Jam
setengah tujuh. Masih terlalu pagi saat Tito sampai di lingkungan sekolah. Yang
mendahuluinya cuma satpam dan petugas kebersihan, serta teman sebangkunya,
Radi. Jika dihitung-hitung, di antara para siswa, mereka berdualah yang senantiasa
mengawali pagi di ruang kelas. Sekadar berbincang-bincang atau membaca buku
pengantar, sebelum guru datang.
Awal
masuk SMA, di kelas 1, Tito bukanlah sosok siswa yang patut diteladani.
Sebagaimana anak sekolah seusianya, ia pernah gemar melakukan kenakalan yang
kekanak-kanakan. Bahkan ia pernah digadang-gadang sebagai siswa dengan perangai
terburuk di sekolah. Itu karena ia suka datang terlambat, atau pulang sebelum
waktunya.
Dahulu,
alasan Tito tak menghargai waktu, tak lain demi melakukan rangkaian kenakalan
lainnya. Daripada duduk dan diam memerhatikan penjelasan guru yang dirasanya
membosankan, ia lebih memilih berleha-leha di bilik game modern, keluyuran di
pusat perbelanjaan, atau sekadar mengunjungi teman sekompleksnya di sekolah tetangga.
Di
tengah laku bandelnya, masih untung, sebab Tito tak pernah melakukan kenakalan
yang menjurus pada aksi kriminal. Ia tak pernah sekali pun melakukan pencurian,
walau itu sekadar menilep permen di kantin sekolah. Itu karena ia berasal dari
keluarga yang kaya raya, pengusaha perhotelan. Tak ada masalah tentang uang
jajan.
Tindak
kenakalan standar bagi anak sekolah yang labil, seperti mengonsumsi minuman
keras atau merokok, juga tak dilakoni Tito. Ia tak mau mencicipi zat-zat
berbahaya itu, meski teman-temannya selalu menawari. Ia takut setelah suatu
waktu ayahnya mengancam akan mengirimnya ke sekolah berasrama untuk belajar
agama jika ketahuan mencoba-coba.
Kelakuan
Tito, murni kenakalan khas lelaki di usia peralihan. Selalu tertantang dan suka
melanggar aturan sekolah demi eksistensi diri. Tak ada rasa malu demi
meninggikan derajat diri di mata teman-teman. Agar tak dianggap kurang pergaulan, tindakan iseng
pun dilakukan, meski bagi orang lain, jelas dianggap tak terpuji.
Sampai
akhirnya, pola pikir Tito tentang arti waktu di masa muda, berubah setelah akrab
dengan Radi. Apalagi setelah mereka sebangku di semester I kelas 2, hingga
semester II, kini. Segenap potensi dirinya, tercurah untuk kegiatan positif. Posisi
Radi, siswa terbaik, peraih ranking I umum selama tiga semester berturut-turut,
bahkan terancam. Tito membuntutinya di ranking II.
“Setelah
lulus nanti, kau berencana kuliah di mana?” Tito memulai obrolan.
Mereka duduk bersampingan.
Mereka duduk bersampingan.
Radi
berhenti mengamati buku matematikanya, mata pelajaran yang setengah jam lagi
akan diujikan. “Aku belum berpikir ke mana-mana. Lulus SMA saja, aku sudah
bersyukur. Ijazah SMA kan sudah sangat berharga di dunia kerja.”
“Kau
harus kuliah kawan. Apalagi, kau orang yang baik dan cerdas. Kalau sekolahmu
tinggi, peluangmu untuk berbuat baik kepada orang banyak, akan lebih terbuka,”
saran Tito, setengah mendesak.
Radi
terdiam sejenak. Sambil menepuk pundak Tito, ia menuturkan balasan yang
diplomatis, “Akan kuusahakan. Sebagaimana anak-anak yang lain, aku tentu ingin
kuliah. Tapi aku tak mau orang tuaku terbebani. Jika mereka harus susah-payah mencari
uang untuk biaya pendidikanku, akan lebih baik jika tidak.”
Tito
tak menanggapi. Sulit menemukan sanggahan tepat untuk alasan itu.
Radi
memang punya latar belakang yang jauh berbeda dengan Tito. Ia hanya anak
seorang petugas kebersihan di salah satu hotel milik orang tua Tito. Karena
kehidupan keluarganya yang pas-pasan, ia tak pernah bercita-cita tinggi.
“Kalau
nilaiku terus membaik sampai lulus nanti, dan aku dapat beasiswa di perguruan
tinggi negeri, aku pastilah kuliah.” Raut wajah Radi, kini terlihat penuh
harap. “Yang seharusnya kuliah itu, kau. Selain cerdas, kau punya orang tua yang mampu menguliahkanmu di kampus mana saja.”
Rasa
segan dan haru menggugah Tito. Ia pun tak ingin lagi mengobrolkan persoalan kuliah. Tapi diam-diam, ia punya rencana demi teman sebangkunya itu
“Kalau bukan karena kau, aku tak akan bisa seperti sekarang. Mungkin saja, masa mudaku berlalu dengan perbuatan tak berguna,” balas Tito, seturut mengalihkan arah pembicaraan.
“Kalau bukan karena kau, aku tak akan bisa seperti sekarang. Mungkin saja, masa mudaku berlalu dengan perbuatan tak berguna,” balas Tito, seturut mengalihkan arah pembicaraan.
“Itu
karena kau saja. Kaulah yang memilih dan mengubah dirimu, bukan aku. Setiap orang
memegang kendali atas jalan hidupnya. Kalau tak mau berubah, ya tak akan
berubah,” sanggah Radi.
Lidah
Tito kelu membalas. Diam-diam, ia merasa malu tak pernah sekali pun menentukan
jalan hidupnya sendiri. Bahkan keputusannya untuk sebangku dengan Radi, bukan
tanpa alasan. Suatu ketika, ayahnya memberikan pilihan, antara berkawan dengan
Radi, atau berhenti sekolah. Karena itulah, mereka sebangku.
Di
penghujung obrolan mereka, guru matematika mamasuki kelas sambil menenteng soal
ujian. Para siswa pun menyerbu masuk ke dalam kelas. Saling berebut posisi
stategis demi melulusi ujian akhir semester. Dan dalam kesenyapan, ujian pun
berlangsung di bawah pengawasan ibu guru yang terkenal judes.
Waktu
bergulir. Dua hari berlalu, pengumuman ujian matematika terpampang di
mading sekolah. Tak disangka, nilai ujian Radi paling tinggi di antara
teman-temannya yang lain. Itu adalah kejutan, sebab semua orang tahu, Tito
lebih handal dalam soal matematika. Semester lalu, nilai matematika Tito
lebih tinggi dibanding Radi.
“Kau
hebat kawan!” seru Tito, saat mereka melihat hasil ujian bersama-sama. “Kalau di
pelajaran matematika saja tak ada yang mengalahkanmu, apalagi di pelajaran
non-eksak.”
Radi
tersenyum pendek. Ia tak ingin menampakkan keterkejutannya. “Kebetulan saja aku
mengalahkanmu. Semester lalu kan, kau mengalahkan nilai matematikaku. Jadi
bukan aku yang hebat kali ini, tapi kau saja yang keliru menjawab soal."
“Kau
jangan mengelak terus kawan. Kau memang hebat. Makanya, jangan sia-siakan
kemampuanmu. Kau harus kuliah!” tegas Tito lagi.
Radi
hanya menyengir dan tak membalas.
Diam-diam,
Radi tak pernah memahami kesyukuran terbesar Tito pernah sebangku dengannya.
Capaian nilai matematika Tito kali ini, bukanlah karena ketedorannya. Sangaja
saja, sebab ia tahu, Radi butuh nilai yang baik dan terus meningkat untuk dapat kuliah
di kampus favorit melalui jalur undangan, serta untuk mendapatkan sokongan beasiswa yang selama ini diincarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar