Minggu, 07 Juni 2020

Wasiat Hidup

Atas cinta yang telah membutakan hatinya, Dimas tak bisa lagi berpaling dari Lira. Ia tak ingin terpisah, meski ia tahu kalau status sosial dan ekonomi di antara mereka sangat berbeda. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana, sedang Lira berasal dari keluarga pengusaha warung makan yang kaya raya, tetapi kesenjangan itu tak menyurutkan semangat cintanya.

Namun beruntung bagi Dimas. Lira memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Lira mencintainya dengan apa adanya. Sebuah kenyataan yang membuatnya tidak habis pikir tentang jalan pikiran seorang gadis cantik dan berada itu, yang berbeda pergaulan dengannya di masa awal kuliah. Yang bisa ia pahami pada akhirnya adalah cinta memang buta, tanpa pandang bulu.

Tetapi dengan sedikit narsis, Dimas menduga-duga kalau ketertarikan Lira kepadanya dipicu oleh ketampanan dan kecerdasannya. Sebagaimana kata orang, ia memang memiliki wajah yang tampan, seolah ia terlahir dari benih pesohor layar kaca. Pun, ia cerdas, sampai berhasil lulus dengan predikat cum laude, sehingga ia tampak memiliki prospek masa depan yang baik.

Dengan apa yang dimilikinya, Dimas akhirnya memberanikan diri meminang Lira. Ia menghadap orang tua sang pujaan dengan penuh wibawa, kemudian mengucapkan janji bahwa ia akan menjadi orang sukses dan membahagiakan Lira. Hingga akhirnya, atas kenekatan itu, juga dengan upaya Lira meyakinkan orang tuanya sendiri, mereka pun berhasil menjadi sepasang suami-istri.

Waktu berulir cepat. Setelah tahun demi tahun berganti, janji Dimas untuk menjadi sukses, terus-menerus ia perjuangan dengan mati-matian. Beberapa pekerjaan lapangan telah ia lakoni di tengah usahanya untuk mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintahan. Namun pada akhirnya, ia cuma berakhir dan bertahan sebagai seorang penjaga toko dengan penghasilan yang biasa-biasa saja.

Setelah dua puluh tahun menjadi karyawan toko, Dimas memang mengalami peningkatan karir. Ia berhasil menjabat sebagai kepala toko. Tetapi penghasilan dari posisi tersebut, masih sangat pas-pasan untuk mengangulangi kebutuhan hidupnya sekeluarga yang juga terus meningkat, terutama karena ia punya dua orang anak perempuan yang kini duduk di bangku kuliah.

Belum lagi, penghasilan dan tabungannya juga semakin terkuras untuk soal keinginan dan gaya hidup anggota keluarganya. Meski telah hidup bersama selama puluhan tahun, istrinya tetap saja dengan kebiasaan mewahnya, yang akhirnya menurun kepada kedua putrinya. Tetapi setiap kali ingin memperingatkan istrinya untuk mengubah cara hidup, seketika pula, ia teringat pada janjinya sebelum menikah, bahwa ia akan sukses dan membahagiakan sang istri.

Sampai akhirnya, datanglah keadaan yang mengkhawatirkan. Dimas jatuh sakit dengan sakit yang parah. Ia berat menghela-hembuskan napas di tengah tubuhnya yang tambun. Jantungnya melemah, hingga ia mesti dirawat secara intensif di rumah sakit. Meski sempat membaik, tetapi belakangan ini, keadaannya malah kembali memburuk, bahkan semakin memburuk. 

Hingga tibalah waktu ketika Dimas merasa bahwa ajalnya akan segera tiba. Dengan penuh kepasrahan, ia pun mempersiapkan diri untuk menghadapi maut ketimbang berjuang mempertahankan hidupnya. Ia berserah pada takdir di ujung harapannya sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menyampaikan wasiat dan rahasia-rahasianya kepada sang istri.

“Bu, maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan Ibu seperti yang aku janjikan dahulu,” tutur Dimas yang terbaring lemah di kasur perawatan rumah sakit. “Aku tahu, banyak keinginan-keinginan Ibu yang tidak bisa aku penuhi. Jadi, maafkanlah aku.”

Dengan penuh keprihatinan, sang istri yang berada di sampingnya pun menggeleng-geleng sedih. “Bapak tidak salah. Bapak telah mengusahakan segala yang terbaik untukku dan untuk anak-anak. Bapak telah berusaha membahagaikan kami, dan aku merasa kalau Bapak telah berhasil melakukannya.”

Dimas lalu memalingkan wajah dari sang istri dengan raut kecut, seolah-olah ia tetap kecewa terhadap dirinya sendiri. “Tapi aku merasa tetap gagal membahagikan Ibu. Tidak saja pada masa-masa yang telah kita lalui, tetapi juga pada hari-hari esok,” tuturnya, dengan suara yang tersengal-sengal. “Dan sepertinya, maut akan segera menandaskanku dalam kegagalan.”

Sang istri pun menangis, seolah tak kuasa membayangkan kenyataan hidup tanpa kehadiran sang suami. “Bertahanlah, Pak. Aku yakin Bapak bisa bertahan,” tuturnya, sembari menyeka air matanya. “Kalau besok-besok Bapak pulih, kita akan bersama-sama mengejar apa yang belum kita capai untuk kebahagiaan kita.”

Dimas menggeleng lemah dengan rupa tak berdaya.

Sang istri pun semakin terisak.

“Mungkin sudah waktunya aku menyampaikan rahasia yang sekaligus sebagai wasiat untuk Ibu dan anak-anak,” tutur Dimas, kemudian menjeda untuk menghela-hembuskan napas yang terasa berat. Ia lalu menoleh pada sang istri, dan bertanya, “Tetapi, bersediakan Ibu memaafkan aku atas itu? Bersediakah Ibu mewujudkan wasiatku itu?”

Tanpa ragu-ragu, sang istri pun mengangguk, seolah-olah bersedia menyanggupinya tanpa syarat.

Desau napas Dimas yang pendek, tiba-tiba memburu, seakan-akan ia merasa  sulit untuk berucap. Tetapi akhirnya, setelah detik-detik bergulir, ia bertutur juga, “Aku punya utang, 50 juta.”

Sontak, sang istri pun terkaget di tengah tangisnya.

Dimas segera memungkaskan keterangannya. “Aku berutang pada Pak Dirman, 30 juta, dan pada Pak Rudi, 20 juta.”

Tiba-tiba, tangis sang istri jadi lebih keras.

“Aku mohon, dengan apa yang aku tinggalkan nanti, dan dengan apa yang kalian miliki, lunasilah utang-utangku itu, agar aku tenang di alam sana,” pinta Dimas, dengan napas yang semakin sesak dan bola mata yang liar, hingga ia mengerjang.

Sang istri pun segera memanggil petugas.

Seketika, dokter dan perawat datang memberi pertolongan.

Dengan harap-harap cemas, sang istri dan kedua putrinya menanti-nanti kemungkinan dan kepastian di luar ruangan.

Menit demi menit bergulir.

Akhirnya, seorang dokter datang dan menyampaikan kabar yang tak mereka duga-duga, bahwa keadaan Dimas kembali membaik.

Hari demi hari berganti.

Tanpa disangka-sangka, keadaan Dimas terus membaik, hingga kondisinya kembali seperti semula.

Hari ini, Dimas yang kembali bekerja, akhirnya melihat perubahan besar pada gaya hidup istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar