Selasa, 08 November 2016

Bertahan Diri

Kehidupan di dunia, terasa semakin jauh dari nilai-nilai pengorbanan dan pemaafan. Aksi balas dendam, tampak di mana-mana. Di semua lini kehidupan, orang-orang tak sadar saling berbalas derita. Hanya demi keuntungan dan kepuasan pribadi atau kelompok, tak ada pengertian untuk saling mengasihi. Nafsu duniawi, telah mengalahkan bisikan hati nurani.

Mirisnya, aksi jahat-menjahati, bak sebuah jaringan luas. Melibatkan segenap manusia. Bahkan yang sedari awal tak pernah sudi menjadi penjahat, pun terjerumus. Seakan tak ada daya untuk menghindar. Turut tanpa kesadaran, sebab keadaan yang menyimpang, memperhadapkan setiap orang pada pilihan: menjahati atau dijahati. 

Nyatanya, semua tak ingin dijahati saja, tetapi juga ingin menjahati. Tanpa disadari, itulah yang terjadi sekarang. Berapa banyak orang yang memilih jalan kolusi dan nepotisme, hanya karena berpikiran, itu adalah hal yang lumrah. Semua orang telah melakukannya. Kemenangan melalui kompetisi yang sehat, dianggap sebagai khayalan belaka. Daripada kalah, mending mengalahkan, meski dengan “jalan tikus”.

Pada bagian lain, orang-orang juga saling mencuri. Mengambil harta benda yang bukan miliknya. Korupsi bernilai trilliunan rupiah, sampai aksi pungutan liar bernilai ratusan rupiah, terjadi di mana-mana. Salah satu penyebabnya karena setiap orang merasa haknya telah terampas. Daripada kecurian, mending mencuri juga. Begitulah kira-kira. Sampai akhirnya, setiap orang menuntut keadilan dengan mengambil hak orang lain.

Tak terhitung lagi, begitu banyak fenomena yang menunjukkan manusia telah saling memangsa. Tanpa sadar, dikendalikan oleh roh jahat tak bertuan (baca: prasangka umum). Tega menjahati, hanya karena tak terima dijahati sendiri. Ataukan menjahati, karena jahat telah dianggap perilaku yang lumrah. Ringkasnya, sikap manusia kekinian, telah dipenjarakan oleh prasangka buruk. Jadinya, mata hati pun buta untuk kembali kepada jalan yang hak. 

Kehidupan saling memangsa karena ego, menunjukkan bahwa kesabaran manusia sudah begitu rapuh. Hasrat untuk membalas atas sebuah penderitaan, selalu ingin disegerakan. Sekali cubit, harus dibalas dengan sekali cubit. Tamparan dibalas dengan tamparan. Nyawa dibalas nyawa. Lalu, jika begitu, tak ada lagi harapan tentang dunia yang damai, sebab maaf-memaafkan dan kesabaran sebagai sikap mulia dari manusia, telah diharamkan, ataukah dilupakan.

Untuk mengakhiri semua penyimpangan ini, dunia membutuhkan orang-orang dengan kesabaran yang luar biasa. Kesabaran yang tahan, hingga kejahatan pun menyerah untuk menggoyahkannya. Kesabaran tak berbatas yang melenyapakan potensi balas dendam. Dunia membutuhkan orang-orang yang ikhlas melawan kejahatan dengan kebaikan, tanpa ada sedikit pun kata kecuali.

Akhirnya, bersikap baik dengan tulus dalam hal apa pun, perlu dibiasakan. Jika pun kebaikan yang diperbuat kepada seseorang tak sampai, bahkan malah dibalas dengan kejahatan, bersabarlah. Kalau menanamkan nilai-nilai kesabaran bagi semua manusia adalah mustahil, maka berupayalah untuk segelintir orang saja. Jika pun tak berhasil, tak perlu dirisaukan, sebab kebaikan untuk orang lain, hanya bisa diusahakan. Yang pasti dan lebih penting, pertahankanlah diri untuk terus berbuat baik dengan penuh kesabaran.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar