Kehidupan
di dunia, terasa semakin jauh dari nilai-nilai pengorbanan dan pemaafan. Aksi
balas dendam, tampak di mana-mana. Di semua lini kehidupan, orang-orang tak
sadar saling berbalas derita. Hanya demi keuntungan dan kepuasan pribadi atau
kelompok, tak ada pengertian untuk saling mengasihi. Nafsu duniawi, telah
mengalahkan bisikan hati nurani.
Mirisnya,
aksi jahat-menjahati, bak sebuah jaringan luas. Melibatkan segenap manusia. Bahkan
yang sedari awal tak pernah sudi menjadi penjahat, pun terjerumus. Seakan tak
ada daya untuk menghindar. Turut tanpa kesadaran, sebab keadaan yang
menyimpang, memperhadapkan setiap orang pada pilihan: menjahati atau dijahati.
Nyatanya,
semua tak ingin dijahati saja, tetapi juga ingin menjahati. Tanpa disadari,
itulah yang terjadi sekarang. Berapa banyak orang yang memilih jalan kolusi dan
nepotisme, hanya karena berpikiran, itu adalah hal yang lumrah. Semua orang
telah melakukannya. Kemenangan melalui kompetisi yang sehat, dianggap sebagai
khayalan belaka. Daripada kalah, mending mengalahkan, meski dengan “jalan
tikus”.
Pada
bagian lain, orang-orang juga saling mencuri. Mengambil harta benda yang bukan
miliknya. Korupsi bernilai trilliunan rupiah, sampai aksi pungutan liar
bernilai ratusan rupiah, terjadi di mana-mana. Salah satu penyebabnya karena
setiap orang merasa haknya telah terampas. Daripada kecurian, mending mencuri
juga. Begitulah kira-kira. Sampai akhirnya, setiap orang menuntut keadilan
dengan mengambil hak orang lain.
Tak
terhitung lagi, begitu banyak fenomena yang menunjukkan manusia telah saling
memangsa. Tanpa sadar, dikendalikan oleh roh jahat tak bertuan (baca: prasangka
umum). Tega menjahati, hanya karena tak terima dijahati sendiri. Ataukan
menjahati, karena jahat telah dianggap perilaku yang lumrah. Ringkasnya, sikap
manusia kekinian, telah dipenjarakan oleh prasangka buruk. Jadinya, mata hati
pun buta untuk kembali kepada jalan yang hak.
Kehidupan
saling memangsa karena ego, menunjukkan bahwa kesabaran manusia sudah begitu
rapuh. Hasrat untuk membalas atas sebuah penderitaan, selalu ingin disegerakan.
Sekali cubit, harus dibalas dengan sekali cubit. Tamparan dibalas dengan
tamparan. Nyawa dibalas nyawa. Lalu, jika begitu, tak ada lagi harapan tentang
dunia yang damai, sebab maaf-memaafkan dan kesabaran sebagai sikap mulia dari
manusia, telah diharamkan, ataukah dilupakan.
Untuk
mengakhiri semua penyimpangan ini, dunia membutuhkan orang-orang dengan
kesabaran yang luar biasa. Kesabaran yang tahan, hingga kejahatan pun menyerah
untuk menggoyahkannya. Kesabaran tak berbatas yang melenyapakan potensi balas
dendam. Dunia membutuhkan orang-orang yang ikhlas melawan kejahatan dengan
kebaikan, tanpa ada sedikit pun kata kecuali.
Akhirnya,
bersikap baik dengan tulus dalam hal apa pun, perlu dibiasakan. Jika pun
kebaikan yang diperbuat kepada seseorang tak sampai, bahkan malah dibalas
dengan kejahatan, bersabarlah. Kalau menanamkan nilai-nilai kesabaran bagi
semua manusia adalah mustahil, maka berupayalah untuk segelintir orang saja.
Jika pun tak berhasil, tak perlu dirisaukan, sebab kebaikan untuk orang lain,
hanya bisa diusahakan. Yang pasti dan lebih penting, pertahankanlah diri untuk
terus berbuat baik dengan penuh kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar