Enam
bulan lalu, hujan turun begitu deras. Di sebuah kafe yang sesekali kukunjungi, aku
menanti secangkir kopi pekat. Seduhan itu, telah beberapa kali kujadikan
pengiring kala berjibaku menyusun tugas akhir sebagai mahasiswa. Hingga
akhirnya, seorang pelayan pun, datang.
“Permisi,”
tuturnya sambil melayangkan kopi pesananku dari nampan ke atas meja. “Silahkan
diminum,” sambungnya, sambil tersenyum.
Sikap
santun terbalut wajahnya yang cantik, membuat aliran darahku tiba-tiba
mengencang. Aku merasa jatuh hati. “Manis?” ketusku. Begitulah kata yang
tiba-tiba meluncur dari mulutku.
“Ya?” Ia tampak ragu atas apa yang didengarnya.
“Kopinya
manis kan?” tanyaku, sambil berusaha meredam kekakuan diri karena deg-degan.
Dia
menggaruk tepi hidungnya. Terlihat kebingungan. “Bukannya Bapak pesan kopi
hitam pekat?”
“Iya,
kopi hitam. Benar. Pekat,” pelasku terbata-bata. Aku sadar, telah bertingkah
bodoh. “Maaf.”
“Tak
apa-apa, Pak,” balasnya, sambil mengulang senyumnya yang menggemaskan. “Kalau
butuh gula, biar aku ambilkan.”
“Tak
usah,” pungkasku.
Dia
membalas dengan anggukan kecil, kemudian melangkah pergi, kembali pada
rutinitas pekerjaannya. Mungkin menata meja, mengantar pesanan, atau memotret
pengunjung untuk kebutuhan dokumentasi, apalah.
Pada
hari-hari selanjutnya, aku jadi salah tingkah jika kami berpapasan. Sikapku
yang memalukan di pertemuan pertama, selalu terngiang-ngiang. Tapi, tak ada
yang perlu kucemaskan. Dia tak mungkin menyinggungku soal itu. Apalagi, kami tak
akrab, sehingga tak mungkin berbagi lelucon dan bersenda-gurau tentang apa pun.
Rasa
malu dan segan, membuatku sekadar berdiam diri. Tak ada aksi untuk mengajaknya
berkenalan lebih dalam. Tapi sebagai pengagum sejati, cukup kurasa jika kami
telah berjumpa. Waktuku pun banyak berlalu di kafe tempatnya bekerja, sekadar
untuk memandangi rupanya yang menggetarkan. Cuma begitu, sebab aku memang hanya
berhasrat mengaguminya. Tak lebih.
Pengintaianku,
akhirnya tamat. Sekitar empat bulan lalu, dua bulan sejak pertama kali kami berjumpa, dia tak terlihat lagi. Seorang pelayan laki-laki mengabarkan kalau ia telah
pergi ke pulau seberang, hendak melanjutkan studi ke bangku kuliah.
Yang
kusesalkan, tak akan ada jalanku menelusuri jejaknya kalau suatu saat, rinduku
memuncak. Kami tak sempat berbagi nomor telepon ataupun identitas akun media
sosial. Aku hanya tahu namanya. Penghuni kafe tempatnya bekerja, sering memanggilnya
Kira. Lengkapnya, Kirana.
Kini,
dari segenap perjumpaan, yang tersisa hanya bayang-bayangnya. Masih terukir
jelas di benakku, tiap kali ia melintas dengan penuh keanggunan. Tatapannya
yang pemalu, lekas berpaling dariku, tiap kali kami bersetatap. Juga kala ia bertingkah lugu dengan menggaruk
sudut mata kanannya, tiap kali menawarkan hidangan padaku. Semua masih
terngiang-ngiang.
Kesan
yang kucuri padanya diam-diam, membuatku selalu rindu mengunjungi kafe, tempat
bayang-bayangnya bergentayangan. Aku suka melepas rindu di sana. Sampai
akhirnya, kita berjumpa dan berkenalan, sekitar tiga bulan yang lalu. Kau
adalah pelayan baru di kafe kenanganku.
Kehadiranmu
seperti ditakdirkan untuk menggantikannya. Kalian punya banyak kesamaan: tutur
kata yang datar, sikap lugu nan pemalu,
bahkan ekspresi saat terdiam. Detail wajah pun, tak jauh beda: mata sipit,
hidung tak terlalu mancung, hingga rona manis pada seberkas senyuman.
Ringasnya, aku melihat dia dalam dirimu.
Kini,
kita duduk saling menyamping pada sebuah sofa yang empuk, di kafe itu.
Bercerita tentang kisah kita, sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang
di balik jendela.
“Aku
tahu, pertanyaanku mungkin tak pantas. Tapi aku benar-benar penasaran ingin
mengetahuinya, bagaimana bisa Kakak lekas meminangku, walau perkenalan kita
masih dalam hitungan tiga bulan?” tanyamu, sambil menggaruk-garuk bahu tangan
kananku yang sedari tadi kau preteli.
Kita
memang saling menyapa dengan kata ganti yang tak lazim, kakak-adik. Padahal,
aku masih ingat awal kita bertemu. Sambil membawa daftar pesanan, kau
menghampiri dan menyapaku dengan kata ganti bapak. Aku pun membalasmu dengan
panggilan ibu.
“Entahlah, aku hanya merasa telah lama mengenalmu.
Aku tak ingin kita terpisah, sampai membuatku menyesal seumur hidup,” jawabku,
sambil menatap matamu dalam-dalam.
“Apa
tak ada alasan lain?” tanyamu lagi. Kelihatan ragu padaku. “Aku selalu
merenungkan nasihat temanku, kalau perasaan yang timbul tiba-tiba, perlu
dipertanyakan. Itu katanya tak teruji. Bisa jadi karena seseorang melihat
bagian baik dari diri kita, dan mengabaikan yang lain. Nanti, kalau sudah tahu lebih
dalam, termasuk borok-borok jiwa dan raga, katanya, pasangan kita mudah untuk
berpaling. Aku takut Kakak begitu padaku.”
“Kau
jangan berburuk sangka, Dik. Perasaanku tak akan berubah sampai kapanpun juga,
walau kita sudah jadi kakek-nenek. Keputusanku mengikrarkan cinta dalam janji
yang suci, ya karena aku tak ingin kehilangan kamu,” balasku, sambil balas
menggenggam erat tanganmu.
“Kakak tak bohong kan? Janji?” tanyamu dengan
tingkah yang manja seperti biasa. “Tapi rasa takut kehilangan itu, bukan
berarti Kakak pernah kehilangan seseorang kan, sehingga aku hanya jadi yang
kedua, sekadar sebagai pengobat hati?”
“Yakinlah,
Dik. Jika pun aku mengagumi seseorang di masa laluku, itu hanya selingan.
Sesekali, kita memang akan tersesat untuk mencapai puncak gunung yang dituju. Tapi semua itu
memberikan kita pelajaran, bahwa yang terbaik, memang selalu penuh rintangan
untuk digapai. Pengorbanan dalam perjuangan itulah yang membuat kita sulit untuk melepaskan. Yang pasti, kaulah akhir yang kutuju, dan aku akan setia. Tak ada yang lain,”
jelasku, sedikit diplomatis, sambil meneguk kopi susu buatanmu.
Kau
tak membalas lagi.
Diam-diam,
aku merasa berdosa sebab berlaku tak adil padamu. Bayang-bayangnyalah yang
kukejar, sampai tersesat di dirimu. Namun, rahasia itu, tetap akan kupendam. Yang
penting, kasih-sayang akan tetap kucurahkan di tengah perasaanku yang mendua.
Kau tak akan merisaukan bentuk isi hatiku, sebab kau tak akan tahu yang
sejujurnya. Besok-besok, aku yakin kehadiranmu akan menghapus
bayang-banyangnya. Tapi untuk beberapa waktu, maafkan aku, sebab hanya separuh
hatiku untukmu.
“Kakak
lihat foto di dinding itu? Yang mengambil gambarnya, sepupuku sendiri. Dialah
yang memintaku menggantikan posisinya di kafe ini,” tuturmu, sambil menoleh
pada rangkaian foto di dinding. “Kalau Kakak penah berjumpa dengannya, Kakak
pasti sulit mengelak kalau wajah kami mirip. Orang-orang bahkan banyak yang
mengira kami kembar.”
“Oh,
ya? Mungkin saja,” ketusku seadanya, lalu memandangi serangkaian foto, jejak
peninggalannya.
“Namanya
Kirana. Hampir sama dengan namaku kan? Karin. Karin-Kirana,” tuturmu lagi.
“Iya,
nyaris sama. Karin-Ki…,” Aku tak kuasa mengeja lengkap namanya. Terasa berat.
“Kirana!”
tegasmu, tanpa tahu, aku punya kisah sendiri tentang pemilik nama itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar