Rabu, 30 November 2016

Jalan Hidup Bardi

Bardi termenung. Pendangannya menjurus ke segala arah. Kedua matanya menatap iri para anak-anak yang tengah bermanja-ria pada ayah-ibu mereka. Jelas saja, ada rasa cemburu di hatinya. Ia ingin juga diperlakukan serupa. Namun akhirnya, ia sadar, tak punya diri yang patut dimanjakan. 
 
Atas semua keadaannya, Bardi pun minggat dari rumah. Melanglang buana di tengah kota. Hidup dengan menggelandang dan mengemis di jalanan. Hingga akhirnya, di sebuah sudut warung, seorang mahasiswa, Sandi, tergugah dan mengajaknya makan bersama.

“Nama kamu siapa, Dik?” tanya Sandi.

“Bardi,” jawabnya datar. Ia masih terlihat murung.

Sandi tersenyum. Ia memahami saja etika mengobrol para anak jalanan. “Rumah kamu di mana?”

Bardi bergeming. Setelah dibujuk berkali-kali, ia pun menuturkan balasan yang bukanlah sebuah jawaban, “Aku tak punya rumah.”

Sandi melepas garpu dan sendok di atas piring. Fokusnya adalah menyentuh hati Bardi agar tenang dan berkata jujur. Ia yakin, sebagaimana anak jalanan yang lain, Bardi telah dieksploitasi orang yang tak bertanggung jawab, termasuk mengaburkan asal-usulnya. 

“Kau jawab saja secara jujur, Dik. Jangan takut. Aku hanya ingin mencarikanmu solusi,” terang Sandi. "Orang tuamu di mana?"

“Aku tak punya orang tua!” sergah Bardi.

Lagi-lagi, Sandi kehabisan cara. Ia bingung. Tak tahu harus bagaimana mengorek informasi dari seorang anak yang menggugah harunya itu.

“Kau tak boleh berkata begitu, Dik. Ayah dan Ibumu, pasti mengawatirkanmu.” Untuk saat ini, Sandi mencoba menampik rahasia umum kalau orang tua para pengemis memang sengaja mengeksploitasi anak-anaknya.

“Ayahku jahat!” keluh Bardi. Rasa benci terhadap ayahnya, memang mengalahkan rasa cintanya pada sang ibu.

Sandi semakin tak habis pikir. “Kenapa berkata seperti itu, Dik? Bagaimana pun juga, Ayahmu pasti rindu. Makanya, kau harus bilang ke Kakak, di mana tempat tinggalmu.”

Bardi meneguk air beberapa kali. Sepiring nasi campur yang disantapnya, nyaris habis. “Aku tak mau pulang!”

Sandi menyerah. Untuk sementara, ia tak ingin bertanya lagi.

Diam-diam, terngiang lagi di memori Bardi tentang pertengkaran hebat ayah-ibunya. Sebuah pertengkaran yang terpicu dari keadaan raganya yang tak seperti orang kebanyakan. Penuturan ayahnya masih terekam jelas di sela-sela tangisan sang ibu: Pokoknya, aku tak ingin melihat anak itu lagi. Semua demi nama baik keluarga kita dan karir politikku, Bu. Kalau orang banyak tahu aku punya anak seperti Bardi, malu!

Tiba-tiba, perhatian Bardi tertuju pada layar televisi. Sandi mengikuti. Di layar persegi, seorang tokoh politik sedang berkampanye. Dengan tegas, sosok lelaki yang terkesan tenang dan berwibawa itu, berucap: Jika tepilih, saya akan memerhatikan kehidupan anak-anak, termasuk kesehatan dan pendidikannya.

“Kamu mengenal lelaki di televisi itu?” tanya Sandi.

Bardi tak menggubris.

“Dia adalah sosok yang terkenal baik. Mudah-mudahan dia terpilih menjadi pemimpin kita dan bersikap amanah. Jika ucapannya bukan janji palsu, aku yakin, kehidupan anak-anak sepertimu akan lebih baik,” tutur Sandi. Ia tak memedulikan kalau anak yang ditemaninya mengobrol, mungkin belum pernah mengenyam bangku pendidikan sedikit pun.

Bardi tak menanggapi. Ia terus melahap sisa makanan di piringnnya.

Sadar pertanyaan dan pernyataannya tak akan digubris secara berarti oleh Bardi, Sandi pun menyerah. Tapi tidak untuk selamanya. Kali ini, ia berencana mengajak Bardi untuk tinggal di rumah kontrakannya sementara waktu, sembari mencari jalan untuk kebaikan hidup anak itu. Tapi nahas, setelah membayar tagihan makanan di kasir, Bardi lenyap. Ia pergi tanpa pamit.

Di antara banyak rahasia yang dipendamnya, Sandi jelas tak tahu kalau Bardi pergi demi sebuah benci pada sang ayah yang kini semakin gencar membual tentang kasih-sayang kepada anak. Karena itulah, ia memilih minggat tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Membawa dua tangannya yang puntung sejak lahir. Berkelana mengais kasih-sayang dari siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar