Petuah
tak bertuan menyatakan kalau perbedaan adalah sebab dua hal menyatu. Tanpa
perbedaan, semua akan bercerai-berai. Perbedaanlah yang membuat sesuatu saling mengait,
lalu terhubung dalam aksi-reaksi. Menjadi hidup. Termasuk juga dalam persoalan
cinta. Tapi kita tidak. Cara pandang kita sama.
Atas
banyak alasan, awalnya, aku mencemaskan tentang akhir rahasia batin kita.
Selalu saja muncul keraguanku jika kita akan bersama. Apalagi, kita sependapat
tentang cara mencintai. Walaupun jelas perasaanku dan perasaanmu saling
berbalas, kita sama-sama tak punya nyali untuk menyatakannya. Kita saling
mendiamkan.
Kesamaan
cara pandang kita, jelas membuatku khawatir. Aku cemas jika suatu waktu kau
mengakhiri harapan kita tanpa mencoba memulai. Menampik perasaanmu sendiri,
tanpa pernah meminta jawaban dariku. Kala aku masih menanti, kau malah
berpaling ke lain hati. Jika begitu jadinya, kecewalah aku diciptakan sebagai
perempuan.
Tentang
perasaan kita, jelas aku tak menduga-duga. Isyarat darimu, membuatku yakin. Masih
kuingat jelas kala suatu hari, kau menumpang di angkutan kota yang sama
denganku. Kukira, itu kedokmu saja, sebab kau jelas mengendarai motor
pergi-pulang kampus. Tujuanmu pastilah untuk memulai pendekatan denganku secara
bermartabat.
Pada
hari selanjutnya, kau malah terlihat mengobrol dengan ayahku, saat ia menjemputku
sepulang kuliah. Dari kejauhan, kulihat obrolan kalian, hangat. Aku jelas
penasaran. Tapi saat menyadari kedatanganku, kau malah pamit, lalu pergi
menjauh. Dan kuyakini saja, bahwa kau tengah memulai cara yang jitu untuk
menyatakan perasaanmu padaku.
Sampai
akhirnya, ketakutanku berubah jadi keyakinan. Kau menyatakan cinta padaku,
melalui cara yang selama ini aku inginkan. Kau pun mengisahkannya kembali kala
kita tengah mengobrol di pelataran belakang rumah kita, sambil memandangi
hamparan alam dan segenap penghuninya.
Sambil
meneguk seduhan teh, kau memulai pengakuanmu. “Dahulu, aku sangat khawatir jikalau
kita tak ditakdirkan bersama.”
Jelas
saja, penuturanmu itu membuatku tenang. Semakin kutegaskan kalau kau tak
mencintaiku secara tiba-tiba, apalagi terpaksa. “Aku juga,” jawabku seadanya.
Aku ingin jadi pusat pembahasan kita kali ini.
Kau
menatapku sambil tersenyum. “Pasti kau tak tahu, aku sengaja beberapa kali se-angkot denganmu dahulu. Sekadar ingin
tahu saja tempat tinggalmu. Ya, supaya aku tahu jalan untuk lebih
dekat dengan lingkungan keluargamu, terutama Ayahmu.”
“Aku
tahu. Makanya, kau sering berbelanja di warungku saat lelah berlari sore di taman
kota, tepat di samping rumahku, kan? Kau memang penguntit yang handal!”
serangku, sengaja terkesan menebak-nebak.
Kau
tertawa pendek, lalu menggenggam tanganku. Rasa hangat karenanya, menepis hawa
dingin yang dibawa pagi. “Kau pasti masih ingat kebiasaanku mengobrol dengan
Ayahmu di parkiran kampus, kala menunggu kau sepulang kuliah. Kau pernah
menerima pesanku darinya kan?”
“Apa?”
tanyaku.
“Sebuah
boneka beruang, kecil. Aku sengaja berbohong pada Ayahmu kalau boneka itu,
jatuh dari tasmu. Kulekatkanlah sebuah kunci di gantungannya, agar Ayahmu tak
berpikir macam-macam,” akumu lagi.
Aku
tertawa pendek. Merasa terharu membayangkan perjuanganmu di masa itu. “Awalnya,
aku sempat menduga ada orang yang salah maksud. Hampir saja aku membuangnya di
tempat sampah. Tapi akhirnya, aku melihat ukiran angka 11 melengket padanya.
Maka kuyakinilah, itu memang untukku.”
“Ya,
aku tahu kau suka angka sebelas. Sungguh senang kurasa, kala melihat boneka itu
menggantung di tas ranselmu.” Kau tampak semringah. “Tapi apa benar kau tak
tahu itu berasal dariku?”
“Aku
tahu, setelah kau menjelaskannya saat ini,” balasku, berusaha jual mahal, meski
semua itu telah menjadi kenangan.
Kau
tersenyum pendek, lalu terdiam beberapa detik. Pandanganmu mengarah ke depan,
pada seberkas embun di bukit sebelah. “Tapi, ada hal yang belum kau tahu. Aku
telah mencuri banyak hal darimu secara diam-diam. Aku takut berdosa.”
“Apa?”
tanyaku, berlagak manja.
“Aku sering membayangkan tentangmu. Mempermainkanmu dalam
mimpiku." Kau
menoleh padaku. "Aku mohon, maafkan aku.”
Penuturanmu
kali ini, terkesan seperti lelucon. “Kenapa harus meminta maaf? Kupikir itu
bukan masalah.”
Mimikmu
tampak serius. Kau menatap mataku dalam-dalam. “Karena aku mencintaimu kala
belum saatnya.”
Aku
tersentuh dengan cara pendangmu. Aku pun mengangguk, lalu terjatuh di
pelukanmu. “Kau tak perlu meminta maaf. Kalaupun itu adalah dosa, kau telah
menghapusnya dengan cinta yang sesungguhnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar