Rabu, 30 November 2016

Putri Malu dan Bunga Tidur

Petuah tak bertuan menyatakan kalau perbedaan adalah sebab dua hal menyatu. Tanpa perbedaan, semua akan bercerai-berai. Perbedaanlah yang membuat sesuatu saling mengait, lalu terhubung dalam aksi-reaksi. Menjadi hidup. Termasuk juga dalam persoalan cinta. Tapi kita tidak. Cara pandang kita sama.
 
Atas banyak alasan, awalnya, aku mencemaskan tentang akhir rahasia batin kita. Selalu saja muncul keraguanku jika kita akan bersama. Apalagi, kita sependapat tentang cara mencintai. Walaupun jelas perasaanku dan perasaanmu saling berbalas, kita sama-sama tak punya nyali untuk menyatakannya. Kita saling mendiamkan.

Kesamaan cara pandang kita, jelas membuatku khawatir. Aku cemas jika suatu waktu kau mengakhiri harapan kita tanpa mencoba memulai. Menampik perasaanmu sendiri, tanpa pernah meminta jawaban dariku. Kala aku masih menanti, kau malah berpaling ke lain hati. Jika begitu jadinya, kecewalah aku diciptakan sebagai perempuan. 

Tentang perasaan kita, jelas aku tak menduga-duga. Isyarat darimu, membuatku yakin. Masih kuingat jelas kala suatu hari, kau menumpang di angkutan kota yang sama denganku. Kukira, itu kedokmu saja, sebab kau jelas mengendarai motor pergi-pulang kampus. Tujuanmu pastilah untuk memulai pendekatan denganku secara bermartabat.

Pada hari selanjutnya, kau malah terlihat mengobrol dengan ayahku, saat ia menjemputku sepulang kuliah. Dari kejauhan, kulihat obrolan kalian, hangat. Aku jelas penasaran. Tapi saat menyadari kedatanganku, kau malah pamit, lalu pergi menjauh. Dan kuyakini saja, bahwa kau tengah memulai cara yang jitu untuk menyatakan perasaanmu padaku. 

Sampai akhirnya, ketakutanku berubah jadi keyakinan. Kau menyatakan cinta padaku, melalui cara yang selama ini aku inginkan. Kau pun mengisahkannya kembali kala kita tengah mengobrol di pelataran belakang rumah kita, sambil memandangi hamparan alam dan segenap penghuninya.

Sambil meneguk seduhan teh, kau memulai pengakuanmu. “Dahulu, aku sangat khawatir jikalau kita tak ditakdirkan bersama.”

Jelas saja, penuturanmu itu membuatku tenang. Semakin kutegaskan kalau kau tak mencintaiku secara tiba-tiba, apalagi terpaksa. “Aku juga,” jawabku seadanya. Aku ingin jadi pusat pembahasan kita kali ini.

Kau menatapku sambil tersenyum. “Pasti kau tak tahu, aku sengaja beberapa kali se-angkot denganmu dahulu. Sekadar ingin tahu saja tempat tinggalmu. Ya, supaya aku tahu jalan untuk lebih dekat dengan lingkungan keluargamu, terutama Ayahmu.”

“Aku tahu. Makanya, kau sering berbelanja di warungku saat lelah berlari sore di taman kota, tepat di samping rumahku, kan? Kau memang penguntit yang handal!” serangku, sengaja terkesan menebak-nebak.

Kau tertawa pendek, lalu menggenggam tanganku. Rasa hangat karenanya, menepis hawa dingin yang dibawa pagi. “Kau pasti masih ingat kebiasaanku mengobrol dengan Ayahmu di parkiran kampus, kala menunggu kau sepulang kuliah. Kau pernah menerima pesanku darinya kan?”

“Apa?” tanyaku.

“Sebuah boneka beruang, kecil. Aku sengaja berbohong pada Ayahmu kalau boneka itu, jatuh dari tasmu. Kulekatkanlah sebuah kunci di gantungannya, agar Ayahmu tak berpikir macam-macam,” akumu lagi.

Aku tertawa pendek. Merasa terharu membayangkan perjuanganmu di masa itu. “Awalnya, aku sempat menduga ada orang yang salah maksud. Hampir saja aku membuangnya di tempat sampah. Tapi akhirnya, aku melihat ukiran angka 11 melengket padanya. Maka kuyakinilah, itu memang untukku.”

“Ya, aku tahu kau suka angka sebelas. Sungguh senang kurasa, kala melihat boneka itu menggantung di tas ranselmu.” Kau tampak semringah. “Tapi apa benar kau tak tahu itu berasal dariku?”

“Aku tahu, setelah kau menjelaskannya saat ini,” balasku, berusaha jual mahal, meski semua itu telah menjadi kenangan.

Kau tersenyum pendek, lalu terdiam beberapa detik. Pandanganmu mengarah ke depan, pada seberkas embun di bukit sebelah. “Tapi, ada hal yang belum kau tahu. Aku telah mencuri banyak hal darimu secara diam-diam. Aku takut berdosa.” 

“Apa?” tanyaku, berlagak manja.

“Aku sering membayangkan tentangmu. Mempermainkanmu dalam mimpiku." Kau menoleh padaku. "Aku mohon, maafkan aku.”

Penuturanmu kali ini, terkesan seperti lelucon. “Kenapa harus meminta maaf? Kupikir itu bukan masalah.”

Mimikmu tampak serius. Kau menatap mataku dalam-dalam. “Karena aku mencintaimu kala belum saatnya.”

Aku tersentuh dengan cara pendangmu. Aku pun mengangguk, lalu terjatuh di pelukanmu. “Kau tak perlu meminta maaf. Kalaupun itu adalah dosa, kau telah menghapusnya dengan cinta yang sesungguhnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar