Semalam,
kau menghampiriku. Kemunculanmu penuh dengan amarah. Aku yang terjebak di ruang
pengap, pasrah menerima ancaman yang kau lontarkan: Jangan tulis tentang aku lagi dalam ceritamu. Kau tahu, itu sangat
menyakitkan. Berhentilah mempermainkanku! Beruntung,
itu hanya mimpi.
Dan
pagi ini, kala berdua menyusuri jalan menuju kampus, kita mengobrol lagi.
Seperti biasa, kau belum juga menyadari siapa sosok di balik cerita gubahanku
selama ini. Kau percaya saja jika kukatakan semua itu hanya fiksi. Padahal jelas,
tak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan. Begitupun rangkaian ceritaku, ada sosok
yang selalu kujadikan motivasi dan inspirasi di baliknya.
Kau
menghirup udara pagi dalam-dalam. “Setiap kali membaca cerita karanganmu, aku
selalu ingin menjadi tokoh utamanya,” tuturmu, polos. Kita memang sangat akrab,
sampai tak ada sekat karena rasa enggan atau segan. “Sungguh beruntunglah
orang-orang yang selama ini menjadi tokoh ceritamu.”
Aku
menanggapimu seperti biasa. Mengelak. “Itu kan hanya fiksi. Aku bisa saja
membuat tokoh yang tak pernah ada dalam kehidupan nyata. Kalau tokoh ceritaku
punya kesamaan dengan seseorang di dunia nyata, ya, itu kebetuan saja.”
Kau
menatap mataku lekat-lekat. Tampak tersipu. Kau sepertinya suka dengan
jawabanku.“Apa benar kau tak pernah menuliskan tentang seorang wanita secara
khusus dalam ceritamu?”
“Katanya,
kau sudah baca semua tulisanku? Amati saja,” tuturku sambil menyepak-nyepak
potongan ranting kayu yang tergeletak di jalan.
“Syukurlah
kalau begitu. Jadi, aku bisa menjadi tokoh nyata yang pertama dalam ceritamu.”
Kau terlihat sangat senang, kemudian mengutarakan lagi sebuah permintaan khusus
untuk yang kesekian kalinya, “Sekali-kali, tulis cerita tentang aku dong. Ya,
terserah kamu saja, mau jadikan aku tokoh dalam cerita apa. Tapi kalau bisa, sebuah cerita
tentang kita berdua.”
Jelas
saja, aku suka permintaanmu seperti itu. Tapi aku memilih menyamarkan semua
kesanku padamu, termasuk dalam cerita. Semua demi pembaca setiaku. Aku tak
ingin tulisanku terkesan hanya berkisah tentang hubungan privat kita saja. “Aku
kan menulis untuk banyak orang. Terlalu sempit jika hanya kutujukan untuk
seseorang saja.”
Raut
wajahmu, berubah jadi muram. “Aku tahu. Tapi setidaknya, buatlah tokoh cerita dengan
ciri-ciri sepertiku. Apa pun temanya, sekarang aku tak peduli. Tentang
kepahlawanan, keluarga, pertemanan, percintaan, terserah kamu saja. Setidaknya, aku bisa
membanggakan diri telah menjadi salah satu tokoh dalam ceritamu.” Kau terkesan merajuk.
Aku
tak berhasrat mendebatmu lagi. Pura-pura tak memahami perasaanmu.
Untuk
kesekian kalinya, hanya dalam hati kukatakan dengan jujur, bahwa kau adalah
sosok yang menjadi roh setiap gubahan ceritaku. Gambaran fisik dan sikapmu,
selalu menjadi acuanku dalam membentuk penokohan. Bagian dirimu, bertebaran
dalam kata-kata yang kutuliskan. Hanya saja, kau tersirat dan sulit untuk kau
sadari.
Atas
semua yang telah kucuri darimu diam-diam, aku ucapkan terima kasih. Ketika kau telah berhasil membaca rahasia batinku melalui huruf-huruf yang
kurangkai, aku minta maaf.
“Aku
menunggu cerita tentangku segera!” ketusmu, seperti mengancam, kemudian
melangkah pergi, menyusuri jalur menuju kelasmu.
Sebenarnya,
kau tak harus menunggu, sebab cerita ini pun, tercipta untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar