan yang tengah mendulang banyak kebencian warganet, tampak tak berdaya di samping Mirdan, korban perundungannya, yang tampak tenang merekam dirinya sendiri dan sang korban kemarahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar