Masih
awal malam. Roni berada dalam suasana nyaman ketika Baim menghubunginya lewat
telepon. Tanpa rasa penasaran, ia mengabaikan saja panggilan itu. Ia yakin
bahwa sahabatnya itu hanya akan berkeluh-kesah tentang permasalahan hidupnya, seperti
kemarin-kemarin. Ia yakin bahwa menjawab pangilan itu berarti menghabiskan
waktu untuk sekadar mendengar curahan hatinya.
Setelah
panggilan Baim terhenti usai ketiga kalinya, Roni kembali fokus berbalas pesan
singkat dengan Rini. Ia serius melakoni obrolan itu setelah Rini tiba-tiba
menanyakan solusi atas persoalan hatinya. Ia pun memberikan respons dengan
penuh perhatian, sebab Rini yang selama ini adalah sahabat dekatnya, diam-diam,
telah menjadi pujaan hatinya.
Sepanjang
obrolan, Roni berlagak seperti dokter cinta. Ia berusaha meramu dan memberikan
jawaban yang sekiranya bisa menawar keresahan hati Rini yang galau setelah
menolak cinta seorang lelaki. Dengan kata-kata yang berulang, ia berusaha
meyakinkan Rini bahwa keputusannya itu tidaklah keliru, sebab persoalan cinta
memang tidak bisa dipaksakan.
Seiring
obrolan itu, anggapan-anggapan pun menjalar di benak Roni. Ia menduga keras bahwa
keputusan Rini membincangkan kekalutan hatinya, pasti dilandasi oleh motivasi
terselubung. Ia yakin bahwa diam-diam, atas penolakannya terhadap cinta seorang
lelaki, Rini hendak menyampaikan singgungan atas dirinya yang tak kunjung
menyatakan cinta kepadanya.
Meski
anggapannya telah menjadi keyakinan, Roni berusaha menahan diri. Bagaimana pun,
ia merasa perlu mengulur waktu sampai Rini terbebas dari rasa bersalahnya
kepada sang lelaki. Ia beranggapan bahwa Rini harus berada dalam kondisi tenang
sebelum ia membicarakan perasaan di antara mereka. Ia merasa hanya perlu
bersabar untuk menunggu waktu yang tepat.
Setelah
sekian lama, Roni pun mengakhiri obrolan dengan Rini ketika ia telah yakin
bahwa pujaan hatinya itu tak lagi menyesali kejujuran hatinya kepada sang
lelaki yang dirahasiakannya itu. Ia lantas memasrahkan tubuhnya pada kasur,
sembari memikir-mikirkan waktu dan cara terbaik untuk menyatakan perasaan
kepada sang pujaan yang ia yakini pasti akan bersambut.
Namun
untuk beberapa saat, Roni mencoba keluar dari buaian imajinasinya. Ia tersadar
bahwa ia perlu mengaburkan sikap abainya kepada Baim demi menjaga muruah
persahabatan mereka. Maka segera saja ia mengirimkan pesan singkat yang
menyiratkan kelalaiannya pada panggilan telepon sang sahabat: Kenapa? Maaf, tadi aku sedang keluar dan
tidak membawa Hp.
Sesaat
kemudian, setelah pesannya terkirim, Roni kembali menjatuhkan diri ke dalam
angan-angannya bersama Rini, sembari berharap Baim tak mengganggunya di
sepanjang waktu nyaman itu. Ia berharap Baim tak meneleponnya kembali, atau sekedar
mengirimkannya pesan balasan. Untuk sepanjang malam, ia hanya ingin berkhayal
dan bermimpi tentang Rini.
Namun
seketika pula, ketakutannya malah menjadi kenyataan. Di layar ponselnya, Baim tampak
memanggil.
Dengan
perasaan malas, ia pun menjawab, “Halo, ada apa, Baim?” tanyanya, dengan nada
suara yang ia buat-buat antusias.
“Aku
bukan Baim. Aku Romi, teman indekosnya,” balas sang penelepon.
“Oh,
ya, ada apa?” tanya Roni dengan rasa penasaran yang menyeruak seketika.
“Baim
sekarang di rumah sakit. Ia mabuk berat, sampai tak sadarkan diri,” kata teman
Baim itu.
Sontak,
Roni terkaget. Ia kemudian melakoni sisa obrolan dengan setengah sadar,
seolah-olah tak percaya tentang apa yang ia dengar atas apa yang telah ia
lakukan terhadap sahabatnya sendiri.
Dalam
renungannya, Roni merasa telah mengenal Baim secara baik, dan ia tahu kalau Baim
bukanlah seorang pemabuk. Karena itulah, tindakan bodoh semacam itu ia yakini sebagai
isyarat bahwa persoalan yang sedang menimpa Baim, yang barangkali hendak
diobrolkannya beberapa waktu yang lalu, adalah permasalahan yang berat, dan ia
merasa sangat bersalah telah mengabaikannya.
Tanpa
menunda waktu, Roni pun segera berangkat menuju ke sebuah rumah sakit, tempat
Baim dirawat. Ia melajukan sepeda motornya bersama keinginan yang besar untuk
segera mengetahui keadaan sahabatnya itu. Hingga berapa lama kemudian, setelah
bergelut di tengah kemacetan, ia pun tiba di samping sang sahabat yang ternyata
telah siuman dengan rupa kuyu.
Untuk
beberapa saat, Roni hanya menatap Baim dengan penuh keprihatinan. Ia merasa
berat untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan, sebab ia sadar kalau keadaan
Baim masih terlalu lemah untuk melakoni obrolan yang serius.
Tetapi
akhirnya, Baim memulai penuturannya, sebagaimana wataknya yang selalu tak sabar
untuk berbagi cerita, “Maafkan aku telah merepotkanmu. Harusnya aku tak melakukan
tindakan yang bodoh.”
“Tak
usah pusingkan soal itu, kawan,” balas Roni dengan senyuman yang hangat. “Tenanglah,
agar keadaanmu lekas membaik.”
Baim
pun tersenyum mendengar kata-kata perhatian dari seseorang yang ia anggap
sebagai sahabat terbaiknya.
“Besok-besok,
kalau kau ada perlu, sampaikanlah kepadaku. Tak usah sungkan-sungkan,” tutur
Roni, bermaksud menyinggung rahasia Baim tanpa bertanya secara langsung.
Baim
lalu menghembuskan napas yang panjang. Ia seolah-olah berat untuk membagikan masalahnya
yang satu itu.
“Kapan
pun, kalau kau ada masalah, ceritakanlah kepadaku. Selama aku sempat, aku pasti
membantumu,” singgung Roni lagi untuk menguatkan Baim agar sanggup bercerita.
Akhirnya,
dengan tatapan yang kosong ke langit-langit ruangan, Baim pun mengungkapkan
kegalauannya, “Aku tak tahu harus bagaimana. Perasaanku hancur, dan aku sangat malu.”
Ia lalu menoleh pada Roni. “Semalam, aku menyatakan perasaanku kepada Rini, dan
ia menolakku.”
Roni pun terkejut setengah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar