Atas
cinta yang telah membutakan hatinya, Dimas tak bisa lagi berpaling dari Lira. Ia
tak ingin terpisah, meski ia tahu kalau status sosial dan ekonomi di antara
mereka sangat berbeda. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana, sedang
Lira berasal dari keluarga pengusaha warung makan yang kaya raya, tetapi
kesenjangan itu tak menyurutkan semangat cintanya.
Namun
beruntung bagi Dimas. Lira memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Lira mencintainya
dengan apa adanya. Sebuah kenyataan yang membuatnya tidak habis pikir tentang jalan
pikiran seorang gadis cantik dan berada itu, yang berbeda pergaulan dengannya
di masa awal kuliah. Yang bisa ia pahami pada akhirnya adalah cinta memang
buta, tanpa pandang bulu.
Tetapi
dengan sedikit narsis, Dimas menduga-duga kalau ketertarikan Lira kepadanya
dipicu oleh ketampanan dan kecerdasannya. Sebagaimana kata orang, ia memang memiliki
wajah yang tampan, seolah ia terlahir dari benih pesohor layar kaca. Pun, ia cerdas,
sampai berhasil lulus dengan predikat cum
laude, sehingga ia tampak memiliki prospek masa depan yang baik.
Dengan
apa yang dimilikinya, Dimas akhirnya memberanikan diri meminang Lira. Ia
menghadap orang tua sang pujaan dengan penuh wibawa, kemudian mengucapkan janji
bahwa ia akan menjadi orang sukses dan membahagiakan Lira. Hingga akhirnya,
atas kenekatan itu, juga dengan upaya Lira meyakinkan orang tuanya sendiri,
mereka pun berhasil menjadi sepasang suami-istri.
Waktu
berulir cepat. Setelah tahun demi tahun berganti, janji Dimas untuk menjadi
sukses, terus-menerus ia perjuangan dengan mati-matian. Beberapa pekerjaan
lapangan telah ia lakoni di tengah usahanya untuk mendapatkan pekerjaan di kantor
pemerintahan. Namun pada akhirnya, ia cuma berakhir dan bertahan sebagai seorang
penjaga toko dengan penghasilan yang biasa-biasa saja.
Setelah
dua puluh tahun menjadi karyawan toko, Dimas memang mengalami peningkatan karir.
Ia berhasil menjabat sebagai kepala toko. Tetapi penghasilan dari posisi
tersebut, masih sangat pas-pasan untuk mengangulangi kebutuhan hidupnya
sekeluarga yang juga terus meningkat, terutama karena ia punya dua orang anak perempuan
yang kini duduk di bangku kuliah.
Belum
lagi, penghasilan dan tabungannya juga semakin terkuras untuk soal keinginan
dan gaya hidup anggota keluarganya. Meski telah hidup bersama selama puluhan
tahun, istrinya tetap saja dengan kebiasaan mewahnya, yang akhirnya menurun
kepada kedua putrinya. Tetapi setiap kali ingin memperingatkan istrinya untuk
mengubah cara hidup, seketika pula, ia teringat pada janjinya sebelum menikah,
bahwa ia akan sukses dan membahagiakan sang istri.
Sampai
akhirnya, datanglah keadaan yang mengkhawatirkan. Dimas jatuh sakit dengan
sakit yang parah. Ia berat menghela-hembuskan napas di tengah tubuhnya yang
tambun. Jantungnya melemah, hingga ia mesti dirawat secara intensif di rumah
sakit. Meski sempat membaik, tetapi belakangan ini, keadaannya malah kembali memburuk, bahkan semakin memburuk.
Hingga
tibalah waktu ketika Dimas merasa bahwa ajalnya akan segera tiba. Dengan penuh kepasrahan,
ia pun mempersiapkan diri untuk menghadapi maut ketimbang berjuang mempertahankan
hidupnya. Ia berserah pada takdir di ujung harapannya sendiri. Sampai akhirnya,
ia memutuskan untuk menyampaikan wasiat dan rahasia-rahasianya kepada sang
istri.
“Bu,
maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan Ibu seperti yang aku janjikan
dahulu,” tutur Dimas yang terbaring lemah di kasur perawatan rumah sakit. “Aku
tahu, banyak keinginan-keinginan Ibu yang tidak bisa aku penuhi. Jadi,
maafkanlah aku.”
Dengan
penuh keprihatinan, sang istri yang berada di sampingnya pun menggeleng-geleng
sedih. “Bapak tidak salah. Bapak telah mengusahakan segala yang terbaik untukku
dan untuk anak-anak. Bapak telah berusaha membahagaikan kami, dan aku merasa kalau
Bapak telah berhasil melakukannya.”
Dimas
lalu memalingkan wajah dari sang istri dengan raut kecut, seolah-olah ia tetap kecewa
terhadap dirinya sendiri. “Tapi aku merasa tetap gagal membahagikan Ibu. Tidak
saja pada masa-masa yang telah kita lalui, tetapi juga pada hari-hari esok,”
tuturnya, dengan suara yang tersengal-sengal. “Dan sepertinya, maut akan segera
menandaskanku dalam kegagalan.”
Sang
istri pun menangis, seolah tak kuasa membayangkan kenyataan hidup tanpa kehadiran
sang suami. “Bertahanlah, Pak. Aku yakin Bapak bisa bertahan,” tuturnya,
sembari menyeka air matanya. “Kalau besok-besok Bapak pulih, kita akan
bersama-sama mengejar apa yang belum kita capai untuk kebahagiaan kita.”
Dimas
menggeleng lemah dengan rupa tak berdaya.
Sang
istri pun semakin terisak.
“Mungkin
sudah waktunya aku menyampaikan rahasia yang sekaligus sebagai wasiat untuk Ibu
dan anak-anak,” tutur Dimas, kemudian menjeda untuk menghela-hembuskan napas
yang terasa berat. Ia lalu menoleh pada sang istri, dan bertanya, “Tetapi,
bersediakan Ibu memaafkan aku atas itu? Bersediakah Ibu mewujudkan wasiatku itu?”
Tanpa
ragu-ragu, sang istri pun mengangguk, seolah-olah bersedia menyanggupinya tanpa
syarat.
Desau
napas Dimas yang pendek, tiba-tiba memburu, seakan-akan ia merasa sulit untuk berucap. Tetapi akhirnya, setelah
detik-detik bergulir, ia bertutur juga, “Aku punya utang, 50 juta.”
Sontak,
sang istri pun terkaget di tengah tangisnya.
Dimas
segera memungkaskan keterangannya. “Aku berutang pada Pak Dirman, 30 juta,
dan pada Pak Rudi, 20 juta.”
Tiba-tiba,
tangis sang istri jadi lebih keras.
“Aku
mohon, dengan apa yang aku tinggalkan nanti, dan dengan apa yang kalian miliki,
lunasilah utang-utangku itu, agar aku tenang di alam sana,” pinta Dimas, dengan
napas yang semakin sesak dan bola mata yang liar, hingga ia mengerjang.
Sang
istri pun segera memanggil petugas.
Seketika,
dokter dan perawat datang memberi pertolongan.
Dengan
harap-harap cemas, sang istri dan kedua putrinya menanti-nanti kemungkinan dan
kepastian di luar ruangan.
Menit
demi menit bergulir.
Akhirnya,
seorang dokter datang dan menyampaikan kabar yang tak mereka duga-duga, bahwa
keadaan Dimas kembali membaik.
Hari
demi hari berganti.
Tanpa
disangka-sangka, keadaan Dimas terus membaik, hingga kondisinya kembali seperti
semula.
Hari ini, Dimas yang kembali bekerja, akhirnya melihat perubahan besar pada gaya hidup istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar