Selasa, 22 November 2016

Untuk Seseorang

Semalam, kau menghampiriku. Kemunculanmu penuh dengan amarah. Aku yang terjebak di ruang pengap, pasrah menerima ancaman yang kau lontarkan: Jangan tulis tentang aku lagi dalam ceritamu. Kau tahu, itu sangat menyakitkan. Berhentilah mempermainkanku! Beruntung, itu hanya mimpi.

Dan pagi ini, kala berdua menyusuri jalan menuju kampus, kita mengobrol lagi. Seperti biasa, kau belum juga menyadari siapa sosok di balik cerita gubahanku selama ini. Kau percaya saja jika kukatakan semua itu hanya fiksi. Padahal jelas, tak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan. Begitupun rangkaian ceritaku, ada sosok yang selalu kujadikan motivasi dan inspirasi di baliknya.

Kau menghirup udara pagi dalam-dalam. “Setiap kali membaca cerita karanganmu, aku selalu ingin menjadi tokoh utamanya,” tuturmu, polos. Kita memang sangat akrab, sampai tak ada sekat karena rasa enggan atau segan. “Sungguh beruntunglah orang-orang yang selama ini menjadi tokoh ceritamu.”

Aku menanggapimu seperti biasa. Mengelak. “Itu kan hanya fiksi. Aku bisa saja membuat tokoh yang tak pernah ada dalam kehidupan nyata. Kalau tokoh ceritaku punya kesamaan dengan seseorang di dunia nyata, ya, itu kebetuan saja.”

Kau menatap mataku lekat-lekat. Tampak tersipu. Kau sepertinya suka dengan jawabanku.“Apa benar kau tak pernah menuliskan tentang seorang wanita secara khusus dalam ceritamu?” 

“Katanya, kau sudah baca semua tulisanku? Amati saja,” tuturku sambil menyepak-nyepak potongan ranting kayu yang tergeletak di jalan.

“Syukurlah kalau begitu. Jadi, aku bisa menjadi tokoh nyata yang pertama dalam ceritamu.” Kau terlihat sangat senang, kemudian mengutarakan lagi sebuah permintaan khusus untuk yang kesekian kalinya, “Sekali-kali, tulis cerita tentang aku dong. Ya, terserah kamu saja, mau jadikan aku tokoh dalam cerita apa. Tapi kalau bisa, sebuah cerita tentang kita berdua.”

Jelas saja, aku suka permintaanmu seperti itu. Tapi aku memilih menyamarkan semua kesanku padamu, termasuk dalam cerita. Semua demi pembaca setiaku. Aku tak ingin tulisanku terkesan hanya berkisah tentang hubungan privat kita saja. “Aku kan menulis untuk banyak orang. Terlalu sempit jika hanya kutujukan untuk seseorang saja.”

Raut wajahmu, berubah jadi muram. “Aku tahu. Tapi setidaknya, buatlah tokoh cerita dengan ciri-ciri sepertiku. Apa pun temanya, sekarang aku tak peduli. Tentang kepahlawanan, keluarga, pertemanan, percintaan, terserah kamu saja. Setidaknya, aku bisa membanggakan diri telah menjadi salah satu tokoh dalam ceritamu.Kau terkesan merajuk.

Aku tak berhasrat mendebatmu lagi. Pura-pura tak memahami perasaanmu. 

Untuk kesekian kalinya, hanya dalam hati kukatakan dengan jujur, bahwa kau adalah sosok yang menjadi roh setiap gubahan ceritaku. Gambaran fisik dan sikapmu, selalu menjadi acuanku dalam membentuk penokohan. Bagian dirimu, bertebaran dalam kata-kata yang kutuliskan. Hanya saja, kau tersirat dan sulit untuk kau sadari. 

Atas semua yang telah kucuri darimu diam-diam, aku ucapkan terima kasih. Ketika kau telah berhasil membaca rahasia batinku melalui huruf-huruf yang kurangkai, aku minta maaf.

“Aku menunggu cerita tentangku segera!” ketusmu, seperti mengancam, kemudian melangkah pergi, menyusuri jalur menuju kelasmu.

Sebenarnya, kau tak harus menunggu, sebab cerita ini pun, tercipta untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar