Bardi
termenung. Pendangannya menjurus ke segala arah. Kedua matanya menatap iri para
anak-anak yang tengah bermanja-ria pada ayah-ibu mereka. Jelas saja, ada rasa
cemburu di hatinya. Ia ingin juga diperlakukan serupa. Namun akhirnya, ia sadar,
tak punya diri yang patut dimanjakan.
Atas
semua keadaannya, Bardi pun minggat dari rumah. Melanglang buana di tengah kota.
Hidup dengan menggelandang dan mengemis di jalanan. Hingga akhirnya, di sebuah
sudut warung, seorang mahasiswa, Sandi, tergugah dan mengajaknya makan bersama.
“Nama
kamu siapa, Dik?” tanya Sandi.
“Bardi,”
jawabnya datar. Ia masih terlihat murung.
Sandi
tersenyum. Ia memahami saja etika mengobrol para anak jalanan. “Rumah kamu
di mana?”
Bardi
bergeming. Setelah dibujuk berkali-kali, ia pun menuturkan balasan yang bukanlah
sebuah jawaban, “Aku tak punya rumah.”
Sandi
melepas garpu dan sendok di atas piring. Fokusnya adalah menyentuh hati Bardi
agar tenang dan berkata jujur. Ia yakin, sebagaimana anak jalanan yang lain, Bardi
telah dieksploitasi orang yang tak bertanggung jawab, termasuk mengaburkan
asal-usulnya.
“Kau
jawab saja secara jujur, Dik. Jangan takut. Aku hanya ingin mencarikanmu solusi,” terang Sandi. "Orang tuamu di mana?"
“Aku
tak punya orang tua!” sergah Bardi.
Lagi-lagi,
Sandi kehabisan cara. Ia bingung. Tak tahu harus bagaimana mengorek informasi dari
seorang anak yang menggugah harunya itu.
“Kau
tak boleh berkata begitu, Dik. Ayah dan Ibumu, pasti mengawatirkanmu.” Untuk saat
ini, Sandi mencoba menampik rahasia umum kalau orang tua para pengemis memang
sengaja mengeksploitasi anak-anaknya.
“Ayahku
jahat!” keluh Bardi. Rasa benci terhadap ayahnya, memang mengalahkan rasa
cintanya pada sang ibu.
Sandi
semakin tak habis pikir. “Kenapa berkata seperti itu, Dik? Bagaimana pun juga, Ayahmu
pasti rindu. Makanya, kau harus bilang ke Kakak, di mana tempat tinggalmu.”
Bardi
meneguk air beberapa kali. Sepiring nasi campur yang disantapnya, nyaris habis.
“Aku tak mau pulang!”
Sandi
menyerah. Untuk sementara, ia tak ingin bertanya lagi.
Diam-diam,
terngiang lagi di memori Bardi tentang pertengkaran hebat ayah-ibunya. Sebuah
pertengkaran yang terpicu dari keadaan raganya yang tak seperti orang kebanyakan.
Penuturan ayahnya masih terekam jelas di sela-sela tangisan sang ibu: Pokoknya, aku tak ingin melihat anak itu
lagi. Semua demi nama baik keluarga kita dan karir politikku, Bu. Kalau orang
banyak tahu aku punya anak seperti Bardi, malu!
Tiba-tiba,
perhatian Bardi tertuju pada layar televisi. Sandi mengikuti. Di layar persegi,
seorang tokoh politik sedang berkampanye. Dengan tegas, sosok lelaki yang
terkesan tenang dan berwibawa itu, berucap: Jika
tepilih, saya akan memerhatikan kehidupan anak-anak, termasuk kesehatan dan
pendidikannya.
“Kamu
mengenal lelaki di televisi itu?” tanya Sandi.
Bardi
tak menggubris.
“Dia
adalah sosok yang terkenal baik. Mudah-mudahan dia terpilih menjadi pemimpin
kita dan bersikap amanah. Jika ucapannya bukan janji palsu, aku yakin,
kehidupan anak-anak sepertimu akan lebih baik,” tutur Sandi. Ia tak memedulikan
kalau anak yang ditemaninya mengobrol, mungkin belum pernah mengenyam bangku
pendidikan sedikit pun.
Bardi
tak menanggapi. Ia terus melahap sisa makanan di piringnnya.
Sadar
pertanyaan dan pernyataannya tak akan digubris secara berarti oleh Bardi, Sandi
pun menyerah. Tapi tidak untuk selamanya. Kali ini, ia berencana mengajak Bardi
untuk tinggal di rumah kontrakannya sementara waktu, sembari mencari jalan
untuk kebaikan hidup anak itu. Tapi nahas, setelah membayar tagihan makanan di
kasir, Bardi lenyap. Ia pergi tanpa pamit.
Di
antara banyak rahasia yang dipendamnya, Sandi jelas tak tahu kalau Bardi pergi demi sebuah benci pada sang ayah yang kini semakin gencar membual tentang
kasih-sayang kepada anak. Karena itulah, ia memilih minggat tanpa sepengetahuan siapa-siapa.
Membawa dua tangannya yang puntung sejak lahir. Berkelana mengais kasih-sayang
dari siapa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar