Malam
terasa lengang. Yang terdengar hanya suara derik para binatang malam. Terkesan
seperti lagu pengantar tidur. Tapi Panji tetap terjaga. Kantuk tak terasa
baginya, meski pertengahan malam telah lewat. Ia mengabaikan rayuan mimpi demi
istrinya, Sumia, yang tengah menderita sakit parah. Siap siaga kalau-kalau sang
istri butuh sesuatu.
Sumia
yang berbaring tak berdaya, menggenggam tangan sang suami. Memberi tanda kalau
ia masih kuat. Sekilas, rona keceriaan dan ketenangan, masih terpancar di
wajahnya, seperti dahulu kala. Membenamkan raut-raut kesedihan. Tapi di balik semua
itu, helaan napasnya mulai tersengal-sengal, kedipan matanya melambat, dan warna
bibirnya memucat.
“Pak, menikahlah sepeninggal aku nanti.
Carilah wanita yang rupawan, yang sepadan dengan Bapak. Aku yakin, banyak
wanita yang siap dan senang hati menjadi istri Bapak,” tutur Sumia, lalu
memalingkan wajahnya kepada sang suami.
“Jangan
bicara seperti itu, Bu. Aku yakin, kalau Ibu kuat, besok juga akan sembuh. Kita
masih akan melalui hari-hari yang menyenangkan, seperti sebelumnya,”
balas Panji, sembari mengusap-usap rambut istrinya.
“Yakinlah
Pak, selama ini, aku benar-benar tak keberatan kalau Bapak menikah lagi. Biar
pun aku harus dimadu,” tutur Sumia, sambil memandangi langit-langit rumah. “Setelah
aku meninggal nanti, aku mohon, menikahlah dengan wanita lain. Bapak berhak
mendapatkan kebahagaian yang lebih.”
“Tolong,
Bu, jangan bicara seperti itu. Yakinlah, aku sangat bahagia beristrikan Ibu
yang baik dan cantik. Tak usah pedulikan kata-kata miring dari orang lain
tentang hubungan kita. Aku kan sudah bilang, aku menikahi Ibu, berarti aku
telah menutup hatiku pada yang lain. Aku tak akan bisa menikahi wanita lain.
Hanya Ibu seorang yang aku cintai,” urai Panji. Mengulang penegasannya selama
ini.
Kata-kata
cinta suaminya, selalu gagal membuat Sumia yakin dan tenang. Sejak dahulu, ia
merasa tak pantas dicintai sang suami. Raganya banyak kekurangan. Secara kasat
mata, ia tak layak digolongkan rupawan. Citra wajahnya beda jauh dibanding
artis-artis iklan di televisi, atau setidaknya pemeran pembantu di sebuah
sinetron. Bagaikan langit dan bumi. Kulitnya tak cerah dan mulus, tubuhnya
gemuk, matanya terlalu sipit, serta rambut keritingnya telah beruban.
Sebaliknya
bagi Panji. Di desanya, ia tergolong lelaki yang rupawan. Tampilan raganya tak
kalah dengan pemeran iklan minuman pembentuk badan. Struktur tubuhnya sangat
proporsional. Harmoni wajahnya pun, bak campuran citra ketampanan timur dan
barat. Kulitnya yang putih berpadu dengan rambutnya yang hitam pekat. Mata
sipitnya, dinaungi alis tebal. Hidung mancungnya, menggantung di atas bibir
yang sedikit tebal. Jelas, ia layak disandingkan dengan aktor-aktor terkenal.
Atas
semua perbedaan itu, banyak singgungan yang menyatakan mereka tak pantas
berpasangan. Bahkan beberapa menuding Sumia menggunakan guna-guna. Apalagi,
perbedaan itu bukan hanya soal rupa, tapi juga status dan usia. Dahulunya, Sumia
adalah seorang janda, sedangan panji adalah bujangan yang menjadi idola wanita
di desa. Umur mereka pun terpaut jauh. Sumia lebih tua sebelas tahun dari
Panji.
Alasan
gunjingan yang tak kalah sadisnya adalah, Sumia dicap mandul.
“Kenapa
Bapak melakukan semua kebaikan ini padaku? Kenapa Bapak sudi menikahi aku,
janda tua buruk rupa yang tak bisa punya anak?” tanya Sumia. Terlihat, air mata
tergelincir di pelipisnya.
“Karena
aku mencintaimu Ibu. Cinta itu abadi. Tak seperti rupa raga yang lekang oleh
waktu.” balas Panji seketika, lalu mengecup punggung tangan kanan sang istri. “Aku
telah menikahi Ibu, dan aku harus setia. Itu saja.”
“Bapak
bukan orang pertama dalam hidupku. Bagaimana Bapak bisa begitu setia, sedangan
aku pernah mencintai orang lain begitu dalam? Tidakkah Bapak cemburu?” tanya
Sumia, seperti mendesak. “Aku mohon, sepeninggal aku, mendualah dengan wanita
lain. Menikahlah lagi.”
“Perasaan
tidak bisa ditawar-tawar Bu. Biar pun bukan yang pertama, aku rela menempati
tempat yang kedua di hati Ibu. Asalkan bisa memberikan Ibu kebahagaian, walau
sedikit, itu sudah cukup bagiku. Cinta itu tak butuh alasan, Bu,” tutur Panji,
sambil menyeka air mata istrinya. “Sudahlah, Ibu tidur saja. Mudah-mudahan setelah
bangun nanti, kondisi Ibu membaik.”
Tanpa
berkata-kata lagi, Sumia pun menutup matanya. Tak sedikit pun ia was-was jika benar, besok-besok, suaminya
menikah lagi.
Dalam
ketenangan gelap, Sumia terkenang Romi, suami pertamannya yang telah meninggal.
Ia merasa ingin dekat dengan lelaki kenangannya itu. Bagaimana pun, lelaki
itulah yang telah merenggut hatinya untuk pertama kali, namun pergi begitu
cepat kala bunga cinta mereka sedang bermekaran. Dialah yang merajai relung
hatinya sampai saat ini. Mungkin benar, cinta pertama tak akan tergantikan.
Di
sisi lain, Panji tahu betul kalau dirinya bukanlah sosok yang menyelimuti
segenap sukma sang istri. Kehadirannya hanya sebagai pengisi, bukan pengganti. Ia
tahu betul, tapi tak sedikit pun merasa iri. Ia sadar dan merasa pantas hanya
meraih juara kedua. Sekeras apa pun ia telah berusaha, tak akan menjadi yang
pertama.
Panji
pun berbaring di samping sang istri. Matanya memandang kosong ke langit-langit
ruang, sedangkan angannya melayang ke tempat yang jauh, di waktu silam. Ia
lalau teringat kejadian nahas bersama teman seperkerjaannya di perkebunan kelapa
sawit. Sebuah kecelakaan kerja terjadi. Memiriskan dan memilukan. Kala tengah
mengemudikan truk pengangkut kelapa, ia tak sengaja menabrak kawannya sendiri, hingga tak bernyawa. Namanya Romi, suami pertama istrinya.
“Ibu…,”
tutur Panji berulang kali, kala menyadari darah di tubuh istrinya, tak lagi
mengalir. Tak ada denyut di nadi.
Takdirnya
sudah sampai. Sumia meninggal. Ia pergi meninggalkan rahasia terbesar sang
suami yang tak pernah diduganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar