Kemarin,
aku datang dari pulau seberang. Kembali berpijak di kota kenanganku. Di sinilah
dahulu, kusimpan sebuah harapan. Kutinggalkan bersama doa-doa yang terus
kuhaturkan setiap waktu. Sebuah harapan agar kau tetap sendiri selama aku jauh.
Sebab aku telah berjanji pada diriku sendiri, untuk pulang meminangmu.
Nyatanya,
aku harus bersabar. Yang terjadi, sebaliknya dari harapanku. Memilukan.
Sekarang,
aku hanya meratap. Berdiam diri dalam kesunyian. Telentang sambil memandangi
langit-langit kamar. Berkhayal tentang kita, andai waktu bisa diputar kembali. Menelusuri
masa lalu, untuk sejenak mengabaikan kenyataan yang ada. Hingga buku, novel,
album foto, dan gitar yang merekam tentangmu, memancarkan sebuah dilema.
Dan
lagi, aku melakukan sebuah rutinitas terkutuk. Mencari jawaban atas rasa
penasaranku tentang dirimu di media sosial. Melakoni komunikasi satu arah
secara diam-diam. Sekadar untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja, tanpa ada
maksudku mengusik. Mengulik apa pun tentangmu, meski kusadari kalau itu tak
sepatutnya lagi kulakukan.
Rindu
dan penyesalan yang tak tertahankan, mengaduk-aduk perasaanku. Seketika, aku
terdorong mengulas kembali percakapan panjang kita di media sosial.
Mengecap-ngecap kenangan kala kita masih
begitu dekat. Menelaah maksud hatimu di balik simbol dan kata-kata yang kau
kirimkan. Aku selalu suka menebak-nebak tentang perasaanmu padaku waktu itu.
Akhirnya,
penghayatanku menjurus pada satu fase percakapan kita di Facebook:
“Kau
jadi pindah ke pulau seberang?” tanyamu, setelah jari kita lelah berbasa-basi,
mengulas kenangan kita di masa kuliah.
Kuduga
kau mulai cemas. “Iya. Pamanku menunggu. Ia berharap aku membantunya
mengembangkan perusahaannya. Memangnya kenapa?” tanyaku, sambil berharap kau
mengirimkan kata-kata permohonan agar aku tak pergi.
Sekitar
lima menit kau lewatkan untuk mengonsepkan balasanmu. Aku pun menduga hatimu
tengah dilanda kerusuhan. “Oh, semoga kau sukses di sana.”
Atas
balasanmu, kepercayaan diriku sedikit menciut. Tapi kuduga, kau hanya berusaha
menutupi kegundahanmu. “Kalau aku jauh, kau tak merindukanku setengah mati, kan?” singgungku, berharap kau membalas dengan candaan yang selalu kutafsirkan
sebagai ucapan hatimu yang sesungguhnya.
“Ya,
tidaklah. Aku yakin suatu saat kau akan kembali.” Itulah jawaban absurdmu. Kutafsirkan
kalau kau rela melepasku pergi, tapi kau masih berharap atas kedatanganku. Entah
bagaimana menyikapinya.
“Jika ada kepentingan, aku pasti pulang. Kau akan
menungguku, kan?” tanyaku lagi. Butuh diyakinkan kalau aku tak salah kaprah
tentang perasaanmu.
Kau
hanya membalas dengan ikon aneh. Sebuah simbol senyuman. Pesan multitafsir itu,
jelas membuat khalayanku semakin menjadi-jadi. Bimbang, di antara yakin atau
ragu atas perasaanmu kepadaku. Aku gamang, sekaligus berharap.
Setelah
fase percakapan itu berakhir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti
berbagi pesan denganmu, kecuali kau yang memulai. Aku ingin menguji
ketangguhanmu dalam memendam perasaan. Juga menguji sekuat apa kau meredam rindu
yang menggugat di antara jarak dan waktu yang memisahkan kita.
Setelah
puas bernostalgia, aku pun bangkit dari pembaringan. Kembali menguatkan hati
untuk memangku gitar kenanganku. Memetik senarnya untuk mengiringi suara
sederhanaku yang melantunkan sebuah lagu patah hati. Ya, aku memang lebih
handal memadu-padankan melodi gitar daripada bernyanyi.
Dan
kuingat lagi kebersamaan kita di masa lampau. Kebersamaan aku, kau, dan dia:
“Nyanyikan
sebuah lagu untukku dong?” pintamu, saat kita bertiga tengah menghabiskan waktu
di bawah rindangnya pepohonan di taman kampus.
Jelas
saja aku merasa tersanjung. Sungguh, permintaan semacam itu, selalu diimpikan
semua lelaki. “Baiklah. Aku akan menyanyikan sebuah lagu favorit kita berdua,”
balasku, kemudian mulai bersenandung.
Kau
seketika meredam suara gitarku dengan tanganmu. Raut kesal, tampak di wajahmu. “Aduh.
Biar dia saja yang menyanyi. Kau cocoknya main gitar saja.”
Aku
jelas kecewa. Tapi demi melihatmu senang, aku tak mempermasalahkannya.
Dia
pun mulai bernyanyi dengan iringan nada gitar dariku. Ya, dia, seorang lelaki, sahabat baikku, yang dahulu kuperkenalkan kepadamu untuk menjadi teman barumu.
Kita
bertiga pun larut dalam kehebohan.
Mengingat-ingat
peristiwa itu, membuatku tak berselera lagi melanjutkan lantunan lagu untukmu
di ruang sepiku. Ada rasa sesal dan kecewa yang mengalun dari gitar merah itu,
tentang kita.
Nada telepon genggamku berdenting. Ada pesan masuk:
“Besok kamu datang ke acara kami, kan?” tanya dia, seorang lelaki yang kumaksud. Lelaki di
antara kita.
Aku
mendiamkan pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Apalagi, itu
bukan acara biasa. Itu adalah prosesi pengikatan cinta. Tapi bukan itu yang
membuatku dirundung pilu setengah mati, tapi karena sosok yang ada dalam kata ganti “kami”
adalah kau dan dia.
Dan
setelah itu, aku segera menghapus semua percakapan kita di akun media sosial.
Meski kutahu, aku tak akan pernah bisa melupakan semua kesan darimu, sampai
kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar