Sepanjang
masa kanak-kanak, aku tak pernah mempermasalahkan perlakuan yang berbeda dari
ibuku yang seorang janda kepada aku dan kakakku, Lita. Aku bahkan menikmati
pembedaan itu, sebab aku adalah pihak yang diuntungkan. Sebagai anak bungsu,
aku selalu diutamakan dalam soal-soal pembagian, dan Lita sebagai anak sulung
hanya mendapatkan sisa-sisa dariku.
Namun
setelah beranjak dewasa, aku protes sendiri terhadap perlakuan ibu yang
berbeda. Aku telah memahami bahwa kami diperlakukan secara tidak adil, dan aku
bisa merasakan betapa beratnya menerima ketidakadilan sebagai seorang Lita. Aku
hidup dengan pemenuhan hak yang berlebihan sepanjang waktu, sedang Lita harus
mengorbankan sebagian haknya untukku.
Meski
kami adalah dua orang saudara kandung, dari bapak dan ibu yang sama, aku
menyaksikan secara jelas bahwa kami memang diperlakukan berbeda sebagai anak.
Aku seolah-olah adalah anak satu-satunya, dan Lita hanyalah ibu kedua bagiku.
Aku berhak mendapatkan apapun demi kebaikan masa depanku, dan Lita harus menumbalkan
masa depannya untukku.
Pembedaan
di antara kami, terjadi dalam hal apapun, termasuk pada soal penghargaan. Aku
selalu dianggap lebih cantik daripada Lita, sehinga aku mendapatkan pujian
terus-menerus. Padahal bagiku, Lita lebih cantik. Hanya saja, ia terlalu banyak
bekerja di rumah dan di kebun, sampai ia tak sempat memerhatikan dan merawat
kecantikan rupanya.
Pembedaan,
juga pada soal pendidikan. Sebagai anak kesayangan, aku menempuh pendidikan
sampai bangku kuliah, sedang Lita terhenti setamat SMP. Aku pun beranjak ke
kota, dan Lita harus tinggal di desa untuk membantu ibu mencari ongkos pendidikan
untukku. Itu terjadi karena aku dinggap lebih pintar dan lebih cocok untuk sekolah
tinggi-tinggi ketimbang Lita.
Demi
kebaikan masa depanku, ibu pun terus memacuku untuk mengejar cita-cita setinggi
langit. Ia menghindarkanku dari hal-hal yang dapat membuatku menjadi anak desa yang
biasa. Karena itu pula, ia telah dua kali menolak lamaran pemuda desa semasa kuliahku,
sebab ia yakin, perempuan yang terhormat, akan mendapatkan jodoh yang lebih
baik dari sekadar pemuda desa.
Perbedaan
kualitas diri, secara fisik maupun pemikiran, akhirnya membawa kami pada jalan kehidupan
yang sangat berbeda. Aku terus melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat doktoral,
sembari menjalani profesiku sebagai seorang dosen di kota seberang. Sebaliknya,
Lita tetap menjalani roda kehidupan taninya di desa, sembari menjadi seorang
ibu rumah tangga.
Anehnya,
segenap perbedaan kami saat ini karena pembedaan kami di masa lalu, tak sedikit
pun membuat Lita gusar, apalagi protes kepada ibu. Ia ikhlas atas apa yang telah
kucapai, bahkan turut bersyukur. Ia seolah-olah menerima saja kedudukannya
sebagai anak sulung yang mesti berkorban untuk aku sebagai adik bungsu
sekaligus adik semata wayangnya.
Sampai
akhirnya, bersama segenap rasa yang kupendam untuk Lita, di masa libur kali
ini, aku memutuskan untuk pulang ke kampung. Tanpa keberadaan ibu yang
meninggal sebelas bulan yang lalu, aku pun kembali berada di sebuah rumah yang
menyimpan banyak kenangan di antara kami, hingga aku merasa kalau sudah
waktunya untuk menyampaikan isi hatiku kepadanya.
“Maafkan
aku, Kak. Mungkin karena kehadiranku, sejak dahulu, Ibu memperlakukan Kakak dengan
sangat keras,” kataku, saat kami tengah duduk bersampingan di teras depan rumah
panggung peninggalan ibu, setelah bertukar cerita tentang sisi kehidupan kami masing-masing.
“Aku merasa telah salah menikmati kasih sayang Ibu yang berlebih kepadaku
ketimbang Kakak.”
Lita
menoleh padaku dengan senyuman bersahaja. “Apa yang harus aku maafkan, Dik. Aku
tak sedikit pun merasa kalau kau punya salah kepadaku. Aku tak sedikit pun merasa
kalau Ibu tidak adil kepadaku,” balasnya, sambil menepak-nepak punggung tanganku.
“Apapun itu, yang terbaik adalah menuruti perintah dan mewujudkan harapan Ibu,
dan kau telah melakukannya dengan baik.”
Aku
pun terharu mendengar ketulusan hatinya.
“Kita
memang punya jalan hidup yang berbeda, Dik. Tapi kita tetap berakhir pada
tujuan yang baik, seperti yang kita dan ibu cita-citakan,” katanya lagi, dengan
khidmat. “Lihatlah, karena kau sekolah tinggi-tinggi, kau akhirnya hidup bahagia
sebagai seorang dosen yang sebentar lagi akan menjadi satu-satunya profesor di
kampung ini. Dan mungkin karena sekolahku rendah, aku pun hidup bahagia sebagai
seorang petani sekaligus seorang ibu rumah tangga,” tuturnya, lantas lekas memalingkah
wajahnya dariku, seolah-olah ia telah salah memungkaskan penuturannya.
Aku
bisa membaca perasaannya.
Tiba-tiba,
Rianti datang mendekat dan mengadu kepada nenek langsungnya, Lita. Ia kesal
sendiri setelah tangan bonekanya terlepas dari kaitan, dan meminta sang nenek
untuk segera membetulkannya.
Seketika,
atas segala yang telah kucapai di tengah usiaku yang hampir menyentuh kepala
empat, naluri keibuanku menyeruak hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar