Minggu, 07 Juni 2020

Sesaudara Perempuan

Sepanjang masa kanak-kanak, aku tak pernah mempermasalahkan perlakuan yang berbeda dari ibuku yang seorang janda kepada aku dan kakakku, Lita. Aku bahkan menikmati pembedaan itu, sebab aku adalah pihak yang diuntungkan. Sebagai anak bungsu, aku selalu diutamakan dalam soal-soal pembagian, dan Lita sebagai anak sulung hanya mendapatkan sisa-sisa dariku.
 
Namun setelah beranjak dewasa, aku protes sendiri terhadap perlakuan ibu yang berbeda. Aku telah memahami bahwa kami diperlakukan secara tidak adil, dan aku bisa merasakan betapa beratnya menerima ketidakadilan sebagai seorang Lita. Aku hidup dengan pemenuhan hak yang berlebihan sepanjang waktu, sedang Lita harus mengorbankan sebagian haknya untukku.

Meski kami adalah dua orang saudara kandung, dari bapak dan ibu yang sama, aku menyaksikan secara jelas bahwa kami memang diperlakukan berbeda sebagai anak. Aku seolah-olah adalah anak satu-satunya, dan Lita hanyalah ibu kedua bagiku. Aku berhak mendapatkan apapun demi kebaikan masa depanku, dan Lita harus menumbalkan masa depannya untukku.

Pembedaan di antara kami, terjadi dalam hal apapun, termasuk pada soal penghargaan. Aku selalu dianggap lebih cantik daripada Lita, sehinga aku mendapatkan pujian terus-menerus. Padahal bagiku, Lita lebih cantik. Hanya saja, ia terlalu banyak bekerja di rumah dan di kebun, sampai ia tak sempat memerhatikan dan merawat kecantikan rupanya.

Pembedaan, juga pada soal pendidikan. Sebagai anak kesayangan, aku menempuh pendidikan sampai bangku kuliah, sedang Lita terhenti setamat SMP. Aku pun beranjak ke kota, dan Lita harus tinggal di desa untuk membantu ibu mencari ongkos pendidikan untukku. Itu terjadi karena aku dinggap lebih pintar dan lebih cocok untuk sekolah tinggi-tinggi ketimbang Lita.

Demi kebaikan masa depanku, ibu pun terus memacuku untuk mengejar cita-cita setinggi langit. Ia menghindarkanku dari hal-hal yang dapat membuatku menjadi anak desa yang biasa. Karena itu pula, ia telah dua kali menolak lamaran pemuda desa semasa kuliahku, sebab ia yakin, perempuan yang terhormat, akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari sekadar pemuda desa.

Perbedaan kualitas diri, secara fisik maupun pemikiran, akhirnya membawa kami pada jalan kehidupan yang sangat berbeda. Aku terus melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat doktoral, sembari menjalani profesiku sebagai seorang dosen di kota seberang. Sebaliknya, Lita tetap menjalani roda kehidupan taninya di desa, sembari menjadi seorang ibu rumah tangga.

Anehnya, segenap perbedaan kami saat ini karena pembedaan kami di masa lalu, tak sedikit pun membuat Lita gusar, apalagi protes kepada ibu. Ia ikhlas atas apa yang telah kucapai, bahkan turut bersyukur. Ia seolah-olah menerima saja kedudukannya sebagai anak sulung yang mesti berkorban untuk aku sebagai adik bungsu sekaligus adik semata wayangnya.

Sampai akhirnya, bersama segenap rasa yang kupendam untuk Lita, di masa libur kali ini, aku memutuskan untuk pulang ke kampung. Tanpa keberadaan ibu yang meninggal sebelas bulan yang lalu, aku pun kembali berada di sebuah rumah yang menyimpan banyak kenangan di antara kami, hingga aku merasa kalau sudah waktunya untuk menyampaikan isi hatiku kepadanya.

“Maafkan aku, Kak. Mungkin karena kehadiranku, sejak dahulu, Ibu memperlakukan Kakak dengan sangat keras,” kataku, saat kami tengah duduk bersampingan di teras depan rumah panggung peninggalan ibu, setelah bertukar cerita tentang sisi kehidupan kami masing-masing. “Aku merasa telah salah menikmati kasih sayang Ibu yang berlebih kepadaku ketimbang Kakak.”

Lita menoleh padaku dengan senyuman bersahaja. “Apa yang harus aku maafkan, Dik. Aku tak sedikit pun merasa kalau kau punya salah kepadaku. Aku tak sedikit pun merasa kalau Ibu tidak adil kepadaku,” balasnya, sambil menepak-nepak punggung tanganku. “Apapun itu, yang terbaik adalah menuruti perintah dan mewujudkan harapan Ibu, dan kau telah melakukannya dengan baik.”

Aku pun terharu mendengar ketulusan hatinya.

“Kita memang punya jalan hidup yang berbeda, Dik. Tapi kita tetap berakhir pada tujuan yang baik, seperti yang kita dan ibu cita-citakan,” katanya lagi, dengan khidmat. “Lihatlah, karena kau sekolah tinggi-tinggi, kau akhirnya hidup bahagia sebagai seorang dosen yang sebentar lagi akan menjadi satu-satunya profesor di kampung ini. Dan mungkin karena sekolahku rendah, aku pun hidup bahagia sebagai seorang petani sekaligus seorang ibu rumah tangga,” tuturnya, lantas lekas memalingkah wajahnya dariku, seolah-olah ia telah salah memungkaskan penuturannya.

Aku bisa membaca perasaannya.

Tiba-tiba, Rianti datang mendekat dan mengadu kepada nenek langsungnya, Lita. Ia kesal sendiri setelah tangan bonekanya terlepas dari kaitan, dan meminta sang nenek untuk segera membetulkannya.

Seketika, atas segala yang telah kucapai di tengah usiaku yang hampir menyentuh kepala empat, naluri keibuanku menyeruak hebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar