Belum
sampai tengah hari, Abdi bergegas pulang ke rumahnya. Ia begitu senang sebab
nilai di surat keterangan lulus SMP miliknya, sangat mengagumkan. Nilai
rata-ratanya adalah yang tertinggi di sekolah. Deretan nilai itu, akan segera
ia perlihatkan pada sang ayah, Sukir. Ia berharap menuai pujian dan sanjungan.
Kalau berhasil, jelas akan membuat citra dirinya semakin membaik.
Sesampai
di rumah panggunnya yang sederhana, ia segera menanjaki anak tangga. Melangkah
sambil mengira-ngira posisi keberadaan ayahnya. Setelah mengecek ke segala
sudut ruang, ia pun menemukan sang ayah tengah menyendiri di teras bagian
belakang rumah. Seperti biasa, lelaki tua itu terlihat meneguk kopi pekat,
sambil memandang hamparan tanaman singkongnya yang tak lama lagi dipanen.
“Ayah,
aku lulus!” seru Abdi pada ayahnya.
Sukir
hanya menoleh dan menyungging seadanya. Seakan tak ada yang spesial. “Syukurlah
kalau begitu,” tuturnya, lalu menyambut uluran keterangan hasil ujian dari
anaknya.
Reaksi
ayahnya yang biasa saja, membuat Abdi kecewa. Respons itu tak seperti yang di
harapkan. Angan-angannya tak terwujud, kalau sang ayah akan berseru bangga,
kemudian memeluk dan menyanjungnya. Lagi, ia mencoba memancing pujian, “Aku
dapat nilai tertinggi di sekolah, Ayah. Hebat kan?” tuturnya, lalu duduk di
samping kanan sang ayah.
“Ya,
bagus kalau begitu,” tanggap Sukir tanpa gairah memuji.
Abdi
pun menyerah. Ia pasrah menerima kenyataan kalau ayahnya tak akan memberikan
sanjungan apa-apa. Apalagi penghargaan berupa uang atau barang. Harapan itu,
mustahil terwujud.
“Nilai
mata pelajaran Agama dan PPKn-mu hampir sempurna,” tutur Sukir.
Jelas
saja, komentar singkat sang ayah, membuat Abdi sedikit tersanjung. “Iya. Di
sekolah, memang tak ada yang mengalahkanku di dua mata pelajaran itu. Aku hebat
dalam berpidato,” timpalnya, sambil tersenyum senang.
Sukir
mengangguk-angguk. Seperti membenarkan kalau anaknya memang handal dan percaya
diri dalam mengolah kata. “Tapi, nilai di kertas seperti ini, tidak terlalu
penting di banding nilai-nilai yang kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Biar
nilai Agama dan PPKn tinggi, tapi kalau ibadah dan hubungan dengan sesama
manusia tidak baik, ya, tak ada artinya juga.”
Untuk
sementara, Abdi tak membalas. Ia tahu, apa yang dikatakan sang ayah adalah
sebuah singgungan. Ia tahu betul watak ayahnya yang tak bosan-bosan berceramah
tentang nilai-nilai. Apalagi, diam-diam, ia sadar punya banyak perilaku yang
tak terpuji selama ini.
“Kau
tahu Nak, babi hutan yang sering menjamah tanaman singkong dan jagung kita,
bisa juga dapat nilai Agama dan PPKn yang tinggi. Itu kalau jawabnya bukan
dengan pengetahuan dan pemahaman, tapi asal pilih, apalagi menggunakan kunci
jawaban,” sambung Sukir lagi.
Lagi-lagi,
itu adalah singgungan yang berat bagi Abdi. Meski telinganya sudah sering
dicekoki nasihat serupa, sebagai anak, ia sadar tak baik menyanggah. Ia pun
diam saja dan mendengarkan.
“Dalam
kenyataan, babi bahkan bisa lebih mulia dari manusia. Biar pun mencuri tanaman,
tapi babi tak pernah berusaha menyembunyikan jejaknya. Ia melakukan perbuatan
jahat dengan jujur dan tak pernah berupaya menghindari sanksi, bahkan jika
harus terbunuh. Itu karena babi tak punya akal. Babi, sebagaimana binatang
lain, hanya mengikuti instingnya saja,” lanjut Sukir.
Abdi
tak berkutik.
“Nah,
manusia, karena kecerdasan akalnya, selalu suka melakukan kejahatan secara
sembunyi-sembunyi. Tak ingin bertanggung jawab. Kalau ketangkap basah, ia pasti
mengelak. Ya, begitulah manusia, kadang tak sadar lebih binatang dari binatang,”
simpul Sukir, sambil menuang kopi ke dalam gelasnya yang tersisa ampas.
“Iya.
Kata-kata Ayah benar. Aku tak ingin seperti babi. Aku ingin jadi manusia
sesungguhnya,” tanggap Abdi, agar terlihat memahami pesan ayahnya.
Diam-diam,
Abdi berharap dengan sangat, agar semua nasihat ayahnya, tak ada hubungannya
dengan hilangnya beberapa perkakas di rumah.
“Baiklah
kalau begitu. Nanti malam, kau jaga lagi ya di kebun. Usirlah babi-babi tak
tahu diri, sebagaimana mengusir sifat-sifat babi dalam diri kita,” tutur Sukir,
sambil menepuk-nepuk punggung putra semata wayangnya itu. “Tadi pagi, aku sudah beli
senter di pasar. Aku mengggantungnya di tempat biasa.”
“Baik
Ayah,” pungkas Abdi.
Tanpa
beban, meski dengan setengah kecewa, Abdi segera menuju ke ruang utama rumah.
Ia melangkah dengan perasaan yang lega, sebab persoalan hilangnya beberapa
perkakas rumah, tak disinggung ayahnya. Kisah terselubungnya itu, ia tekadkan
menjadi rahasia pribadi. Dipendam bersama dosa yang mungkin tak akan ia
mohonkan maaf.
Seketika,
ia kaget setengah mati kala melihat senter yang dimaksud ayahnya. Motif senter
yang menggantung di dinding itu, serupa dengan senter yang dikatakannya hilang kepada
sang ayah. Bahkan, goresan dan stiker di
badan senter, juga masih ada dan tak ada bedanya.
Ketakutannya
pun menjadi-jadi. Ia khawatir ayahnya tahu keberadaan radio tua, sebuah parang
dan cangkul, serta potongan-potongan besi di kolong rumah. Ia takut ayahnya tahu bahwa perkakas itu telah dijualnya pada seorang pedagang barang bekas di pasar. Semua demi mendapatkan biaya tebusan kunci jawaban yang diperjualbelikan pihak sekolah kepada para siswa, secara diam-diam.
Sebelum
dosa-dosa berlipat ganda, sampai tak ada jalan pulang pada kesucian, ia
bertekad segera meminta maaf kepada sang ayah. Ia ingin kembali menjadi manusia
seutuhnya, seperti sedia kala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar