Bagi
seorang pemendam rasa sepertiku, butuh perantara atau jebakan dalam
mengungkapkan isi hati. Memanfaatkan jasa perantara, makcomblang, jelas lebih
bermartabat. Tapi karena aku tak punya teman baik untuk dijadikan kurir cinta,
maka kupasrahkanlah pada jebakan. Akhirnya, aku pun dijodoh-jodohkan dengan
Rani. Diperangkap dan dipaksa mengaku. Itu tentu sedikit memalukan.
Aku
jelas tak tahu alasan kami dijodoh-jodohkan. Itu tak terlalu penting. Yang
pasti, beberapa teman sekampus telah mengira kami adalah sepasang kekasih. Padahal,
tak sekali pun aku menyatakan perasaan padanya, ataukah dia menyatakan parasaan
padaku. Semua berjalan tanpa kendali. Tapi, keadaan itulah yang aku inginkan.
Jebakan
teman-teman kami, jelas tak kupermasalahkan. Apalagi, dia cerdas dan rupawan.
Sosok pujaan lelaki. Itu akan kujadikan kesempatanku untuk membuat iri semua
orang. Akan kubuat harga diriku meningkat. Caranya, kubentuk kesan bahwa jika
wanita selevel Rani saja layak bersanding denganku, maka menaklukkan wanita
yang lain, tentu lebih mudah.
Demi
menggapai cita-cita sebagai lelaki idola, aku memutuskan untuk menggantungkan hubungan
dengannya. Sengaja kubuat ia menunggu, menjadi tak sabar, lalu menyatakan
perasaannya lebih dahulu. Menegaskan bahwa dialah yang menginginkanku, bukan
sebaliknya. Dengan begitu, citraku sebagai lelaki culun dan tak bermodal
menaklukkan wanita, akan sirna.
“Selamat
ulang tahun, Juki,” tuturnya padaku, di pojok kelas.
Beberapa
penghuni kelas yang belum beranjak, menyoraki kami. Aku yakin, mereka iri.
Segan-segan,
aku menerima kado pemberiannya. “Terima kasih, Rani.”
Dia
balik membalasku dengan satu senyuman terindah. Pipi tembem yang dihiasi
guratan magis, berpadu dengan giginya yang berbaris rapi. Meluluhkan. Apalagi,
ia tersenyum tepat di depanku. Jika sebelumnya aku hanya bisa mencuri kepingan
senyumannya untuk kukhayalkan sendiri, sekarang tampak jelas dan detail.
“Semalam
kau tak ada kegiatan kan? Aku ingin hendak membeli sebuah buku. Apa kau bisa
menemaniku?” tanyanya, seperti sangat memohon.
Atas
tutur dan sikapnya kali ini, aku semakin yakin kalau ia punya perasaan padaku. Aku
pun mengiyakan ajakannya, tentu dengan tetap menjaga harga diri. “Aku
pikir-pikir dulu. Takutnya, aku punya acara mendadak. Sore nanti, akan kuberi
kau kepastian.”
Ia
pun mengangguk, kemudian melangkah pergi. Terlihat sangat senang. Padahal arti
ucapanku, masih sebatas harapan.
Kini,
tak kuragukan lagi kalau Rani telah
jatuh hati padaku. Aku pun tak peduli tentang kabar kedekatannya dengan Rayi,
lelaki yang dipandang paling top. Ia dinilai cerdas, tampan, baik hati, dan
kaya. Tapi semua itu tak cukup untuk menaklukkan seorang Rani. Aku punya
kelebihan sendiri yang tak dipunyai siapa pun: misterius dan mengesankan.
Bagiku,
kedekatan mereka hanya trik Rani untuk membuatku cemburu, agar aku segera
menyatakan perasaan padanya.
Kala
malam menjelang, dengan mengendarai sepeda motor bebekku yang jadul, kami berdua,
berangkat ke toko buku.
Setelah
mendapatkan buku incaran, ia pun mengajakku berbincang-bincang di sebuah kafe. Aku
tak menolak. Apalagi, saat ini, sudah kurencanakan untuk mengakhiri pertempuran
hati kami dengan ending yang
mengesankan. Aku akan menyatakan perasaan sambil melingkarkan sebuah cincin di
jari manisnya. Kupastikan, ia akan tersipu.
“Juk,
aku minta maaf atas apa yang teman-teman kita lakukan selama ini,” tutur dengan
mimik wajah yang semakin menggemaskan. “Kau tak pernah memasukkannya di hati
kan?”
“Iya.
Tak mengapa. Mereka memang kadang-kadang keterlaluan. Sepertinya, mereka tak
yakin kalau aku juga seorang lelaki,” balasku, sambil mengaduk secangkir kopi
di depanku.
Dia
pun mengangguk, lalu terdiam. Sesekali ia meneguk susu-cokelat panas pesanannya.
“Ran,
aku rasa sudah waktunya mengakhiri kemelut perasaan kita,” kataku, langsung
pada pokoknya, setelah bosan berbasa-basi.
“Permainan
apa maksudmu, Juk?” tanyanya.
“Ya,
aku tahu, kau juga punya perasaan padaku. Dan setelah kutimbang-timbang, tak
ada wanita yang lebih baik dan pantas mendampingiku selain dirimu,” tuturku selugas
mungkin. Sedikit angkuh. Tapi kurasa, itu memang pantas. “Aku ingin kita jadi
sepasang kekasih.”
Dia
terlihat kaget. Raut wajahnya berubah aneh. Aku yakin, ia tak menduga kalau aku
akan menyatakan perasaan setelah menggantungkannya begitu lama. “Maaf Juk, aku
tak bisa. Aku hanya menganggapmu sebagai teman biasa,” balasnya.
Aku
jelas tak yakin atas ucapannya. “Sudahlah Ran, aku tak ingin kita bermain-main
perasaan lagi.”
“Maaf,
Juk. Aku tak bisa,” ulangnya lagi.
“Ran,
ayolah,” pintaku, setengah memelas. Sekarang, aku bimbang, di antara percaya
atau tidak dengan tanggapannya.
“Maaf,
Juk. Aku tak bisa. Sebenarnya, malam ini, aku ingin menyampaikan padamu kalau tiga
bulan lagi, aku akan menikah dengan Rayi. Ini undangan untukmu,” tuturnya,
kemudian menyerahkan sebuah undangan pernikahan. “Maafkan aku Juk. Aku harus
pulang sekarang. Rayi segera datang menjemputku.”
Tiba-tiba,
jiwaku seperti melayang. Tak bisa kugambarkan lagi bentuk perasaanku. Saking
kalutnya, aku tak merasakan apa-apa. Kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar