Senin, 14 November 2016

Maaf, Hanya Separuh Hatiku Untukmu

Enam bulan lalu, hujan turun begitu deras. Di sebuah kafe yang sesekali kukunjungi, aku menanti secangkir kopi pekat. Seduhan itu, telah beberapa kali kujadikan pengiring kala berjibaku menyusun tugas akhir sebagai mahasiswa. Hingga akhirnya, seorang pelayan pun, datang. 
 
“Permisi,” tuturnya sambil melayangkan kopi pesananku dari nampan ke atas meja. “Silahkan diminum,” sambungnya, sambil tersenyum. 

Sikap santun terbalut wajahnya yang cantik, membuat aliran darahku tiba-tiba mengencang. Aku merasa jatuh hati. “Manis?” ketusku. Begitulah kata yang tiba-tiba meluncur dari mulutku.

“Ya?” Ia tampak ragu atas apa yang didengarnya.

“Kopinya manis kan?” tanyaku, sambil berusaha meredam kekakuan diri karena deg-degan.

Dia menggaruk tepi hidungnya. Terlihat kebingungan. “Bukannya Bapak pesan kopi hitam pekat?”

“Iya, kopi hitam. Benar. Pekat,” pelasku terbata-bata. Aku sadar, telah bertingkah bodoh. “Maaf.”

“Tak apa-apa, Pak,” balasnya, sambil mengulang senyumnya yang menggemaskan. “Kalau butuh gula, biar aku ambilkan.” 

“Tak usah,” pungkasku.

Dia membalas dengan anggukan kecil, kemudian melangkah pergi, kembali pada rutinitas pekerjaannya. Mungkin menata meja, mengantar pesanan, atau memotret pengunjung untuk kebutuhan dokumentasi, apalah.

Pada hari-hari selanjutnya, aku jadi salah tingkah jika kami berpapasan. Sikapku yang memalukan di pertemuan pertama, selalu terngiang-ngiang. Tapi, tak ada yang perlu kucemaskan. Dia tak mungkin menyinggungku soal itu. Apalagi, kami tak akrab, sehingga tak mungkin berbagi lelucon dan bersenda-gurau tentang apa pun. 

Rasa malu dan segan, membuatku sekadar berdiam diri. Tak ada aksi untuk mengajaknya berkenalan lebih dalam. Tapi sebagai pengagum sejati, cukup kurasa jika kami telah berjumpa. Waktuku pun banyak berlalu di kafe tempatnya bekerja, sekadar untuk memandangi rupanya yang menggetarkan. Cuma begitu, sebab aku memang hanya berhasrat mengaguminya. Tak lebih.

Pengintaianku, akhirnya tamat. Sekitar empat bulan lalu, dua bulan sejak pertama kali kami berjumpa, dia tak terlihat lagi. Seorang pelayan laki-laki mengabarkan kalau ia telah pergi ke pulau seberang, hendak melanjutkan studi ke bangku kuliah. 

Yang kusesalkan, tak akan ada jalanku menelusuri jejaknya kalau suatu saat, rinduku memuncak. Kami tak sempat berbagi nomor telepon ataupun identitas akun media sosial. Aku hanya tahu namanya. Penghuni kafe tempatnya bekerja, sering memanggilnya Kira. Lengkapnya, Kirana.

Kini, dari segenap perjumpaan, yang tersisa hanya bayang-bayangnya. Masih terukir jelas di benakku, tiap kali ia melintas dengan penuh keanggunan. Tatapannya yang pemalu, lekas berpaling dariku, tiap kali kami bersetatap.  Juga kala ia bertingkah lugu dengan menggaruk sudut mata kanannya, tiap kali menawarkan hidangan padaku. Semua masih terngiang-ngiang.

Kesan yang kucuri padanya diam-diam, membuatku selalu rindu mengunjungi kafe, tempat bayang-bayangnya bergentayangan. Aku suka melepas rindu di sana. Sampai akhirnya, kita berjumpa dan berkenalan, sekitar tiga bulan yang lalu. Kau adalah pelayan baru di kafe kenanganku. 

Kehadiranmu seperti ditakdirkan untuk menggantikannya. Kalian punya banyak kesamaan: tutur kata yang  datar, sikap lugu nan pemalu, bahkan ekspresi saat terdiam. Detail wajah pun, tak jauh beda: mata sipit, hidung tak terlalu mancung, hingga rona manis pada seberkas senyuman. Ringasnya, aku melihat dia dalam dirimu.

Kini, kita duduk saling menyamping pada sebuah sofa yang empuk, di kafe itu. Bercerita tentang kisah kita, sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang di balik jendela. 

“Aku tahu, pertanyaanku mungkin tak pantas. Tapi aku benar-benar penasaran ingin mengetahuinya, bagaimana bisa Kakak lekas meminangku, walau perkenalan kita masih dalam hitungan tiga bulan?” tanyamu, sambil menggaruk-garuk bahu tangan kananku yang sedari tadi kau preteli.

Kita memang saling menyapa dengan kata ganti yang tak lazim, kakak-adik. Padahal, aku masih ingat awal kita bertemu. Sambil membawa daftar pesanan, kau menghampiri dan menyapaku dengan kata ganti bapak. Aku pun membalasmu dengan panggilan ibu.

“Entahlah, aku hanya merasa telah lama mengenalmu. Aku tak ingin kita terpisah, sampai membuatku menyesal seumur hidup,” jawabku, sambil menatap matamu dalam-dalam. 

“Apa tak ada alasan lain?” tanyamu lagi. Kelihatan ragu padaku. “Aku selalu merenungkan nasihat temanku, kalau perasaan yang timbul tiba-tiba, perlu dipertanyakan. Itu katanya tak teruji. Bisa jadi karena seseorang melihat bagian baik dari diri kita, dan mengabaikan yang lain. Nanti, kalau sudah tahu lebih dalam, termasuk borok-borok jiwa dan raga, katanya, pasangan kita mudah untuk berpaling. Aku takut Kakak begitu padaku.” 

“Kau jangan berburuk sangka, Dik. Perasaanku tak akan berubah sampai kapanpun juga, walau kita sudah jadi kakek-nenek. Keputusanku mengikrarkan cinta dalam janji yang suci, ya karena aku tak ingin kehilangan kamu,” balasku, sambil balas menggenggam erat tanganmu.

“Kakak tak bohong kan? Janji?” tanyamu dengan tingkah yang manja seperti biasa. “Tapi rasa takut kehilangan itu, bukan berarti Kakak pernah kehilangan seseorang kan, sehingga aku hanya jadi yang kedua, sekadar sebagai pengobat hati?”

“Yakinlah, Dik. Jika pun aku mengagumi seseorang di masa laluku, itu hanya selingan. Sesekali, kita memang akan tersesat untuk mencapai  puncak gunung yang dituju. Tapi semua itu memberikan kita pelajaran, bahwa yang terbaik, memang selalu penuh rintangan untuk digapai. Pengorbanan dalam perjuangan itulah yang membuat kita sulit untuk melepaskan. Yang pasti, kaulah akhir yang kutuju, dan aku akan setia. Tak ada yang lain,” jelasku, sedikit diplomatis, sambil meneguk kopi susu buatanmu.

Kau tak membalas lagi.

Diam-diam, aku merasa berdosa sebab berlaku tak adil padamu. Bayang-bayangnyalah yang kukejar, sampai tersesat di dirimu. Namun, rahasia itu, tetap akan kupendam. Yang penting, kasih-sayang akan tetap kucurahkan di tengah perasaanku yang mendua. Kau tak akan merisaukan bentuk isi hatiku, sebab kau tak akan tahu yang sejujurnya. Besok-besok, aku yakin kehadiranmu akan menghapus bayang-banyangnya. Tapi untuk beberapa waktu, maafkan aku, sebab hanya separuh hatiku untukmu.

“Kakak lihat foto di dinding itu? Yang mengambil gambarnya, sepupuku sendiri. Dialah yang memintaku menggantikan posisinya di kafe ini,” tuturmu, sambil menoleh pada rangkaian foto di dinding. “Kalau Kakak penah berjumpa dengannya, Kakak pasti sulit mengelak kalau wajah kami mirip. Orang-orang bahkan banyak yang mengira kami kembar.”

“Oh, ya? Mungkin saja,” ketusku seadanya, lalu memandangi serangkaian foto, jejak peninggalannya.

“Namanya Kirana. Hampir sama dengan namaku kan? Karin. Karin-Kirana,” tuturmu lagi.

“Iya, nyaris sama. Karin-Ki…,” Aku tak kuasa mengeja lengkap namanya. Terasa berat.

“Kirana!” tegasmu, tanpa tahu, aku punya kisah sendiri tentang pemilik nama itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar