Selasa, 08 November 2016

Nilai Terbaik

Belum sampai tengah hari, Abdi bergegas pulang ke rumahnya. Ia begitu senang sebab nilai di surat keterangan lulus SMP miliknya, sangat mengagumkan. Nilai rata-ratanya adalah yang tertinggi di sekolah. Deretan nilai itu, akan segera ia perlihatkan pada sang ayah, Sukir. Ia berharap menuai pujian dan sanjungan. Kalau berhasil, jelas akan membuat citra dirinya semakin membaik. 
 
Sesampai di rumah panggunnya yang sederhana, ia segera menanjaki anak tangga. Melangkah sambil mengira-ngira posisi keberadaan ayahnya. Setelah mengecek ke segala sudut ruang, ia pun menemukan sang ayah tengah menyendiri di teras bagian belakang rumah. Seperti biasa, lelaki tua itu terlihat meneguk kopi pekat, sambil memandang hamparan tanaman singkongnya yang tak lama lagi dipanen.

“Ayah, aku lulus!” seru Abdi pada ayahnya.

Sukir hanya menoleh dan menyungging seadanya. Seakan tak ada yang spesial. “Syukurlah kalau begitu,” tuturnya, lalu menyambut uluran keterangan hasil ujian dari anaknya. 

Reaksi ayahnya yang biasa saja, membuat Abdi kecewa. Respons itu tak seperti yang di harapkan. Angan-angannya tak terwujud, kalau sang ayah akan berseru bangga, kemudian memeluk dan menyanjungnya. Lagi, ia mencoba memancing pujian, “Aku dapat nilai tertinggi di sekolah, Ayah. Hebat kan?” tuturnya, lalu duduk di samping kanan sang ayah.

“Ya, bagus kalau begitu,” tanggap Sukir tanpa gairah memuji.

Abdi pun menyerah. Ia pasrah menerima kenyataan kalau ayahnya tak akan memberikan sanjungan apa-apa. Apalagi penghargaan berupa uang atau barang. Harapan itu, mustahil terwujud.

“Nilai mata pelajaran Agama dan PPKn-mu hampir sempurna,” tutur Sukir.

Jelas saja, komentar singkat sang ayah, membuat Abdi sedikit tersanjung. “Iya. Di sekolah, memang tak ada yang mengalahkanku di dua mata pelajaran itu. Aku hebat dalam berpidato,” timpalnya, sambil tersenyum senang.

Sukir mengangguk-angguk. Seperti membenarkan kalau anaknya memang handal dan percaya diri dalam mengolah kata. “Tapi, nilai di kertas seperti ini, tidak terlalu penting di banding nilai-nilai yang kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Biar nilai Agama dan PPKn tinggi, tapi kalau ibadah dan hubungan dengan sesama manusia tidak baik, ya, tak ada artinya juga.”

Untuk sementara, Abdi tak membalas. Ia tahu, apa yang dikatakan sang ayah adalah sebuah singgungan. Ia tahu betul watak ayahnya yang tak bosan-bosan berceramah tentang nilai-nilai. Apalagi, diam-diam, ia sadar punya banyak perilaku yang tak terpuji selama ini. 

“Kau tahu Nak, babi hutan yang sering menjamah tanaman singkong dan jagung kita, bisa juga dapat nilai Agama dan PPKn yang tinggi. Itu kalau jawabnya bukan dengan pengetahuan dan pemahaman, tapi asal pilih, apalagi menggunakan kunci jawaban,” sambung Sukir lagi.

Lagi-lagi, itu adalah singgungan yang berat bagi Abdi. Meski telinganya sudah sering dicekoki nasihat serupa, sebagai anak, ia sadar tak baik menyanggah. Ia pun diam saja dan mendengarkan.

“Dalam kenyataan, babi bahkan bisa lebih mulia dari manusia. Biar pun mencuri tanaman, tapi babi tak pernah berusaha menyembunyikan jejaknya. Ia melakukan perbuatan jahat dengan jujur dan tak pernah berupaya menghindari sanksi, bahkan jika harus terbunuh. Itu karena babi tak punya akal. Babi, sebagaimana binatang lain, hanya mengikuti instingnya saja,” lanjut Sukir.

Abdi tak berkutik.

“Nah, manusia, karena kecerdasan akalnya, selalu suka melakukan kejahatan secara sembunyi-sembunyi. Tak ingin bertanggung jawab. Kalau ketangkap basah, ia pasti mengelak. Ya, begitulah manusia, kadang tak sadar lebih binatang dari binatang,” simpul Sukir, sambil menuang kopi ke dalam gelasnya yang tersisa ampas.

“Iya. Kata-kata Ayah benar. Aku tak ingin seperti babi. Aku ingin jadi manusia sesungguhnya,” tanggap Abdi, agar terlihat memahami pesan ayahnya.

Diam-diam, Abdi berharap dengan sangat, agar semua nasihat ayahnya, tak ada hubungannya dengan hilangnya beberapa perkakas di rumah. 

“Baiklah kalau begitu. Nanti malam, kau jaga lagi ya di kebun. Usirlah babi-babi tak tahu diri, sebagaimana mengusir sifat-sifat babi dalam diri kita,” tutur Sukir, sambil menepuk-nepuk punggung putra semata wayangnya itu. “Tadi pagi, aku sudah beli senter di pasar. Aku mengggantungnya di tempat biasa.”

“Baik Ayah,” pungkas Abdi.

Tanpa beban, meski dengan setengah kecewa, Abdi segera menuju ke ruang utama rumah. Ia melangkah dengan perasaan yang lega, sebab persoalan hilangnya beberapa perkakas rumah, tak disinggung ayahnya. Kisah terselubungnya itu, ia tekadkan menjadi rahasia pribadi. Dipendam bersama dosa yang mungkin tak akan ia mohonkan maaf.   

Seketika, ia kaget setengah mati kala melihat senter yang dimaksud ayahnya. Motif senter yang menggantung di dinding itu, serupa dengan senter yang dikatakannya hilang kepada sang ayah. Bahkan, goresan dan stiker di badan senter, juga masih ada dan tak ada bedanya.  

Ketakutannya pun menjadi-jadi. Ia khawatir ayahnya tahu keberadaan radio tua, sebuah parang dan cangkul, serta potongan-potongan besi di kolong rumah. Ia takut ayahnya tahu bahwa perkakas itu telah dijualnya pada seorang pedagang barang bekas di pasar. Semua demi mendapatkan biaya tebusan kunci jawaban yang diperjualbelikan pihak sekolah kepada para siswa, secara diam-diam.


Sebelum dosa-dosa berlipat ganda, sampai tak ada jalan pulang pada kesucian, ia bertekad segera meminta maaf kepada sang ayah. Ia ingin kembali menjadi manusia seutuhnya, seperti sedia kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar