Aku
cuma seorang wanita. Hidup di dunia dengan separuh ketidaksempurnaan.
Merindukan pendamping hidup untuk mencukupi kekurangan. Namun, seperti berjuta
bintang di langit, aku hanya satu di antara perindu. Dengan binar seadanya,
entah adakah juga yang sudi membalas rinduku.
Sekarang,
cukup jika aku berdoa. Berharap semoga ada lelaki yang menempuh jalan ke
arahku. Menanti sosok yang gagah berani menyatakan perasaannya, lalu aku akan
memutuskan perkara takdirku sendiri. Sebab begitulah wanita, hanya bisa menanti
dan menjawab. Maka, kupasrahkan saja pada pelukan siapa pun aku akan terbuai dan
terjatuh, nanti.
Penantian
hatiku, masih penuh tanda tanya. Tak ada niat memaksakan kenyataan. Walau
belakangan aku terpikat pada seseorang bernama Bimo, aku tak mau berharap
lebih. Kugantungkan saja semua kemungkinan. Akan jadi bumerang kalau aku cuma
menggantungkan nasib padanya dan menutup kemungkinan pada yang lain, tapi
kemudian dia tak juga mengucapkan janji suci sampai waktuku berakhir.
Menebak-nebak
perasaan lelaki yang kumaksud, bukanlah persoalan yang mudah. Sangat rentan
menjurus pada salah tafsir. Bagaimana pun juga, lelaki, sebagaimana dia, gemar
memberi perhatian pada wanita. Jika benteng pertahanan hatiku tak kokoh, aku
bisa terbuai setengah gila. Tapi selalu kuyakinkan diri, kalau dia hanya
menganggapku sebagai teman biasa, seperti yang lain.
Kami
jelas sangat dekat sebagai teman. Itulah salahnya, sebab dia jadi tak berpikir
kalau aku ingin ada ikrar cinta atas nama Pencipta. Pertemanan seperti sudah
cukup baginya. Membahas persoalan kuliah, dianggapnya lebih penting daripada
merencanakan rumah tangga. Dia pun lebih tertarik memperdebatkan isi buku
ketimbang berbicara tentang isi hati yang terdalam.
Kedekatan
berlebihan, telah membuat kami terlihat seperti saudara. Tak ada sekat-sekat
dan rahasia di antara kami. Bahkan, kami suka mengunjungi di kediaman
masing-masing. Akhirnya, aku mengenal ayahnya, seorang duda yang menyenangkan.
Sebaliknya, ia juga mengenal ayah-ibuku, meski tak terlalu akrab. Itu karena
aku lebih sering ke rumahnya, dibanding ia ke rumahku.
Dan,
sore hari, saat kami tengah berbincang sambil mengerjakan tugas kuliah di
bangku taman rumahnya, tiba-tiba, entah ada angin apa, ia mempertanyakan
persoalan perikahan padaku.
“Nindy,
di usia berapa kau akan menikah?” tanya Bimo dengan mimik yang datar.
“Entahlah.
Sebagai wanita, aku tak bisa menentukan kapan jodohku akan datang meminang. Ya,
kau tahulah, perempuan kan pasif. Bisanya menunggu saja sepanjang waktu,”
balasku, lalu memalingkan wajahku dari laptop, menoleh padanya. “Kau sendiri
akan menikah pada umur berapa?”
“Kalau
aku, tak ingin cepat-cepat. Target sih, saat umur 35 tahun. Laki-laki kan mudah
saja. Sisa cari yang cocok, kemudian lamar kalau sudah siap,” katanya. Terlihat
enteng berucap. Seakan persoalan pasangan hidup, tak pantas dipusingkan.
“Syukur-syukur
juga kalau ada yang sudi menerima lamaranmu. Apalagi di usia tua begitu, kau
pasti terlihat semakin jelek. Wanita manapun kan ingin juga menikah dengan lelaki
muda dan rupawan,” ledekku, sambil tertawa pendek.
Dia
tersenyum. “Ah, tidaklah. Nyatanya, kalau laki-laki sudah melamar, wanita pasti
cemas-cemas untuk menolak. Takut kalau tak ada lagi lelaki yang akan datang
setelahnya, kan?”
Pernyataannya
jelas membuatku tersinggung. Memang begitulah yang aku khawatirkan. “Terserah
kau sajalah,” tegasku, lalu kembali menatap ke layar persegi.
Diam-diam,
kutelaah lagi isi pernyatannya. Aku memang wajar jika cemas. Keinginanku
menjadikannya sebagai pendamping hidup, terasa seperti mimpi. Di umur kami yang
sama-sama 23 tahun, terlalu berat bagiku kalau harus menunggu selama 12 tahun
ke depan. Apalagi, menggantungkan harapan selama itu, jelas penuh rintangan.
“Ngomong-ngomong,
apa ada target tentang sosok wanita yang akan kau nikahi nanti, setidaknya
ciri-ciri wanita dambaanmulah?” tanyaku. Berharap jawabannya berisi
ciri-ciriku.
“Aku
tak tahulah. Rencananya kan aku mapan dulu baru cari pendamping hidup. Ya,
selama aku tidak mapan dan siap menikah, selama itu juga aku tak tertarik
mencari, apalagi mengejar seorang wanita,” balasnya, kemudian meneguk teh
hangat buatanku.
Dan,
aku yakin sudah, dengan prinsip itu, kecil kemungkinan dia mendambakanku.
“Aku
kira-kira sih, tak lama lagi kau akan menikah. Akan ada seseorang yang segera
datang melamarmu,” candanya. “Kalau benar, saranku sih, terima saja. Aku takut
kau akan jadi perawan tua atau perawan seumur hidup jika menolaknya.”
“Sekarang
kau sudah jadi peramal? Ada-ada saja,” balasku. “Aku juga punya perasaan. Ini
bukan zaman kuno lagi. Aku berhak menolak kalau aku tak mau.”
“Terserah
kau sajalah,” tegasnya, seperti meniru tingkahku.
Obrolan
kami pun berakhir. Dan sekarang, aku tahu pola pikirnya tentang wanita.
Tiga
hari berselang, ledekannya terbukti benar. Seorang lelaki datang menemui kedua orang
tuaku di rumah. Ia meminangku. Aku jelas mengenalnya. Lelaki yang kira-kira
berumur kepala empat itu, datang bersama anaknya, teman dekatku selama ini,
Bimo.
Lama-lama
menimbang, akhirnya kuputuskan untuk menerima pinangan sang duda beranak satu
itu. Sebagaimana wanita, aku selalu was-was kalau tak ada lagi yang sudi datang
di hari-hari esok. Jika memang aku diciptakan untuk menanti, maka seseorang
lelaki yang datang menjemputku dengan cara yang bermartabat, adalah lelaki
terbaik bagiku. Dialah yang akan menyelamatkanku dari ketidakpastian yang
menyiksa.
“Hei
Ibu,” tutur Bimo, seperti meledek, saat prosesi lamaran ayahnya terhadapku, telah
usai.
Aku
membalasnya dengan sikap biasa.
Kini,
aku merasa beruntung, sebab aku dan Bimo tidak pernah berbicara soal perasaan masing-masing.
Aku yakin, segenap perasaan terpendamku padanya, akan pudar seiring waktu.
Lanyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar