Mirdan
selalu merasa khawatir setiap kali akan berangkat ke sekolah. Kedamaian hidupnya
sirna kala membayangkan situasi di lingkungan SMP-nya itu. Saat akan mengambil
langkah pertama untuk meninggalkan rumah, seketika, di benaknya muncul gambaran
menakutkan tentang rupa dan tindakan beberapa siswa yang selalu suka merundungnya.
Keadaan
hari ini pun demikian. Sepanjang perjalanan, sampai ketika berada di lingkungan
sekolah, Mirdan terus waswas kalau-kalau ia berurusan lagi dengan gerombolan pemalak.
Apalagi, jika menolak untuk menyetorkan uang, ia akan mengalami perlakuan yang
tidak menyenangkan. Protes sedikit saja, bisa membuahkan hardikan keras dari
para preman sekolah itu.
Akhirnya,
seperti sejak tiga hari yang lalu, Mirdan memilih menghindar untuk terbebas
dari gara-gara. Setelah jam istirahat datang, secara sembunyi-sembunyi, ia pun menapaki
jalur belakang sekolah untuk menuju ke sebuah warung makan yang agak jauh dari
lingkungan sekolah. Sebuah warung yang lebih banyak diisi warga biasa dan tak
pernah ditandangi para perusuh.
Mirdan
jelas tak ingin kena sial untuk hari ini. Apalagi, ia beranjak ke sekolah tanpa
sarapan terlebih dahulu. Ibunya belum sempat menyajikan makanan, dan ia takut
terlambat jika harus menunggu masakan. Hingga akhirnya, ia berangkat ke sekolah
dengan bekal uang jajan dari sang ibu untuk porsi makanan besar yang ia
rencanakan sebagai nasi goreng.
Namun
apes buat Mirdan. Masih juga di pertengahan jalan tikus, segerombolan preman
yang ia takutkan, tiba-tiba muncul dan mencegatnya. Ia ingin menghindar, tetapi
tubuhnya seolah takluk oleh ketakutannya sendiri. Ia seperti anak kecil yang telah berbuat salah,
yang mematuhi perintah ayahnya yang keras untuk mendekat, meski ia tahu dirinya
akan mendapat hukuman.
“Pantas
saja kau tak pernah lagi menyetor. Ternyata kau sudah pandai menghindar, ya?”
kata Raman, sang bos preman, kakak kelasnya, anak kepala sekolah, di sekeliling
tiga orang begundal yang seragam memajang tampang garang.
Mirdan
pun tertunduk dan ciut beradu pandang, seolah-olah ia telah melakukan pelanggaran.
Seorang anak buah sang bos sigap merekam peristiwa itu dengan telepon genggamnya.
“Ayo,
mana setorannya. Cepat!” pinta Raman.
Mirdan yang ketakutan, patuh saja dan
menyerahkan selembar uang Rp. 2.000.
“Aduh!
Hanya begini!” kesal Raman. “Sudah tiga hari kau tak membayar pajak. Harusnya
lebih banyak dari ini. Ayo!”
“Tapi
aku juga butuh uang untuk jajan, Kak,” terang Mirdan.
Raman
tampak geram. “Geledah!”
Seketika,
dua orang kacung melaksanakan perintah.
Namun
tanpa terduga, Mirdan menampik-nampik tangan mereka yang mencoba merogoh
saku-sakunya.
“Oh,
kamu sudah berani melawan, ya?” singgung Raman dengan rupa beringas, sambil
menepak-nepak lengan Mirdan.
Sontak
saja, Mirdan kehabisan nyali. Ia pun pasrah ketika selembar uang pecahan Rp.
10.000, terambil dari saku belakang celananya.
Tanpa
menunggu lama, para gerombolan itu pun pergi dengan tawa dan seru-seru
kesenangan.
Perlahan-lahan
kemudian, kegeraman Mirdan pun menyeruak. Ia jadi sangat bernafsu menghantam
Raman dan anak buahnya dari belakang, sampai mereka mampus. Ia ingin
melampiaskan amarahnya tanpa sisa. Tetapi kemarahan itu redam seketika oleh
ketakutannya sendiri. Ia takut mengambil resiko, hingga ia memilih menerima kepecundangannya
lagi.
Namun
untuk beberapa lama, bersama dengan perutnya yang keroncongan, Mirdan tak henti
menyesali kekalahannya. Ia kesal pada dirinya yang tak bernyali membela haknya
di hadapan orang-orang bejat. Ia kesal atas kebodohnnya yang tak sekali pun
melakukan perlawanan. Tetapi pada akhirnya, kekesalan itu hanya menumpuk dan
terpendam di dalam hatinya.
Waktu
bergulir. Malam pun tiba. Mirdan yang terperangkap di dalam dunia nyata yang menggerahkan,
kembali masuk ke dalam dunia maya sebagai tempat
pelarian ternyamannya. Sampai akhirnya, di halaman media sosial, ia menyaksikan
laku kepengecutannya di depan Raman dan anak-anak buahnya pada siang hari tadi.
Dengan
cepat, orang-orang menanggapi unggahan video itu. Kebanyakan dari mereka mengutuk
tindakan Raman dan anggotanya, sembari mengungkapkan rasa kasihan untuk Mirdan.
Tak sedikit pula yang menuntut agar Raman dan kelompoknya dikenakan sanksi,
sembari meminta pihak terkait untuk memberikan perhatian khusus kepada Mirdan.
Perlahan-lahan,
perasaan Mirdan pun bergejolak menyaksikan video itu beserta tanggapan
orang-orang. Ia tidak merasa senang, meski orang-orang mengutuk Raman segeng,
sambil menyampaikan rasa perhatian untuknya. Ia malah merasa bahwa penyebaran
video itu telah menegaskan kepengecutannya, dan ia merasa malu atas pengetahuan
orang-orang.
Lalu
tiba-tiba, Mirdan mendapatkan sebuah panggilan telepon dari sebuah nomor asing.
Ia pun menjawab dengan penuh penasaran.
“Halo,
Mirdan, ini aku, Raman,” kata seseorang di ujung telepon, dengan suara rendah.
Mirdan
merasa kelimpungan mendengar suara dari seseorang yang sangat ia benci itu. “Ada
apa?” tanya Mirdan dengan intonasi tenang.
Raman
balik bertanya, “Bolehkah kita bertemu malam ini?”
Mirdan
jadi sedikit penasaran. “Untuk apa?”
“Aku
ingin meminta maaf padamu atas apa yang terjadi siang tadi, dan semua yang telah
kulakukan padamu di hari-hari yang lalu,” jelas Raman.
“Sudahlah.
Semua sudah terjadi. Semua orang sudah tahu,” tanggap Mirdan, dengan nada datar.
“Tapi
aku ingin bertemu. Aku ingin sebuah bukti bahwa kau benar-benar telah memaafkan
aku atas semua itu. Aku ingin merekam dan mengunggah perdamaian kita di media
sosial,” pinta, Raman, terkesan memohon.
Mirdan
menjeda untuk berpikir, hingga akhirnya, ia melontarkan sebuah keputusan,
“Kalau begitu, temui aku di lapangan sekolah.”
“Baiklah,”
setuju Raman.
Telepon
pun terputus.
Detik
demi detik bergulir.
Akhirnya,
sekitar jam 9 malam, mereka pun bertemu di tempat yang telah mereka perjanjikan.
Mereka berdua saja, di lingkungan sekolah yang lengang dan temaram.
Tanpa
pikir panjang, dan tanpa berbagi kata terlebih dahulu, Mirdan pun memutuskan
untuk meluruhkan segenap kemarahan yang selama ini ia pendam. Tanpa belas
kasih, ia menghantam Raman dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi,
hingga sang pemalak itu, tergolek tak berdaya.
Akhirnya,
sebelum tengah malam, jagat maya pun kembali digegerkan oleh sebuah video.
Raman, pelaku perundungan yang tengah mendulang banyak kebencian warganet,
tampak tak berdaya di samping Mirdan, korban perundungannya, yang tampak tenang
merekam dirinya sendiri dan sang korban kemarahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar