Akhir-akhir
ini, Faiz sering kesal kala menonton televisi. Pensiunan pegawai negeri sipil yang
dahulu bekerja sebagai guru PPKn di SMA itu, muak menyaksikan berita tentang perilaku
bobrok para pejabat negara. Kenyataan itu jelas membuatnya risau sebagai mantan
abdi negara. Ia khawatir, negara ini akan sampai di penghujung usianya beberapa
waktu ke depan.
Sambil
bersandar di kursi sofa yang empuk, ia pun menggonta-ganti siaran. Mencari tayangan
berita yang bisa membangkitkan optimisme untuk masa depan bangsa dan negara. Tapi
tak ada. Semua berita hanya menayangkan laku kriminalitas jalanan, hingga
kejahatan kerah putih semacam laku korupsi dan kongkalikong penguasa dengan
pengusaha. Sialnya, selain tayangan berita, hanya ada hiburan murahan yang
melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa. Serba impor.
Akhirnya,
ia memilih untuk menyaksikan kembali tayangan kasus-kasus korupsi pada salah
satu stasiun televisi swasta. Ia terpaksa mengabikan kesan kalau stasiun televisi
itu, telah berafiliasi dengan partai tertentu. Dipikirnya, semua media telah
dikontrak sebagai corong politik. Kasus perbuatan tercela oknum pejabat yang
disiarkan stasiun televisi lain, dirasanya lebih tak menarik, lebih sarat dengan
kepentingan politik.
Kembali,
Faiz terperangkap lagi dalam ruang kaca yang menggugah perasaan jengkel. Masih
masalah korupsi. Kali ini, perasaannya tersentak menyaksikan kabar bahwa tokoh nasional
yang selama ini terkenal bersih, diduga terlibat kasus korupsi. Beruntung, atas semua citra
baik dan buruk yang disaksikannya di layar kaca, ia telah menekankan kepada
anak semata wayangnya agar sabar dan teguh di jalan yang dibenarkan, demi nama baik
keluarga.
“Bapak
kok menggerutu sendiri. Kalau benci melihat koruptor, ya berhenti tonton
berita, Pak. Toh, koruptor di layar televisi, hanya segelintir dari anak
bangsa. Bapak kan tahu sendiri, berita semacam korupsi, selalu punya nilai jual
tinggi menurut sudut pandang media,” saran istrinya, Sumarni, sembari menyuguhkan
kopi dan duduk di sampingnya.
“Bukan
korupsinya yang aku sesalkan, Bu, tapi niat baik dari para oknum yang menamakan
diri mendukung pemberantasan korupsi. Aku melihat, korupsi tak lagi ditindak
secara hukum untuk diberantas, tapi dijadikan bahan untuk menjatuhkan nama baik
seseorang dan koleganya.Lagi-lagi soal kepentingan politik,” keluh Faiz, sambil mengaduk segelas kopi di depannya.
Sumarni
hanya terdiam. Matanya menyorot layar kaca. Sebagaimana suaminya, ia jelas
kaget menyaksikan berita terbaru tentang kasus korupsi yang menyeret nama seorang
tokoh besar bangsa.
Faiz
semakin kesal. “Entah siapa lagi yang patut dipercaya. Di stasiun televisi yang
lain, yang dianggap pahlawan bangsa, malah dibombardir dengan isu tak sedap.
Pencemaran nama baiklah, perbuatan tercelahlah, bahkan urusan keluarga, juga
dijadikan senjata para preman politik.”
“Ya,
begitulah masalah di bangsa kita, Pak. Lebih suka menguak kejelekan ketimbang
kebaikan orang lain.” Sumarni terkesan setuju.
Faiz
mengangguk-angguk mendengar pendapat istrinya. “Tapi mungkin juga karena yang
diangkat jadi pengurus negara, memang bukanlah orang yang layak. Mereka jadi
pejabat, bukan karena kemampuan dan integritasnya, tapi karena kecipratan jatah
politik.”
“Ada benarnya, Pak,” kata Sumarni.
“Nah,
kalau ketahuan kerjanya tak beres, diseranglah oleh lawan politik dengan pasal-pasal
pidana. Nama baiknya dirusak,” sambung Faiz. Ia lalu menuturkan kesimpulannya, “Kalau aku
pikir-pikir, sebab dari semua masalah bangsa adalah kolusi dan nepotisme.
Jadinya, orang yang dikatakan pejabat, malah mementingkan urusan keluarga dan
kerabatnya ketimbang mengurus semua masyarakat secara adil.”
Belum sempat menanggapi kesimpulan sang suami, telepon berdering. Sumarni pun bergegas memberikan
jawaban kepada si penelepon. Menjauh dari suaminya yang masih saja menonton
dengan perasaan benci.
Tak
lama berselang, Sumarni menghampiri suaminya kembali. Ia mendekat dengan rona
wajah yang berseri-seri. Ada kabar baik yang baru saja didengarnya di ujung
telepon.
“Ibu
kok senyam-senyum. Ada apa?” tanya Faiz.
“Dimas,
putra kita. Dia lulus, Pak!” seru Sumarni. Ia baru saja menerima kabar dari
anaknya yang dinyatakan lulus sebagai karyawan di salah satu perusahaan migas
milik negara.
Faiz
tak henti mengucapkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. “Syukurlah, Bu. Aku
benar-benar tak menyangka ia bisa bersaing dengan pelamar lain yang jumlahnya
ribuan orang.”
Sumarni
masih terlihat semringah. “Kurasa semua itu karena kebaikan hati Pak Catur,
saudara tiriku, Pak. Aku pernah menghubunginya untuk memberikan bantuan kepada
anak kita. Sesegera mungkin, kita harus berterima kasih padanya.”
Seketika,
raut wajah Faiz menjadi muram. “Ibu bilang apa? Jadi Dimas lulus melalui jalur
tikus?” tanyanya, setengah membentak.
“Jalur
tikus bagaimana, Pak. Saya kan cuma meminta tolong pada saudara sendiri. Kalau
dibantu, ya apa salahnya. Toh ini juga demi anak kita. Bapak tahu sendiri,
Dimas telah menganggur empat tahun selepas sarjana,” tegas Sumarni.
Raut
wajah Faiz masih menegang. “Aku minta, Ibu jangan cerita kepada siapa pun soal
bagaimana Dimas bisa lulus. Itu aib, Bu. Harga diri dan nama baik keluarga kita
bisa jatuh jika orang-orang tahu."
Sumarni
paham apa maksud sang suami. “Iya, Pak. Tak akan."
Tiba-tiba,
rasa takut Faiz menyeruak. Sorot mata orang-orang seakan membidiknya. Mencari
cela keluarganya untuk diulik di ruang publik. Meski dirinya bukan sosok penting, dan
anaknya juga tak menduduki jabatan stategis, ia tetap khawatir. Ada rahasia
terselubung yang harus ia jaga sepanjang waktu, demi nama baik dan kehormatan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar