Minggu, 07 Juni 2020

Bukan Sahabat

Masih awal malam. Roni berada dalam suasana nyaman ketika Baim menghubunginya lewat telepon. Tanpa rasa penasaran, ia mengabaikan saja panggilan itu. Ia yakin bahwa sahabatnya itu hanya akan berkeluh-kesah tentang permasalahan hidupnya, seperti kemarin-kemarin. Ia yakin bahwa menjawab pangilan itu berarti menghabiskan waktu untuk sekadar mendengar curahan hatinya.

Setelah panggilan Baim terhenti usai ketiga kalinya, Roni kembali fokus berbalas pesan singkat dengan Rini. Ia serius melakoni obrolan itu setelah Rini tiba-tiba menanyakan solusi atas persoalan hatinya. Ia pun memberikan respons dengan penuh perhatian, sebab Rini yang selama ini adalah sahabat dekatnya, diam-diam, telah menjadi pujaan hatinya.

Sepanjang obrolan, Roni berlagak seperti dokter cinta. Ia berusaha meramu dan memberikan jawaban yang sekiranya bisa menawar keresahan hati Rini yang galau setelah menolak cinta seorang lelaki. Dengan kata-kata yang berulang, ia berusaha meyakinkan Rini bahwa keputusannya itu tidaklah keliru, sebab persoalan cinta memang tidak bisa dipaksakan.

Seiring obrolan itu, anggapan-anggapan pun menjalar di benak Roni. Ia menduga keras bahwa keputusan Rini membincangkan kekalutan hatinya, pasti dilandasi oleh motivasi terselubung. Ia yakin bahwa diam-diam, atas penolakannya terhadap cinta seorang lelaki, Rini hendak menyampaikan singgungan atas dirinya yang tak kunjung menyatakan cinta kepadanya.

Meski anggapannya telah menjadi keyakinan, Roni berusaha menahan diri. Bagaimana pun, ia merasa perlu mengulur waktu sampai Rini terbebas dari rasa bersalahnya kepada sang lelaki. Ia beranggapan bahwa Rini harus berada dalam kondisi tenang sebelum ia membicarakan perasaan di antara mereka. Ia merasa hanya perlu bersabar untuk menunggu waktu yang tepat. 

Setelah sekian lama, Roni pun mengakhiri obrolan dengan Rini ketika ia telah yakin bahwa pujaan hatinya itu tak lagi menyesali kejujuran hatinya kepada sang lelaki yang dirahasiakannya itu. Ia lantas memasrahkan tubuhnya pada kasur, sembari memikir-mikirkan waktu dan cara terbaik untuk menyatakan perasaan kepada sang pujaan yang ia yakini pasti akan bersambut.

Namun untuk beberapa saat, Roni mencoba keluar dari buaian imajinasinya. Ia tersadar bahwa ia perlu mengaburkan sikap abainya kepada Baim demi menjaga muruah persahabatan mereka. Maka segera saja ia mengirimkan pesan singkat yang menyiratkan kelalaiannya pada panggilan telepon sang sahabat: Kenapa? Maaf, tadi aku sedang keluar dan tidak membawa Hp.

Sesaat kemudian, setelah pesannya terkirim, Roni kembali menjatuhkan diri ke dalam angan-angannya bersama Rini, sembari berharap Baim tak mengganggunya di sepanjang waktu nyaman itu. Ia berharap Baim tak meneleponnya kembali, atau sekedar mengirimkannya pesan balasan. Untuk sepanjang malam, ia hanya ingin berkhayal dan bermimpi tentang Rini.

Namun seketika pula, ketakutannya malah menjadi kenyataan. Di layar ponselnya, Baim tampak memanggil.

Dengan perasaan malas, ia pun menjawab, “Halo, ada apa, Baim?” tanyanya, dengan nada suara yang ia buat-buat antusias.

“Aku bukan Baim. Aku Romi, teman indekosnya,” balas sang penelepon.

“Oh, ya, ada apa?” tanya Roni dengan rasa penasaran yang menyeruak seketika.

“Baim sekarang di rumah sakit. Ia mabuk berat, sampai tak sadarkan diri,” kata teman Baim itu.

Sontak, Roni terkaget. Ia kemudian melakoni sisa obrolan dengan setengah sadar, seolah-olah tak percaya tentang apa yang ia dengar atas apa yang telah ia lakukan terhadap sahabatnya sendiri. 

Dalam renungannya, Roni merasa telah mengenal Baim secara baik, dan ia tahu kalau Baim bukanlah seorang pemabuk. Karena itulah, tindakan bodoh semacam itu ia yakini sebagai isyarat bahwa persoalan yang sedang menimpa Baim, yang barangkali hendak diobrolkannya beberapa waktu yang lalu, adalah permasalahan yang berat, dan ia merasa sangat bersalah telah mengabaikannya.

Tanpa menunda waktu, Roni pun segera berangkat menuju ke sebuah rumah sakit, tempat Baim dirawat. Ia melajukan sepeda motornya bersama keinginan yang besar untuk segera mengetahui keadaan sahabatnya itu. Hingga berapa lama kemudian, setelah bergelut di tengah kemacetan, ia pun tiba di samping sang sahabat yang ternyata telah siuman dengan rupa kuyu.

Untuk beberapa saat, Roni hanya menatap Baim dengan penuh keprihatinan. Ia merasa berat untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan, sebab ia sadar kalau keadaan Baim masih terlalu lemah untuk melakoni obrolan yang serius.

Tetapi akhirnya, Baim memulai penuturannya, sebagaimana wataknya yang selalu tak sabar untuk berbagi cerita, “Maafkan aku telah merepotkanmu. Harusnya aku tak melakukan tindakan yang bodoh.”

“Tak usah pusingkan soal itu, kawan,” balas Roni dengan senyuman yang hangat. “Tenanglah, agar keadaanmu lekas membaik.”

Baim pun tersenyum mendengar kata-kata perhatian dari seseorang yang ia anggap sebagai sahabat terbaiknya. 

“Besok-besok, kalau kau ada perlu, sampaikanlah kepadaku. Tak usah sungkan-sungkan,” tutur Roni, bermaksud menyinggung rahasia Baim tanpa bertanya secara langsung.

Baim lalu menghembuskan napas yang panjang. Ia seolah-olah berat untuk membagikan masalahnya yang satu itu.

“Kapan pun, kalau kau ada masalah, ceritakanlah kepadaku. Selama aku sempat, aku pasti membantumu,” singgung Roni lagi untuk menguatkan Baim agar sanggup bercerita.

Akhirnya, dengan tatapan yang kosong ke langit-langit ruangan, Baim pun mengungkapkan kegalauannya, “Aku tak tahu harus bagaimana. Perasaanku hancur, dan aku sangat malu.” Ia lalu menoleh pada Roni. “Semalam, aku menyatakan perasaanku kepada Rini, dan ia menolakku.”

Roni pun terkejut setengah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar