Jalan
jodoh Hilman untuk bertemu dengan sang istri, Dina, terpaut oleh musik. Lima
tahun yang lalu, seorang penyanyi, solois, menggelar konser di kota mereka. Atas
kehendak alam, di antara kerumunan orang-orang yang mengelu-elukan sang idola melantunkan
lagu cinta yang menyentuh hati, dengan begitu saja, mereka berdiri bersampingan,
tanpa rencana.
Kedatangan
mereka secara sendiri-sendiri di konser itu, tanpa ditemani siapa-siapa,
akhirnya mendorong mereka untuk saling mengenal. Setelah sesi perkenalan yang
kaku, mereka lantas terperangkap dalam senandung-senandung cinta yang turut
mereka lantunkan, atau dalam obrolan tentang sosok sang idola, seolah-olah
mereka adalah taman akrab.
Akhirnya,
selepas konser, mereka tetap saling berkomunikasi melalui berbagai macam
saluran maya. Lambat-laun, hubungan mereka pun semakin erat. Keseganan dan
batas-batas rahasia di antara mereka, seperti telah menghilang. Mereka saling
merindu untuk berbagi, seolah mereka saling membutuhkan. Hingga di tahun itu
pula, mereka pun melangsungkan pernikahan.
Waktu
demi waktu, hubungan mereka tetap terjaga baik, bahkan semakin membaik.
Pertambahan usia yang sering kali menurunkan kadar kekaguman antarsuami-istri,
tidak terjadi di antara mereka. Hari demi hari, bahkan setelah lampau tahun
demi tahun, perasaan di antara mereka seolah masih semengesankan pertemuan
pertama di konser sang idola.
Kunci
eratnya hubungan mereka adalah lagu-lagu yang telah menyimpul hati mereka.
Setiap hari, lagu-lagu sang idola akan mengalun di ruang rumah mereka. Dan
setiap kali mendengarkan lagu-lagu itu, mereka akan kembali merefleksikan
perasaan hati mereka yang menggebu pada pertemuan pertama, dan mereka akan jatuh
cinta lagi satu sama lain.
Namun
beberapa hari belakangan, kejenuhan Hilman timbul atas ritual keromantisan yang
berulang. Ia merasa bahwa menggantungkan citra cinta masa kini dan masa depan
pada cerita masa lalu, adalah sebuah jebakan kenangan yang harus dihindari. Ia
merasa bahwa kenangan manis semacam itu telah membuat mereka kehilangan daya untuk saling memberi
kesan-kesan yang baru.
Sebagai
seorang suami, Hilman tentu saja ingin menjadi satu-satunya lelaki di dalam
sanubari sang istri. Ia ingin segala yang dicintai sang istri, dari awal hingga
akhir, adalah bagian dari dirinya, sesempurna dan sehina apapun itu. Tetapi
lagu-lagu kenangan dan sosok sang idola, membuat itu mustahil baginya,
seolah-olah ia hanya orang kedua di tahta hati sang istri.
Kerisauan
Hilman memang beralasan. Hari demi hari, sang istri semakin larut ke dalam
perihal sang idola. Sang istri semakin gandrung memainkan lagu kenangan milik sang
idola, hingga menghias-hiasi dinding rumah dengan foto dan poster sang idola.
Sang istri seolah butuh suasana kenangan itu sebelum menerima dan menyenangi
keadannya sebagai suami.
Atas
kegandrungan sang istri yang tampak berlebihan, Hilman pun jadi cemburu. Ia
merasa tak berguna atas dirinya sendiri yang tidak bisa menjadi idola pertama
dan utama bagi sang istri. Ia merasa bahwa sang isti mencintainya hanya karena
sang istri mencintai sang idola. Ia merasa bahwa di benak sang istri, ia
hanyalah sosok bayangan terhadap diri sang idola.
Akhirnya,
di tengah kerisauan hatinya, Hilman pun kembali memperturut kegemaran bermusiknya. Ia
memutuskan untuk membeli sebuah gitar dan mulai membentuk dirinya sebagai
musisi. Ia bertekad untuk membuat lagu-lagu yang romanstis, hingga sang istri
berpaling dari sang idola. Ia ingin sang istri mencintai dirinya secara utuh,
sebagai suami sekaligus idola.
Setelah
beberapa hari menyendiri di ruang-ruang sepi, ia pun berhasil mengarang sebuah
lagu. Secara diam-diam, ia lalu merekam lagu itu di sebuah studio rekaman, dan
menyerahkan hasilnya kepada seorang master untuk diberi polesan. Sampai
akhirnya, jadilah sebuah lagu yang ia yakini lebih baik dari lagu kenangan milik
sang idola di benak sang istri.
Maka
petang ini, ketika ia dan sang istri kembali duduk di teras depan lantai dua
rumah mereka, ia pun memutuskan untuk memperdengarkan lagunya. Tanpa aba-aba,
ia lantas menyetop alunan lagu sang idola dan menggantinya dengan alunan lagu ciptaannya
sendiri. Hingga mengalunlah sebuah lagu akustik yang melankolis, dengan lirik cinta
penuh majas, yang merangkum bentuk perasaannya kepada sang istri.
“Aduh,
kenapa lagunya diganti, Pak?” tanya sang istri dengan nada kesal, ketika lagu
itu baru saja dimainkan.
Hilman
tak menjawab. Ia duduk saja, seolah tak peduli. Ia ingin sang istri mendengar
lagu ciptaannya itu secara utuh, hingga ia jatuh hati pada akhirnya.
“Itu
lagu siapa, Pak?” tanya sang istri dengan raut heran, seolah mendengar sesuatu yang
sangat asing baginya.
Hilman
pun deg-degan, seakan yakin bahwa sang istri akan menyukainya. “Ibu suka, kan?”
Sang
istri lekas menggeleng tegas.
“Masa
Ibu tidak suka dengan lagu sebagus itu?” tanya Hilman lagi, bermaksud menuntut
persetujuan atas pendapatnya sendiri.
“Terdengar
aneh. Sama sekali tidak asyik,” vonis sang istri.
Sontak,
perasaan Hilman hancur-lebur.
“Sebaiknya
Bapak putar lagi lagu yang tadi. Ayo cepat, ganti!” pinta sang istri, tegas.
Dengan
perasaan kecut, Hilman pun menuruti permintaan sang istri.
Akhirnya,
di bawah langit sore, Hilman pasrah menikmati ketidakberhargaan dirinya di samping sang
istri yang tampak menikmati senja dengan sebuah lagu dari sang idola. Di tengah
keputusasaannya, ia lalu mengunggah lagunya itu di laman media sosialnya untuk melihat
tanggapan orang-orang, tanpa peduli kalau-kalau ia malah akan mendapat celaan
seperti yang ia dapatkan dari sang istri.
Detik
demi detik bergulir. Sore pun berlalu.
Sebelum
masuk ke dalam rumah, Hilman kembali mengecek akun media sosialnya untuk
melihat tanggapan warganet atas lagunya. Tanpa terduga, ia ternyata mendapatkan
banyak pujian di antara sedikit celaan. Hingga akhirnya, ia terkejut menyaksikan rangkaian kata yang masuk melalui kotak pesannya:
Aku pengagum Kakak sejak dahulu. Aku
tahu Kakak punya bakat bermusik. Dan akhirnya, Kakak menciptakan sebuah lagu yang sangat
menyentuh. Aku sangat suka. Terima kasih sudah menciptakan lagu seromantis itu.
Sang pengirim adalah seorang
wanita yang dahulu ia idam-idamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar