Setelah
mantan presiden SBY dan beberapa mantan pejabat negara di era pemerintahannya
mengaku kehilangan berkas hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir,
muncullah banyak spekulasi. Banyak yang menyangsikan berkas yang juga diberikan
kepada instansi penegak hukum itu, bisa hilang secara bersamaan. Apalagi sekalas
instansi kenegaraan, tentu memiliki sistem persuratan dan pengarsipan yang
ketat.
Pengakuan
hilangnya berkas TPF, menyusul keputusan Komisi Informasi Publik (KIP) bahwa
temuan TPF adalah dokumen yang wajib diumumkan ke publik oleh Kemensesneg
(Kementerian Sekretariat Negara), tentu menuai banyak kecurigaan. KontraS
sebagai pemohon informasi ke KIP, melalui koordinatornya Haris Azhar,
menyatakan bahwa hilangnya berkas TPF hanya mengada-ada.
Atas
semua keganjilan di atas, mencuat lagi keyakinan bahwa ada pihak-pihak yang
sengaja menghalang-halangi pengusutan kasus kematian Munir. Ada indikasi kalau
jalan terang menuju menyingkapan siapa otak di balik pembunuhan Munir, sengaja
digelapkan. Keadaan semakin runyam, sebab sebagaimana pembunuhan aktivis pada
umumnya, selalu saja melibatkan dan disokong oleh “orang-orang besar”.
Akhirnya,
terulang lagi pertanyaan bernada pesimistis, masihkah mungkin misteri kematian
Munir terkuak?
Jalan Buntu
Pengusutan
kasus pembunuhan aktivis HAM Munir pada 7 Spetember 2004, jelas belum menyentuh
akar persoalan. Meskipun pilot Garuda Indoenesia, Pollycarpus, dan mantan
Deputi IV BIN Muchdi Pr telah divonis bersalah, tapi pertanyaan terkait siapa
otak dan apa alasan pembunuhannya belum terkuak. Tak pelak, spekulasi pun,
bermunculan, di antaranya ketidaksukaan elit aparat dan pejabat negara terhadap
Munir karena ia tahu seluk-beluk sejumlah pelangggaran HAM, ataukah karena ia
memegang rahasia tentang kecurangan di Pilpres 2004.
Sebenarnya,
angin segar mengusutan kasus ini, sempat berembus, kala Presiden SBY,
membantuk TPF pada tahun 2014, melalui Keppres 111/2004 tentang Pembentukan Tim
Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. TPF terdiri dari 14 orang, dan diketuai
oleh Brigjen Pol Marsudi. Fungsi TPF dalam durasi kerja maksimal 6 bulan,
adalah membantu pihak kepolisian dalam melakukan penyelidikan. Hasil temuannya,
akan diserahkan ke Presiden, untuk kemudian diumumkan kepada masyarakat.
Namun
sialnya, temuan TPF ini, belakangan diakui hilang oleh pejabat di era SBY.
Padahal, temuan TPF penting, dapat digunakan sebagai bahan menelusuri alur
pembunuhan Munir dan menguak dalangnya. Temuan TPF, jelas akan memudahkan
pengusutan kasus secara tuntas, sebab prosesnya tidak harus memulai dari awal,
melainkan cukup diperbarui dan ditindaklanjuti saja.
Pengakuan
hilangnya berkas TPF, memunculkan tudingan bahwa rezim pemerintahan SBY, tak
berhasil mengusut kasus pembunuhan Munir. Pembentukan TPF untuk menemukan
fakta-fakta yang penting dalam mengambil langkah-langkah hukum, tidak sampai pada
tujuan yang diharapkan. Jika pun mantan presiden SBY telah membentuk TPF
melalui Kepres, itu belumlah cukup, sebab sosok utama di balik pembuhunan
Munir, belum terungkap dan diproses secara hukum.
Butuh Komitemen Baru
Pengungkapan
misteri pembunuhan Munir, kini ditumpukan pada pemerintahan Presiden Jokowi.
Kasus yang diduga melibatkan orang-orang berpengaruh dan berkuasa ini, jelas
membutuhkan komitmen baru. Komitmen itu jangan sekadar mencari dan mengungkap
kronologi kematian Munir, tetapi harus sampai pada pemrosesan pihak yang
terlibat sesuai aturan hukum yang berlaku.
Penegakan
hukum atas pembunuhan Munir, sangat bergantung pada kemauan dan komitmen
seorang Presiden Jokowi. Alasannya karena pembunuhan tersebut melibatkan “aktor-aktor
besar” yang tidak mungkin terendus dan tersentuh para penegak hukum dengan
mudah. Sebagai bukti adalah divonisnya Deputi IV BIN Muchdi Pr sebagai pihak
yang bersalah. Ini berarti, BIN sebagai mata dan telinga presiden, pernah
digunakan sebagai alat perlindungan kekuasaan semata.
Presiden
dengan kekuasaannya, diharapkan memiliki ketegasan dalam menguak kasus
pembunuhan Munir. Hukum harus ditegakkan, tanpa tendensi untuk mencari popularitas
semata, pencitraan diri, ataukah balas dendam terhadap pendahulu negara. Jangan
juga hukum dijalankan berdasarkan bisikan-bisikan oknum untuk kepentingan
politik semata. Penegakan hukum harus murni demi melindungi hak asasi manusia.
Sekali
lagi, Presiden Jokowi memegang kendali atas pengusutan kasus kematian Munir.
Jika berkomitmen, maka terobosan, harus dilakukan. Pengusutannya tak perlu
sepenuhnya digantungkan pada didapat-tidaknya berkas TPF yang dikata hilang.
Presiden Jokowi atas kuasanya, dapat saja membentuk perangkat baru yang serupa
TPF.
Ke
depan, hasil temuan terkait kasus pembunuhan Munir, jangan hanya jadi rahasia
presiden dan elit kekuasaan semata. Temuan sekecil apa pun, harus ditujukan
untuk kepentingan melanjutkan proses hukum yang bak mati suri. Dan yang lebih penting,
publik perlu mengetahui siap di balik misteri itu. Rakyat harus menyaksikan bahwa
oknum yang terlibat, diproses secara hukum, tanpa pandang bulu. Semua itu demi
martabat hukum dan penghargaan tertinggi terhadap sebuah nyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar