Di
pelataran depan rumah, aku memandang sejauh hamparan persawahan. Ingatanku pun,
jauh menyusuri jalan kenangan. Melewati lika-liku hidup yang penuh rasa. Hingga,
aku kembali tersesat. Berhenti di ruang rindu yang telah lama kutinggalkan.
Terjebak di satu waktu, kala cintaku jatuh pada satu hati: dia.
Sejak
pertama kali memerhatikan dirinya, tanpa sadar, jiwaku telah terperangkap.
Bayang-bayangnya, menjeratku sampai kini. Ia tak pernah membosankan untuk
dikagumi. Tutur yang kata lembut, tingkah laku yang pemalu, hingga raut
wajahnya yang penuh tanya kala terdiam, masih tergambar jelas di benakku.
Dia
jelas sosok yang menyenangkan. Selalu
punya cara untuk menghangatkan suasana. Yang paling kusuka, adalah kebiasaannya
menyuguhkan teh hangat setiap pagi. Itu ia jadikan bayaran untuk sebuah gubahan
puisi dariku. Kami pun meminum teh dalam suasana damai nan romantis. Dan setelah
itu, aku akan membacakan puisi untuknya.
Di
tengah khayalan yang mengesankan, kau tiba-tiba datang menghampiriku. Kau duduk
di sampingku tanpa tutur kata. Seperti kemarin, rona wajahmu masih terlihat
masam. Tampak ada kerisauan yang kau pendam. Sebuah kekesalan yang tak ingin
kau ungkapkan. Tapi aku tak peduli. Memang lebih baik kita saling memendam
rasa.
Beberapa
minggu berlalu, kita memang terjebak dalam kekakuan. Saling mendiamkan untuk
masalah yang entah sebabnya apa. Mungkin kau lebih tahu, sebab kaulah yang
memulai kekekian ini. Kurasa, kau telah berubah.
Dan
tiba-tiba, kau melontarkan pertanyaan. Memecah keheningan. Mungkin untuk
mencari solusi, atau menjuruskan hubungan kita pada sebuah kesimpulan yang
pahit, “Apa keputusan kita untuk menikah adalah sebuah kesalahan?”
Aku
jelas kaget mendengar pertanyaanmu yang selancang itu. “Kalau menurutmu sendiri
bagaimana?” tanyaku kembali. Sebisa mungkin, aku menghindari kesan kalau
perpisahan adalah jalan terbaik.
“Aku
pasrahkan semua padamu.” Kulihat, kau juga merasa berat mengambil keputusan
untuk berpisah. “Aku hanya merasa, kenyamanan di antara kita telah hilang. Aku
tak ingin hakmu atas rasa bahagia, sirna hanya karena pernikahan kita.”
“Mungkin
kau benar, pernikahan kadang malah memenjarakan,” tanggapku sekenanya. “Tapi tak
ada gunanya juga kita menyesali yang telah terjadi.”
Kau
tak membalas. Aku terdiam. Suasana kembali lengang. Sangat kaku. Padahal, tepat
setahun yang lalu, kita masih berbagi sanjungan yang tak terkira.
Tiba-tiba,
kau menguak rahasia batinmu lagi, “Mungkin sebaiknya, kau kembali ke masa
lalumu saja. Aku yakin, sosok yang kau cintai dahulu, akan lebih
membahagiakanmu.”
Aku
tak mengerti maksudmu. Jelas, tak ada seorang pun yang kunanti di masa lalu
selain dirimu. Hanya kaulah yang kukagumi dan kucintai di waktu lampau, semasih
kau belum berubah. Kuduga, kau salah mengartikan puisi-puisi di akun media
sosialku belakangan ini, ketika aku berat hati menyerahkannya langsung
kepadamu. “Iya. Mungkin kau benar. Mengingat masa lalu kadang lebih menyenangkan ketimbang membayangkan masa depan.”
Kau
menunduk sambil memainkan kuku-kuku tanganmu. Terdiam beberapa detik sebelum
berucap lagi, “Kalau begitu, mungkin sebaiknya kita lewatkan beberapa hari ke
depan untuk memikirkan nasib masa depan kita. Bagaimana pun juga, perceraian
bukan tetang kita saja, tapi juga menyangkut keluarga besar kita.”
“Sebaiknya
begitu,” kataku.
Kau
pun bangkit dari posisi dudukmu, kemudian berpesan, “Aku telah menyeduh teh pagi
ini. Kutempatkan di atas meja makan. Jika kau masih berkenan, meminumlah
sebelum dingin,” tuturmu, lalu pergi.
Dengan
perasaan yang tak seceria dahulu, aku pun beranjak ke dapur, meneguk teh seduhanmu.
Setidaknya, itu akan membuatku bernostalgia tentang kisah kita di masa lalu. Dan
sebagai balasan, aku pun menuliskan sebuah puisi untukmu. Aku menghimpitnya di
bawah gelas teh.
Ada
rindu tertanam
Di
masa laluku yang singkat
Sampai
di penghujung waktu
Hanya
ada satu hati
Kau
Selamat ulang tahun pernikahan kita
Tak
berselang lama, saat tengah melanjutkan renunganku di pelataran rumah, tiba-tiba,
kau datang memelukku dari arah belakang. “Aku mencintaimu. Kumohon, kita harus
tetap bersama,” tuturmu sambil terisak.
Sikapmu itu adalah kejutan bagiku. Aku
berbalik, membalas pelukanmu. “Aku tak akan rela meninggalkanmu. Yakinlah, aku
mencintaimu.”
Di
pelukan erat kita, seakan ada cinta yang mencair kembali. Cinta yang beberapa
waktu, telah dibekukan oleh prasangka-prasangka buruk.
“Tapi
besok-besok, kau tak akan bosan menulis puisi untukku kan?” tanyamu manja.
Aku
menyeka air mata di pipimu. “Iya, asalkan kau juga tak lupa menyuguhkan teh
hangat untuk kita nikmati berdua di pagi hari.”
Kau
mengangguk takzim. Tampak menggemaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar