Berhari-hari
sudah Matini berdiam diri di pelataran belakang rumahnya. Duduk menyendiri dan
malas berkata-kata. Hanya memandang kosong pada hamparan bebukitan. Meresapi
desau angin sore yang membawa kesunyian. Mengkhidmati kesendirian, hingga gelap
mengakhiri penantiannya lagi. Semua demi sebuah harapan besar yang masih ia
doakan.
Seperti
kemarin, sore kali ini, masih dianggapnya sebagai pertanda. Ia tahu, ada
kedatangan kala senja membias di langit barat. Ada seseorang yang akan hadir menyelimutinya,
melawan angin laut. Sebuah kehangatan dalam kebersamaan, yang kini disadarinya lebih
berharga dari seisi bumi. Semua tak pernah ia sangsikan.
Atas
keyakinanya, Martini terus menanti. Menunggu kedatangan sesuatu yang telah hilang.
Berharap dianugerahkan sebuah keberuntungan. Melawan kemustahilan. Sebagaimana
ia tahu, selalu ada peristiwa ajaib yang mengalahkan logika. Maka, ia pun tak
menggoyahkan keyakinan hatinya. Seperti di penghujung senja kemarin, ia
yakin suaminya akan pulang.
“Sudah
gelap, Bu. Mungkin hari ini Ayah masih belum pulang,” tutur Bakri. Dalam
keluarga Martini, ia adalah anak tertua.
Martini
masih dengan sikap yang sama. Hanya terdiam, sembari menggenggam dan
mengelus-elus sebuah amplop dari perusahaan, tempat suaminya bekerja.
Dengan
segan, Bakri pun mengutarakan maksudnya. Sebisa mungkin tak membuyarkan harapan
Martini. “Sudah waktunya masuk rumah, Bu,” ajaknya, sambil menggenggam tangan perempuan
itu. “Jangan terlalu mencemaskan Ayah lagi. Kalau Ibu begini terus, aku yakin,
Ayahlah yang cemas pada Ibu.”
Martini
masih bergeming. Ia tetap kukuh memegang janji tak terucap dari sang suami
untuk pulang.
Bakri
mengalah. Ia sadar, Martini tak akan beranjak tanpa kemauannya sendiri.
Dalam
menungannya, pikiran Martini melayang jauh. Sampai di satu pagi, saat ia
melepas pergi sang suami untuk bekerja, tanpa senyum dan salam. Di satu waktu
kala mereka berbincang dengan penuh amarah untuk pertama kalinya, sekaligus menjadi perbincangan
yang terakhir.
“Sudah
waktunya kita bicara pada Bakri tentang jati dirinya,” ketus Martini saat
mengobrol dengan sang suami, Maun.
Mendengar
penuturan istrinya, emosi Maun melonjak. “Ibu bilang apa? Berapa kali sudah
kutegaskan kalau aku tak mau mendengar pernyataan itu lagi. Kita telah membesarkan
Bakri dengan susah-payah. Ia juga bahagia hidup bersama kita. Atas alasan apa
lagi itu harus diungkapkan? Ibu mau Bakri malah sedih dan pergi?”
Martini
ngotot. Nada suaranya yang tak kalah tegas. “Pak, kita punya dua orang anak
kandung. Mereka butuh uang banyak untuk kehidupannya kini dan kelak. Kita akan
kerepotan kalau mengurus Bakri juga, apalagi menyekolahkannya. Kalau pendapatan
Bapak besar, ya, tak masalah. Aku hanya ingin kehidupan Bakri lebih baik dalam
sebuah keluarga yang berkecukupan.”
Maun
tetap pada sikapnya. “Bu, aku tak ingin mendengar ucapan itu lagi. Kalau uang
adalah soal yang Ibu permasalahkan, aku akan mencari penghasilan lebih demi
Bakri, tanpa perlu mengurangi jatah ibu dan anak-anak.” Maun pun menghentikan
sarapan paginya, kemudian berdiri dari posisi duduk. “Bakri harus masuk sekolah!”
“Baiklah.
Aku setuju. Dan aku ingin, Bapak pulang dengan penghasilan yang lebih, mulai
hari ini!” tegas Martini.
Maun
tak membalas. Setelah meneguk air minum, ia pun beranjak pergi dengan raut
wajah yang muram. Melangkah menuju bukit di seberang rumahnya, tempat ia
bekerja sebagai kuli untuk sebuah perusahaan penambang batu gunung.
Seketika,
rasa bersalah menggerogoti perasaan Martini. Meski punya pendirian yang berbeda
dengan sang suami tentang Bakri, anak yang diasuhnya semenjak bayi delapan tahun
lalu, ia sadar telah menempuh cara yang salah dalam mengomunikasikannya.
Waktu
serasa berjalan lambat bagi Martini sejak pagi itu. Usai percekcokan, dengan
harap-harap cemas, ia menanti senja segera datang memulangkan suaminya. Ada
rasa bersalah di hatinya yang menuntut pemaafan.
Nahas,
hujan deras mengguyur hamparan bebukitan. Tujuh hari berlalu, tepat di hari
ini, Maun tak juga pulang. Tim pencari menyerah. Jasad Maun tak ditemukan. Ia
tertimbun longsor.
Kini,
Martini hanya meratap. Ia menyesali cara perpisahan dengan sang suami. Mengutuk
dirinya sendiri. Dan lagi, ia kembali menutup senja bersama harapan yang masih
menggantung di antara kenyataan dengan khayalannya.
“Nak,
lusa kau masuk sekolah. Kau harus sekolah tinggi-tinggi, biar jadi orang
sukses,” tutur Martini pada Bakri. Raut wajahnya polos, sehampa hatinya.
Bakri
tersenyum. “Terima kasih, Bu.”
Martini
pun beranjak dari tempat duduknya. Ia masih menggengam amplop berisi uang duka
dan klaim asuransi dari perusahaan tempat sang suami bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar