Awalnya,
biasa saja. Seperti angin berlalu, perhatianmu tak kuhargai sepadan. Bukan
karena rupa atau sikapmu. Sunguh, kau unggul pada semua segi. Baik, cantik,
cerdas, itulah dirimu. Memang pantas didambakan banyak lelaki. Tapi bagiku,
tidak. Kau, sebagaimana perempuan yang lain, tak akan pernah kupuja. Ada bagian
dari diriku yang tak ingin kukorbankan.
Kalau
mengabaikan lawan jenis, termasuk dirimu, bukan berarti aku kelainan. Di luar
anggapan miring semua orang, aku bahkan merasa diri sebagai lelaki paling
sejati di dunia. Sempurna. Aku punya fisik tangguh dan hati yang perasa.
Perhatian dan kasih-sayang, bisa saja kuberikan padamu. Tapi nyatanya, kupilih memendam
perasaan dan mengabaikanmu.
Kuyakin,
kau terpuruk atas sikap tak acuhku. Apalagi, kau jelas punya rasa terpendam.
Kau sering berlaku manja tiap kali kita bersama. Suka mempertanyakan soal
remeh-temeh perkuliahan, hanya supaya kita mengobrol. Juga, kebiasaanmu meminta
pertolongan padaku, meski ada orang lain yang seharusnya kau andalkan.
Semua,
jadi semakin jelas. Di sore hari, kau menghampiriku di bangku taman kampus
dengan wajah yang tak seceria kemarin. Rencana, kita akan mengerjakan tugas
kuliah. Sampai akhirnya, kau memancing obrolan tentang persoalan yang paling
prinsip, tentang perasaan.
“Di
waktu-waktu sepimu, apa kau tak pernah membutuhkan seseorang?” tanyamu dengan
raut wajah yang datar. Tak emosional.
Aku
memalingkan wajah dari buku. “Maksudmu? Aku tak pernah kesepian. Selama punya
teman yang asyik, aku tak akan merasa kekurangan,” balasku sambil tersenyum
sepintas. Jelas, bukan arah jawaban itu yang kau mau. Aku tahu.
“Maksudku,
seorang wanita yang spesial untukmu. Tak adakah keinginanmu saling mencintai
dan menyayangi dengan seorang perempuan?” tanyamu lagi, kemudian menatap mataku
barang sedetik. Segera, kau pun menunduk, mengalihkan perhatian pada tombol
laptop di depanmu. “Maaf jika aku lancang bertanya.”
“Bukan
tak ingin. Tepatnya, aku merasa tak butuh,” jawabku, kemudian mencoba memelas,
“Lagi pula, aku ragu ada perempuan yang membutuhkan lelaki penuh kekurangan
sepertiku. Takutku jika dalam satu hubungan, aku lebih banyak meminta daripada
memberi. Aku tak ingin mengecewakan.”
“Kurasa,
kau tak percaya diri saja. Kau punya banyak kelebihan. Aku yakin, ada seseorang
perempuan yang mendambakan kelebihanmu untuk mengisi kekurangan pada dirinya. Menurutku,
laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling mengisi,” tuturmu,
terlihat seperti menasihat.
Secara
tersirat, kubaca, kau sedang menawarkan perasaanmu. “Entahlah. Yang kutahu,
setiap orang diciptakan dengan sebagai-baiknya. Sempurna. Maka, dua insan yang saling
mencintai dan berkomitmen hidup bersama, sebenarnya saling menggerogoti kesempurnaan
mereka masing-masing. Bagiku, cintalah yang membuat kita merasa tidak sempurna
dan menjadi lemah. Karena cintalah, kita menundukkan kesempurnaan diri pada
kesempurnaan orang lain. Menjadi hina,” jawabku tegas, berharap kau memahami
sedikit dari prinsip hidupku.
Kau
tertunduk. Tersenyum kecut. Seperti berusaha memaknai kembali penjelasanku. “Ya,
kau benar. Cinta membuat kita tidak sempurna. Kau memang lelaki sempurna. Aku
rasa, pantas jika kau tak lagi membutuhkan orang yang spesial,” tegasmu, sambil
mengemasi laptop dan seperangkat buku. Menelan kembali pujian dan
nasihatmu padaku sebelumnya. Tak berselang lama, kau pun pergi tanpa prosesi perpisahan
yang sehangat kemarin.
Suasana
jadi lengang. Di tengah kekalutan, aku pun melangkah pulang, bersama setengah
rasa bersalahku sebab telah meremukkan perasaanmu.
Harus
kukatakan, bahwa melukai perasaanmu, tak pernah sekali pun kurencanakan. Terpaksa
saja. Aku jelas tak bisa melarang jika kau menumpuk-numpuk kekaguman padaku.
Itu urusanmu. Namun, keputusanku mengabaikanmu, adalah urusanku juga. Kau tak
bisa melarangku untuk tidak melukaimu karena itu. Tapi, walau menyisakan luka,
setidaknya, sekarang, semua menjadi jelas.
Sikapku
yang mungkin dianggap keterlaluan, tidak lahir dari ruang kosong. Aku tahu betul
bahayanya mencintai dan membiarkan diri dicintai. Aku menyaksikannya sendiri
dari kisah cinta ayah-ibuku. Sekitar lima tahun lalu, ibuku suka menyendiri
sepeninggal ayahku. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Jadi sakit-sakitan. Gilanya,
meski terpuruk, ia tak pernah mengakui cinta sebagai sebabnya. Ia bahkan masih
gemar bernostalgia dengan cintanya yang telah menjadi kenangan.
Sekali
lagi, cinta membuatku takut. Aku takut, suatu saat kita bersama, lalu berpisah.
Entah berpisah di dunia, atau di antara
alam yang berbeda. Jika terpisah karena perceraian, apakah hati kita sama-sama
merelakan? Jika terpisahkan oleh maut, apakah yang ditinggalkan ikhlas dan tak
bersedih?
“Nak,
gadis cantik yang pernah ke rumah kok tak pernah kau ajak lagi? Si Aulia,”
tanya ibuku yang menyendiri di pelataran rumah. Ia mencarimu.
Aku
yang baru saja sampai dari kampus, menghampiri dan duduk di sampingnya. “Dia
baik-baik saja. Tadi kami masih mengobrol di kampus,” jawabku tak berselera.
Aku sudah bisa menebak, arah pembicaraan ini, tak menyenangkan bagiku. “Kalau
tidak ke rumah, ya berarti tidak ada kepentingan. Kemarin-kemarin, dia ke
sini karena ada tugas kampus yang harus kami rampungkan bersama, Bu.”
“Biar
pun tak ada kepentingan apa-apa, ajaklah dia ke sini. Aku ingin mengenalnya
lebih jauh. Sepertinya dia gadis yang cocok untukmu,” tuturnya, lalu melepas
batuk keringnya sebanyak empat kali. “Bagaimana kalau kau menikah dengannya,
Nak?”
Tawaran
itu, membuatku tersentak. Aku tak habis pikir, ia menginginkanku jatuh dalam jebakan
cinta yang penuh derita, seperti yang ia alami. “Ibu ada-ada saja. Aku tak
ingin menikah, Bu. Menikah tak bisa menjamin kebahagiaan. Bisa membuat kita
terpuruk. Menggerogoti kesempurnaan kita sebagai manusia. Ibu kan merasakannnya
sendiri. Apa gunanya menikah kalau begitu?”
“Siapa
bilang, Nak? Nikahlah yang menyempurnakan kita. Cinta dalam pernikahan, adalah
cinta yang sempurna dan menyempurnakan. Cinta itu, akan membuat kita
mengabaikan kekurangan masing-masing. Yakinlah, tak ada manusia yang sempurna.
Suami istri pun begitu. Karena keterbatasan jiwa dan waga, suatu saat, kita pasti akan terpisah
juga. Entah karena ketidakcocokan, atau karena maut. Makanya, dibutuhkan
kesetiaan untuk menjaga kesempurnaan cinta,” jelasnya, sambil menaburkan biji jagung ke arah beberapa ekor ayam.
Aku
tak berhasrat segera membantah.
“Dan
kalau kau anggap aku tak bahagia karena pernikahan, itu salah, Nak. Justru aku
bahagia pernah menikah dengan Ayahmu. Meski raganya telah tiada, aku tetap setia menjaga cinta kami,” sambungnya.
“Jangan takut terluka karena cinta, sebab cinta yang sejati, tak akan membawa luka.”
“Itu
kata Ibu. Itu pendapat Ibu. Sampai kini, aku tak membutuhkan seseorang untuk
menjadi pendamping hidup. Aku merasa sempurna, tanpa perlu mempertaruhkan
kebahagiaanku atas nama cinta,” tegasku, berusaha keras menyanggah.
“Kau
tak boleh melawan kodratmu, Nak. Bagaimana pun juga, kau adalah seorang
laki-laki yang harus menikahi seorang perempuan. Pernikahan bukan tentang
urusanmu saja. Pernikahan itu demi segenap manusia. Kau bisa bayangkan jika
seseroang tak menikah dan tak memiliki keturunan dari hasil pernikahan, apa
yang akan terjadi?” tanyanya, sambil menatap tajam mataku.
Aku
berpaling darinya. Tak ingin berdebat lagi.
“Anak
adalah buah cinta yang paling berharga. Kau tak akan ada jika aku dan ayahmu
tak pernah saling mencintai. Kehadiranmulah yang paling aku syukuri,” tuturnya,
kemudian mengelus-elus kepalaku. “Lihatlah, ayam saja punya naluri untuk
melanjutkan keturunannya.”
Seketika,
alasanku habis untuk membantah. Ada makna hakiki dalam penjelasannya.
“Menikahlah
segera dengan Aulia, agar Ibu bisa menimang cucu sebelum meninggal,” tuturnya,
beserta batuk kering yang kembali terhempas.
Aku
memilih diam, sambil berencana memulai kembali pendekatan padamu, tentu dengan pola pikir
yang jauh berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar