Senin, 21 November 2016

Citra Layar Kaca

Akhir-akhir ini, Faiz sering kesal kala menonton televisi. Pensiunan pegawai negeri sipil yang dahulu bekerja sebagai guru PPKn di SMA itu, muak menyaksikan berita tentang perilaku bobrok para pejabat negara. Kenyataan itu jelas membuatnya risau sebagai mantan abdi negara. Ia khawatir, negara ini akan sampai di penghujung usianya beberapa waktu ke depan.
 
Sambil bersandar di kursi sofa yang empuk, ia pun menggonta-ganti siaran. Mencari tayangan berita yang bisa membangkitkan optimisme untuk masa depan bangsa dan negara. Tapi tak ada. Semua berita hanya menayangkan laku kriminalitas jalanan, hingga kejahatan kerah putih semacam laku korupsi dan kongkalikong penguasa dengan pengusaha. Sialnya, selain tayangan berita, hanya ada hiburan murahan yang melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa. Serba impor.

Akhirnya, ia memilih untuk menyaksikan kembali tayangan kasus-kasus korupsi pada salah satu stasiun televisi swasta. Ia terpaksa mengabikan kesan kalau stasiun televisi itu, telah berafiliasi dengan partai tertentu. Dipikirnya, semua media telah dikontrak sebagai corong politik. Kasus perbuatan tercela oknum pejabat yang disiarkan stasiun televisi lain, dirasanya lebih tak menarik, lebih sarat dengan kepentingan politik.

Kembali, Faiz terperangkap lagi dalam ruang kaca yang menggugah perasaan jengkel. Masih masalah korupsi. Kali ini, perasaannya tersentak menyaksikan kabar bahwa tokoh nasional yang selama ini terkenal bersih, diduga terlibat kasus korupsi. Beruntung, atas semua citra baik dan buruk yang disaksikannya di layar kaca, ia telah menekankan kepada anak semata wayangnya agar sabar dan teguh di jalan yang dibenarkan, demi nama baik keluarga. 

“Bapak kok menggerutu sendiri. Kalau benci melihat koruptor, ya berhenti tonton berita, Pak. Toh, koruptor di layar televisi, hanya segelintir dari anak bangsa. Bapak kan tahu sendiri, berita semacam korupsi, selalu punya nilai jual tinggi menurut sudut pandang media,” saran istrinya, Sumarni, sembari menyuguhkan kopi dan duduk di sampingnya.

“Bukan korupsinya yang aku sesalkan, Bu, tapi niat baik dari para oknum yang menamakan diri mendukung pemberantasan korupsi. Aku melihat, korupsi tak lagi ditindak secara hukum untuk diberantas, tapi dijadikan bahan untuk menjatuhkan nama baik seseorang dan koleganya.Lagi-lagi soal kepentingan politik,” keluh Faiz, sambil mengaduk segelas kopi di depannya.

Sumarni hanya terdiam. Matanya menyorot layar kaca. Sebagaimana suaminya, ia jelas kaget menyaksikan berita terbaru tentang kasus korupsi yang menyeret nama seorang tokoh besar bangsa.

Faiz semakin kesal. “Entah siapa lagi yang patut dipercaya. Di stasiun televisi yang lain, yang dianggap pahlawan bangsa, malah dibombardir dengan isu tak sedap. Pencemaran nama baiklah, perbuatan tercelahlah, bahkan urusan keluarga, juga dijadikan senjata para preman politik.”

“Ya, begitulah masalah di bangsa kita, Pak. Lebih suka menguak kejelekan ketimbang kebaikan orang lain.” Sumarni terkesan setuju.

Faiz mengangguk-angguk mendengar pendapat istrinya. “Tapi mungkin juga karena yang diangkat jadi pengurus negara, memang bukanlah orang yang layak. Mereka jadi pejabat, bukan karena kemampuan dan integritasnya, tapi karena kecipratan jatah politik.” 

Ada benarnya, Pak,” kata Sumarni.

“Nah, kalau ketahuan kerjanya tak beres, diseranglah oleh lawan politik dengan pasal-pasal pidana. Nama baiknya dirusak,” sambung Faiz. Ia lalu menuturkan kesimpulannya, “Kalau aku pikir-pikir, sebab dari semua masalah bangsa adalah kolusi dan nepotisme. Jadinya, orang yang dikatakan pejabat, malah mementingkan urusan keluarga dan kerabatnya ketimbang mengurus semua masyarakat secara adil.”

Belum sempat menanggapi kesimpulan sang suami, telepon berdering. Sumarni pun bergegas memberikan jawaban kepada si penelepon. Menjauh dari suaminya yang masih saja menonton dengan perasaan benci.

Tak lama berselang, Sumarni menghampiri suaminya kembali. Ia mendekat dengan rona wajah yang berseri-seri. Ada kabar baik yang baru saja didengarnya di ujung telepon.

“Ibu kok senyam-senyum. Ada apa?” tanya Faiz.

“Dimas, putra kita. Dia lulus, Pak!” seru Sumarni. Ia baru saja menerima kabar dari anaknya yang dinyatakan lulus sebagai karyawan di salah satu perusahaan migas milik negara.

Faiz tak henti mengucapkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. “Syukurlah, Bu. Aku benar-benar tak menyangka ia bisa bersaing dengan pelamar lain yang jumlahnya ribuan orang.”

Sumarni masih terlihat semringah. “Kurasa semua itu karena kebaikan hati Pak Catur, saudara tiriku, Pak. Aku pernah menghubunginya untuk memberikan bantuan kepada anak kita. Sesegera mungkin, kita harus berterima kasih padanya.” 

Seketika, raut wajah Faiz menjadi muram. “Ibu bilang apa? Jadi Dimas lulus melalui jalur tikus?” tanyanya, setengah membentak.

“Jalur tikus bagaimana, Pak. Saya kan cuma meminta tolong pada saudara sendiri. Kalau dibantu, ya apa salahnya. Toh ini juga demi anak kita. Bapak tahu sendiri, Dimas telah menganggur empat tahun selepas sarjana,” tegas Sumarni.

Raut wajah Faiz masih menegang. “Aku minta, Ibu jangan cerita kepada siapa pun soal bagaimana Dimas bisa lulus. Itu aib, Bu. Harga diri dan nama baik keluarga kita bisa jatuh jika orang-orang tahu."

Sumarni paham apa maksud sang suami. “Iya, Pak. Tak akan."

Tiba-tiba, rasa takut Faiz menyeruak. Sorot mata orang-orang seakan membidiknya. Mencari cela keluarganya untuk diulik di ruang publik. Meski dirinya bukan sosok penting, dan anaknya juga tak menduduki jabatan stategis, ia tetap khawatir. Ada rahasia terselubung yang harus ia jaga sepanjang waktu, demi nama baik dan kehormatan keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar