Senin, 14 November 2016

Hingga Jatuh

Awalnya, biasa saja. Seperti angin berlalu, perhatianmu tak kuhargai sepadan. Bukan karena rupa atau sikapmu. Sunguh, kau unggul pada semua segi. Baik, cantik, cerdas, itulah dirimu. Memang pantas didambakan banyak lelaki. Tapi bagiku, tidak. Kau, sebagaimana perempuan yang lain, tak akan pernah kupuja. Ada bagian dari diriku yang tak ingin kukorbankan.

Kalau mengabaikan lawan jenis, termasuk dirimu, bukan berarti aku kelainan. Di luar anggapan miring semua orang, aku bahkan merasa diri sebagai lelaki paling sejati di dunia. Sempurna. Aku punya fisik tangguh dan hati yang perasa. Perhatian dan kasih-sayang, bisa saja kuberikan padamu. Tapi nyatanya, kupilih memendam perasaan dan mengabaikanmu.

Kuyakin, kau terpuruk atas sikap tak acuhku. Apalagi, kau jelas punya rasa terpendam. Kau sering berlaku manja tiap kali kita bersama. Suka mempertanyakan soal remeh-temeh perkuliahan, hanya supaya kita mengobrol. Juga, kebiasaanmu meminta pertolongan padaku, meski ada orang lain yang seharusnya kau andalkan.

Semua, jadi semakin jelas. Di sore hari, kau menghampiriku di bangku taman kampus dengan wajah yang tak seceria kemarin. Rencana, kita akan mengerjakan tugas kuliah. Sampai akhirnya, kau memancing obrolan tentang persoalan yang paling prinsip, tentang perasaan. 

“Di waktu-waktu sepimu, apa kau tak pernah membutuhkan seseorang?” tanyamu dengan raut wajah yang datar. Tak emosional. 

Aku memalingkan wajah dari buku. “Maksudmu? Aku tak pernah kesepian. Selama punya teman yang asyik, aku tak akan merasa kekurangan,” balasku sambil tersenyum sepintas. Jelas, bukan arah jawaban itu yang kau mau. Aku tahu.

“Maksudku, seorang wanita yang spesial untukmu. Tak adakah keinginanmu saling mencintai dan menyayangi dengan seorang perempuan?” tanyamu lagi, kemudian menatap mataku barang sedetik. Segera, kau pun menunduk, mengalihkan perhatian pada tombol laptop di depanmu. “Maaf jika aku lancang bertanya.”

“Bukan tak ingin. Tepatnya, aku merasa tak butuh,” jawabku, kemudian mencoba memelas, “Lagi pula, aku ragu ada perempuan yang membutuhkan lelaki penuh kekurangan sepertiku. Takutku jika dalam satu hubungan, aku lebih banyak meminta daripada memberi. Aku tak ingin mengecewakan.”

“Kurasa, kau tak percaya diri saja. Kau punya banyak kelebihan. Aku yakin, ada seseorang perempuan yang mendambakan kelebihanmu untuk mengisi kekurangan pada dirinya. Menurutku, laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling mengisi,” tuturmu, terlihat seperti menasihat.

Secara tersirat, kubaca, kau sedang menawarkan perasaanmu. “Entahlah. Yang kutahu, setiap orang diciptakan dengan sebagai-baiknya. Sempurna. Maka, dua insan yang saling mencintai dan berkomitmen hidup bersama, sebenarnya saling menggerogoti kesempurnaan mereka masing-masing. Bagiku, cintalah yang membuat kita merasa tidak sempurna dan menjadi lemah. Karena cintalah, kita menundukkan kesempurnaan diri pada kesempurnaan orang lain. Menjadi hina,” jawabku tegas, berharap kau memahami sedikit dari prinsip hidupku. 

Kau tertunduk. Tersenyum kecut. Seperti berusaha memaknai kembali penjelasanku. “Ya, kau benar. Cinta membuat kita tidak sempurna. Kau memang lelaki sempurna. Aku rasa, pantas jika kau tak lagi membutuhkan orang yang spesial,” tegasmu, sambil mengemasi laptop dan seperangkat buku. Menelan kembali pujian dan nasihatmu padaku sebelumnya. Tak berselang lama, kau pun pergi tanpa prosesi perpisahan yang sehangat kemarin.

Suasana jadi lengang. Di tengah kekalutan, aku pun melangkah pulang, bersama setengah rasa bersalahku sebab telah meremukkan perasaanmu.

Harus kukatakan, bahwa melukai perasaanmu, tak pernah sekali pun kurencanakan. Terpaksa saja. Aku jelas tak bisa melarang jika kau menumpuk-numpuk kekaguman padaku. Itu urusanmu. Namun, keputusanku mengabaikanmu, adalah urusanku juga. Kau tak bisa melarangku untuk tidak melukaimu karena itu. Tapi, walau menyisakan luka, setidaknya, sekarang, semua menjadi jelas.

Sikapku yang mungkin dianggap keterlaluan, tidak lahir dari ruang kosong. Aku tahu betul bahayanya mencintai dan membiarkan diri dicintai. Aku menyaksikannya sendiri dari kisah cinta ayah-ibuku. Sekitar lima tahun lalu, ibuku suka menyendiri sepeninggal ayahku. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Jadi sakit-sakitan. Gilanya, meski terpuruk, ia tak pernah mengakui cinta sebagai sebabnya. Ia bahkan masih gemar bernostalgia dengan cintanya yang telah menjadi kenangan.

Sekali lagi, cinta membuatku takut. Aku takut, suatu saat kita bersama, lalu berpisah. Entah  berpisah di dunia, atau di antara alam yang berbeda. Jika terpisah karena perceraian, apakah hati kita sama-sama merelakan? Jika terpisahkan oleh maut, apakah yang ditinggalkan ikhlas dan tak bersedih? 

“Nak, gadis cantik yang pernah ke rumah kok tak pernah kau ajak lagi? Si Aulia,” tanya ibuku yang menyendiri di pelataran rumah. Ia mencarimu.

Aku yang baru saja sampai dari kampus, menghampiri dan duduk di sampingnya. “Dia baik-baik saja. Tadi kami masih mengobrol di kampus,” jawabku tak berselera. Aku sudah bisa menebak, arah pembicaraan ini, tak menyenangkan bagiku. “Kalau tidak ke rumah, ya berarti tidak ada kepentingan. Kemarin-kemarin, dia ke sini karena ada tugas kampus yang harus kami rampungkan bersama, Bu.”

“Biar pun tak ada kepentingan apa-apa, ajaklah dia ke sini. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Sepertinya dia gadis yang cocok untukmu,” tuturnya, lalu melepas batuk keringnya sebanyak empat kali. “Bagaimana kalau kau menikah dengannya, Nak?”

Tawaran itu, membuatku tersentak. Aku tak habis pikir, ia menginginkanku jatuh dalam jebakan cinta yang penuh derita, seperti yang ia alami. “Ibu ada-ada saja. Aku tak ingin menikah, Bu. Menikah tak bisa menjamin kebahagiaan. Bisa membuat kita terpuruk. Menggerogoti kesempurnaan kita sebagai manusia. Ibu kan merasakannnya sendiri. Apa gunanya menikah kalau begitu?”

“Siapa bilang, Nak? Nikahlah yang menyempurnakan kita. Cinta dalam pernikahan, adalah cinta yang sempurna dan menyempurnakan. Cinta itu, akan membuat kita mengabaikan kekurangan masing-masing. Yakinlah, tak ada manusia yang sempurna. Suami istri pun begitu. Karena keterbatasan jiwa dan waga, suatu saat, kita pasti akan terpisah juga. Entah karena ketidakcocokan, atau karena maut. Makanya, dibutuhkan kesetiaan untuk menjaga kesempurnaan cinta,” jelasnya, sambil menaburkan biji jagung ke arah beberapa ekor ayam. 

Aku tak berhasrat segera membantah.

“Dan kalau kau anggap aku tak bahagia karena pernikahan, itu salah, Nak. Justru aku bahagia pernah menikah dengan Ayahmu. Meski raganya telah tiada, aku tetap setia menjaga cinta kami,” sambungnya. “Jangan takut terluka karena cinta, sebab cinta yang sejati, tak akan membawa luka.”

“Itu kata Ibu. Itu pendapat Ibu. Sampai kini, aku tak membutuhkan seseorang untuk menjadi pendamping hidup. Aku merasa sempurna, tanpa perlu mempertaruhkan kebahagiaanku atas nama cinta,” tegasku, berusaha keras menyanggah.

“Kau tak boleh melawan kodratmu, Nak. Bagaimana pun juga, kau adalah seorang laki-laki yang harus menikahi seorang perempuan. Pernikahan bukan tentang urusanmu saja. Pernikahan itu demi segenap manusia. Kau bisa bayangkan jika seseroang tak menikah dan tak memiliki keturunan dari hasil pernikahan, apa yang akan terjadi?” tanyanya, sambil menatap tajam mataku.

Aku berpaling darinya. Tak ingin berdebat lagi.

“Anak adalah buah cinta yang paling berharga. Kau tak akan ada jika aku dan ayahmu tak pernah saling mencintai. Kehadiranmulah yang paling aku syukuri,” tuturnya, kemudian mengelus-elus kepalaku. “Lihatlah, ayam saja punya naluri untuk melanjutkan keturunannya.”

Seketika, alasanku habis untuk membantah. Ada makna hakiki dalam penjelasannya.

“Menikahlah segera dengan Aulia, agar Ibu bisa menimang cucu sebelum meninggal,” tuturnya, beserta batuk kering yang kembali terhempas.

Aku memilih diam, sambil berencana memulai kembali pendekatan padamu, tentu dengan pola pikir yang jauh berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar