“…Kan, bisa aja dalam hati kecil
bapak-ibu, nggak bisa pilih saya. Ya kan, dibohongi pakai Surah Al-Maidah 51
macem-macem gitu loh. Itu hak bapak ibu, ya. Jadi kalau bapak-ibu, ‘perasaan
nggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka’, dibodohon gitu ya, nggak
apa-apa. Karena ini kan panggilan pribadi bapak-ibu…”. Begitulah
penggalan kata yang meluncur dari mulut Ahok kala berpidato di Kepulauan
Seribu.
Tak
ada yang menduga, mungkin juga Ahok, kalau untaian pernyataannya, akan
menimbulkan masalah. Menjadi sebuah polemik setelah video pidatonya itu, viral
di media sosial. Hingga ujungnya, Ahok pun diproses secara hukum, karena
dinilai melakukan tindak penistaan agama yang potensial berujung pidana.
Gonjang-ganjing
menyikapi pernyataan Ahok, terus berlanjut. Sejumlah pihak geram dan meminta Ahok
dipidanakan karena diyakini menista agama. Sebagian yang lain, menanggapinya santai
saja, karena menilai kekisruhan terjadi akibat susupan muslihat politik.
Katanya, ada yang memanfaatkan keadaan untuk menjegal Ahok dalam Pilgub DKI
pada Februari 2017 mendatang.
Akhirnya,
perseteruan akibat pernyataan Ahok, menimbulkan polarisasi massa. Yang pro
pemidanaan Ahok mengatasnamakan solidaritas agama, semantara yang kontra
mengatasnamakan solidaritas keberagaman bangsa. Keduanya pun menjadi sulit
untuk dibaurkan.
Aksi dan Reaksi
Tak
bisa dimungkiri bahwa pernyataan Ahok terkait Surah Al-Maidah: 51, memang
sangat sensitif. Bagi penganut agama Islam yang memahami kalau ayat itu memerintahkan
untuk tak menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai teman setia, apalagi jika
dikaitkan dengan kepemimpinan dalam pemerintahan negara, jelas sangat
tersinggung. Entah itu tersinggung karena ayat suci telah dianggap sebagai alat
kebohongan, ataukah tersinggung karena para ulama dikatakan sebagai pembohong
dengan menggunakan teks ayat suci.
Sensitivitas
pernyataan Ahok semakin meninggi, mengingat ia bukanlah seorang muslim. Secara awam,
ia dapat dicap tak tahu teks ayat suci Al-Qur’an, atau setidaknya tidak berhak
menafsirkan. Pernyataannya yang mengait-ngaitkan ranah agama dengan politik
saat berpidato di muka umum, dinilai tak pantas. Alasannya karena setiap warga
negara punya preferensi pribadi dalam persoalan politik, termasuk menuruti
tuntunan agama yang diyakini. Asalkan tak saling menistakan saja.
Pernyataan
Ahok, jelas rentan bercampur-baur dengan pekatnya nuansa politik menjelang
Pilgup DKI Jakarta. Bahkan bisa dipastikan, pernyataannya itu terkait dengan
konteks Pilgub. Bermaksud menyampaikan janganlah agama dijadikan alat politik, ia
malah dipermasalahkan karena dinilai lancang menyentil persoalan agama dalam
konteks politik. Ia dianggap telah menyinggung subjektivitas keberagaaman
penganut agama Islam.
Tabiat
Ahok yang ceplas-ceplos, terutama dalam mengomentari Surah Al-Maidah:51, mengundang
reaksi luar biasa dari umat Islam. Pada tanggal 4 November lalu, di berbagai
daerah, sejumlah umat Islam tumpah-ruah di jalan, berunjuk rasa menuntut Ahok diproses
secara hukum, bahkan dipindanakan atas pernyataannya yang dinilai menistakan
agama Islam. Pusat aksi di DKI Jakarta, bahkan melibatkan puluhan ribu orang
dari sejumlah daerah.
Memanasnya
aksi-reaksi atas pernyataan Ahok, tak lepas dari embel-embel yang menyertainya.
Ada unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di dalamnya. Pertentangan
dengan dasar perbedaan yang beragam itu, tak akan sampai pada persamaan,
kecuali dengan mengambil unsur pemersatu yang lebih luas (baca: kebangsaan).
Maka penting untuk memilah-milah persoalan dan menempatkan pada ranahnya masing-masing.
Intinya, mengaitkan pilihan politik dengan persoalan SARA, merupakan ranah
subjektif setiap orang, sehingga tak boleh dipolitisasi, apalagi dipaksakan.
Biarkan Hukum Bekerja
Keputusan
Ahok meminta maaf karena pernyataannya menimbulkan kegaduhan, jelas layak
dihormati dan dihargai. Penghargaan serupa, juga kepada para penganut dan
pemuka agama yang dengan lapang dada menerima permintaan maaf Ahok. Kedua sikap
mulia itu, sangat diperlukan dalam mendamaikan kembali pihak yang
berseberangan, demi bangsa.
Di
sisi lain, dugaan penistaan agama atas pernyataan Ahok, harus tetap diproses
secara hukum. Penetapan salah-benarnya
ia, atau dipidana-tidaknya ia menurut hukum, harus dipercayakan pada pihak yang
berwenang. Untuk itu, sikap dan tafsir keagaamaan setiap orang atas pernyataan
Ahok, cukup ditemparkan pada ranahnya subjektivitas saja. Dan hasil dari proses
hukum, selama dilaksanakan secara profesional, harus diterima semua pihak.
Dalil-dalil
hukum secara teksual, harus diterapkan secara benar dan seadil-adilnya. Karena
itu, penegak hukum harus independen. Keadilan menurut hukum, tidak boleh
disetir oleh kekuatan apa pun, baik oleh oknum yang berpengaruh, maupun aksi
massa. Penegakan hukum harus dilakukan dalam ruang yang netral untuk memutuskan
sebuah perkara, yaitu dengan menelaah ada tidaknya persesuaian antara unsur-unsur
delik dengan fakta dalam sebuah peristiwa hukum.
Dugaan
bahwa pernyataan Ahok telah menistakan agama, baik dengan merujuk pada
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama, atau KUHP, tak boleh dipaksakan oleh siapa pun. Biarlah
aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi, melakukan fungsi penyelidikan secara
cermat dalam menentukan apakah pernyataan Ahok memenuhi unsur tindak penistaan agama,
untuk kemudian ditindaklanjuti.
Akhirnya,
pihak-pihak yang berseberangan terkait pernyataan Ahok, kiranya dapat mengambil
sikap yang dibenarkan oleh hukum. Dalam kehidupan bernegara di Indonesia, yang diisi
oleh bangsa yang berbeda latar belakang dan kepentingan, maka semua haruslah
dikembalikan pada hukum. Hanya dengan cara itulah, NKRI akan tetap menjadi
negara yang damai dan mendamaikan atas curahan rahmat Tuhan yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar