Engkau
telah menyadarkanku untuk menjadi perempuan sejati. Kau punya pandangan yang mengagumkan
soal kesetaraan gender. Tentang bagaimana seorang wanita harus bersikap,
bertutur, dan bertindak, kau bisa menempatkannya secara baik. Mungkin karena
itulah, aku mengagumimu.
Dahulu,
aku salah menilai kedudukanku seorang perempuan. Aku selalu menganggap lelaki
adalah penguasa tak sah atas hak perempuan. Protes kulancarkan sebab laki-laki
selalu didahulukan dalam segala persoalan. Tak kuterima jika lelaki dinobatkan
sebagai pemimpin bagi kaum perempuan.
Kini
cara pendangku berbeda. Entah kenapa, aku terpengaruh juga oleh kata-katamu,
bahwa laki-laki dan perempuan, punya kodrat yang berbeda. Karena perbedaan
itulah, keduanya saling membutuhkan. Jika lelaki berperilaku layaknya
perempuan, atau sebaliknya, katamu, itu adalah penyimpangan dari kodrat.
“Kau
banyak perubahan belakangan ini. Apa ada sesuatu yang meracuni otakmu?” ledekmu,
setelah melihat penampilanku yang lebih keperempuanan. Tak lagi mengenakan kaos oblong, tapi kemeja lengan panjang. Jins pun, kuganti dengan rok.
“Menangnya
salah. Penampilan boleh berubah, tapi pemikiran dan prinsip hidup, tak boleh.”
Aku berusaha membela diri.
“Kau
memelas saja. Ya, bagaimana pun juga, penampilan itu mencerminkan pola pikir
dan sikap seseorang. Itu sulit dipisahkan. Kalau kau menganggapku terlalu
materialis, terserah kau,” serangmu lagi.
Aku
tak mau kalah. “Kau memang materialis. Buktinya, kau mencapku telah berubah
hanya dengan melihat penampilan luarku.”
Akhirnya,
kau menengahi sendiri perdebatan kita, “Ya, terserah kau. Yang pasti, kau berpenampilan
layaknya perempuan normal, itu sudah bagus. Masalah isi kepalamu, aku tak punya
urusan.”
Aku
tak tergelitik untuk menanggapi kata-katamu lagi.
“Oh
ya, kalau boleh saran sih, warna bajumu yang kuning, tak cocok jika dipadukan
dengan warna biru. Kau harus cerdas menyerasikan warna, supaya ada juga lelaki
yang tertarik padamu. Kalau beruntung kan, kelak, kau jadi seorang ibu juga,”
ledekmu lagi, kemudian berlanjut, “Bedakmu di wajahmu juga tak tersebar merata.
Apalagi pewarna alismu, tinggi sebelah.”
Tiba-tiba,
aku merasa seperti dibombardir. Saranmu yang bertubi-tubi, tak ubahnya seperti
ejekan bagiku. “Aku sengaja saja. Kalau terlalu sempurna, takut kau jadi suka,”
tangkisku.
Kau
tertawa. “Itu sih maumu saja,” pungkasmu, kemudian beranjak pergi.
Dari
obrolan kita yang penuh singgungan itu, aku pun sadar telah tersesat lama di
dunia kelaki-lakian. Melawan paradigma dan dominasi laki-laki dengan menjadi
seperti laki-laki. Ternyata kau benar, perjuangan tak harus melawan kodrat. Ada
sisi keperempuanan yang tak boleh kuabaikan. Dan kini, aku harus mempelajarinya
dari awal.
Berselang
beberapa bulan setelah kutiti jalan kembali ke kodratku, aku dapat kabar mengejutkan.
Kau menikah dengan seorang perempuan. Tapi aku tak kecewa, apalagi menyesal.
Apalagi kutahu, kau menikah dengan seseorang yang sikap dan rupanya, sepadan
denganmu.
Kini,
aku ingat lagi obrolan kita di waktu lalu, yang menjadi awal dari kesadaran dan
perubahanku.
“Kau
akan terlihat lebih baik jika tak meninggalkan sisi-sisi keperempuananmu.
Sebagai perempuan, memang tak ada larangan kalian berprofesi sebagai mana laki-laki,
tapi tak perlu berpenampilan seperti laki-laki,” nasihatmu, setelah menyaksikan
penampilanku yang semakin urakan.
“Apa
untungnya juga aku mengikuti kata-katamu,” sanggahku.
“Jika
kau tak ingin ditakdirkan dengan seorang lelaki yang keibu-ibuan, jadilah perempuan
yang sesungguhnya. Yakinlah, orang akan mendapatkan pasangan sesuai dengan
gambaran kepribadiannya,” jelasmu dengan mimik serius dan tampak meneduhkan.
Setelah
obrolan kita itu, aku tiba-tiba berhasrat mencapai levelmu kepribadianmu. Aku
ingin kita ditakdirkan bersama. Namun, semua terlambat. Kau telah sempurna
bersama si dia. Tapi, aku tak mengapa. Setidaknya, mengagumimu saja telah
membuatku menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar