Sepulang
mengajar di sekolah, Agus siaga menanti kedatangan Bardan. Pagi tadi, sosok
lelaki tetua masyarakat desa itu, berpesan akan bertandang ke rumahnya. Entah
ada kepentingan apa, ia tak tahu. Kedatangan Bardan selama ini, hanya mengangkut
soal kegiataan sosial-keagamaan di desa, atau menagih uang pembebasan lahan untuk
pembangunan sekolah semasih belum lunas.
Sekitar
setengah jam sesampainya di rumah, Bardan pun datang dengan setelan bersih dan
rapi. Dari gelagatnya, Agus menebak, ada persoalan serius yang hendak
dibincangkan. Segera, mereka mengawali pembicaraan yang penuh kekakuan. Lima
belas menit berlalu dengan basa-basi. Jelas, Agus segan bertanya langsung
tentang inti persoalan yang hendak diobrolkan.
Sampai
akhirnya, Bardan menggiring obrolan ke inti persoalan. “Sebenarnya, maksud saya
ke sini, tiada lain untuk membicarakan persoalan masyarakat kita, Pak Agus.
Keadaan perekonomian masyarakat, semakin memprihatinkan. Desa kita butuh
pemimpin yang lebih baik.”
“Iya,
Bapak benar. Masih banyak persoalan yang belum diselesaikan pemerintah desa di
akhir masa jabatannya.” Agus meladeni arah pembicaraannya.
“Karena
itulah, Pak. Kurasa, masalahnya bukan di masyarakat, tapi di aparat desanya.
Saya melihat, kepala desa belum cakap dalam memimpin,” tutur Bardan, kemudian
berdeham. “Demi kebaikan masyarakat, aku bertekad maju di pemilihan kepala desa
tahun ini, Pak Gus. Aku punya kemauan dan tujuan yang jelas, agar kehidupan
masyarakat menjadi lebih lebih baik.”
Agus
jelas dibuat kaget mendengar penuturan Bardan. Ia tak menduga, lelaki tua itu,
berhasrat memimpin desa. “Itu sih pilihan Bapak saja. Di era demokratis ini,
setiap orang punya hak untuk menjadi pemimpin. Tapi akhirnya, masyarakat jugalah
yang memutuskan siapa yang layak.”
“Aku
paham, Pak. Memang masyarakatlah yang menentukan. Tapi kupikir, kita sepaham kalau
masyarakat desa butuh pembaruan. Ya, dimulainya dari struktur pemerintahan desa
dulu,” kata Bardan, lebih tegas, sambil menyeruput kopi pekat yang masih hangat.
“Saya kira, Bapak tak keberatan jika berada di pihakku.”
Tawaran
itu, jelas membuat Agus kelimpungan. Ingin menolak, tapi segan. Maka, dengan sikap yang santun, ia memberi pesan penolakan.
“Maaf, aku tak bisa terlibat, Pak. Untuk sekarang, aku ingin fokus saja mengurus
soal pendidikan dan keagamaan masyarakat desa.”
Rona
wajah Bardan yang sedari awal terlihat penuh optimis, berubah jadi kuyu. Dugaannya
tentang sikap Agus, melenceng. “Pembenahan masyarakat sudah saatnya dilakukan,
Pak. Kita tak boleh alergi politik. Kalau Bapak berada di pihakku, dan nanti kita
memenangi pemilihan, aku janji, akan memberi sokongan yang lebih untuk soal
pendidikan dan agama di desa.”
Terpaksa,
Agus menekankan sikapnya kembali. “Maaf, Pak. Aku tak bisa. Sudah cukup aku jadi
seorang guru dan pengurus agama.”
Bardan
pun berupaya membuat tawaran yang lebih menggiurkan. “Tak usah khawatir. Jika
menang, akan ada jabatan untuk Bapak di pemerintahan desa. Asalkan, Bapak bersedia
mendukung dan membantuku mendulang suara masyarakat. Semua juga demi kebaikan desa
kita, Pak.”
“Sekali
lagi maaf, Pak Bardan,” kata Agus, sambil tersenyum singkat.
“Apalagi
yang Bapak ragukan. Selama ini, aku telah berbuat banyak untuk masyarakat kita. Jika
aku tak merelakan sebidang tanahku untuk pembangunan gedung SD dan SMP di desa
kita, aku yakin banyak anak-anak yang tak mengenyam pendidikan, termasuk
anak Bapak juga. Apa itu tak cukup sebagai bukti?” Nada suara Bardan meninggi,
penuh penekanan.
Pada
ruang yang sama, di belakang kedua orang yang tengah terlibat obrolan sengit
itu, ada Naim, anak Agus, yang sedari tadi turut menyimak perbincangan. Sebagai
anak semata wayang Agus, ia merasa disinggung. Apalagi, ia adalah seorang murid
kelas 3 SD di sebuah sekolah yang berdiri di atas bekas tanah Bardan.
“Iya,
masyarakat desa pasti bersyukur atas kerelaan Bapak itu. Aku juga turut
berterima kasih,” balas Agus, sambil mengelus-eluskan kedua telapak tangannya.
“Tapi sekali lagi, dengan rendah hati, aku merasa berat untuk menerima tawaran
Bapak.”
Bardan
terdiam. Seperti tak menduga tawarannya akan tertolak. “Baiklah kalau begitu.
Aku pamit,” tuturnya dengan kesan yang tak seramah di awal obrolan.
Sepulang
Bardan, Agus larut dalam renungannya sendiri. Ia tak habis pikir, bagaimana
sosok seperti Bardan, tanpa beban dan rasa malu, mengklaim pembangunan sekolah
di desa terjadi atas jasa-jasannya. Padahal, secuil lahan perkebunan miliknya,
tak ia serahkan secara sukarela untuk pembangunan gedung sekolah, tapi dengan sejumlah
ganti rugi yang tergolong mahal, yang dikumpulkan dari urunan masyarakat desa.
Naim
menghampiri ayahnya. Dari perbincangan yang didengarnya tadi, ia memendam banyak
pertanyaan. “Kenapa Ayah tak mendukung Pak Bardan jadi kepala desa? Dia kan
baik. Andai bukan dia, mungkin aku harus jalan kaki ke kecamatan sebelah untuk
sekolah?”
“Aku
menyangsikan kebaikannya, Nak. Tanah miliknya dahulu untuk pembangunan
sekolahmu, kan tak dilepasnya secara cuma-cuma. Masyarakat desa harus
mengumpulkan uang untuk membelinya,” jelas Agus. “Kebaikan yang bernilai itu,
kalau tanpa pamrih. Ikhlas.”
Naim
tak membalas. Ia seakan sepakat dengan kata ayahnya.
“Kau
tahu Nak, malah, akulah yang berjasa besar atas pembangunan sekolahmu. Dulu,
setelah aku ke sini dan melihat tak ada sekolah untuk anak-anak, aku segera
berinisiatif untuk mengupayakan pembangunannya. Akulah yang merancang semuanya,” tutur
Agus dengan penuh kebanggaan.
Mendengar
penuturan ayahnya, Agus berseru kagum, “Wah, Ayah memang hebat. Besok, aku akan
menceritakan riwayat sekolahku itu pada teman-temanku.”
Agus
hanya tersenyum, sambil mengusap-usap kepala anaknya.
“Kenapa
Ayah tak jadi kepala desa saja?” tanya Naim.
“Aku
sudah merencanakannya sejak lama, Nak. Dan atas apa yang telah kulakukan selama
ini untuk masyarakat desa, kupikir, sudah saatnya aku jadi kepala desa. Aku
yakin, masyarakat desa akan mendukungku. Apalagi, sudah banyak yang kulakukan untuk kebaikan desa,” balas Agus dengan penuh keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar