Selasa, 22 November 2016

Putri dan Raja

Aku merasa berdosa telah membuat ayahku cemas di usia senjanya. Saat raganya mulai merapuh, aku belum juga mendapatkan pendamping hidup. Aku yakin, dia pasti khawatir kalau Tuhan memanggilnya tiba-tiba, di saat belum ada seseorang pun yang hadir menggantikan posisinya, sebagai pelindungku.
 
Memang, hanya ayah tumpuan hidupku  selama ini. Pada dirinyalah kusandarkan segala keluh-kesahku tantang dunia. Dialah yang membimbingku menjadi seorang perempuan yang ideal. Mendidikku menjadi pribadi yang cantik dan cerdas. Katanya, aku harus jadi seperti ibu, sosok yang tak sedikitpun kutahu bentuk wajahnya.

Ayah bak seorang raja yang ditinggal mati sang ratu. Akulah putrinya. Ia tentu berharap aku melahirkan generasi untuknya. Menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucunya kelak. Karena itulah, ia selalu mewanti-wanti agar aku mawas dalam bergaul. Bahkan, ia pernah memesankan agar aku jangan mau diperdaya rayuan manis seorang lelaki.

Sikap proteksionis ayah terhadapku, bukan tanpa alasan. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, ia pasti menginginkan putrinya bersanding dengan lelaki yang bertanggung jawab pula. Aku masih ingat, ia pernah memarahi seorang teman dekatku di kampus karena kami kelewat dekat, menurutnya.

Hari ini, setelah ia keluar dari rumah sakit untuk ketiga kalinya karena penyakit jantung, di pelataran rumah yang lengang, kami mengobrol tentang masa depanku yang belum jelas.

“Maafkan aku Ayah. Sampai saat ini, aku belum mempersembahkan cucu untuk Ayah,” tuturku, memecah keheningan suasana.

Ia pun melipat dan meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya. “Airin, anakku, jangan risaukan itu lagi. Aku tak pernah memberimu target, atau sekadar memaksamu menikah sebelum aku pergi untuk selama-lamanya. Mauku sederhanya saja. Aku hanya ingin kau menikah dengan lelaki yang tepat, meski tanpa kehadiranku.”

Jawabannya jelas membuat bebanku sedikit berkurang.

“Berperangai baiklah seperti Ibumu. Dia adalah perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Dengan begitu, aku yakin, kelak, kau akan dipertemukan dengan seorang lelaki yang baik juga,” tuturnya dengan bola mata yang berkaca-kaca.

“Lelaki seperti apa yang Ayah maksud?” tanyaku.

Ia menoleh padaku. Memandangiku lekat-lekat. “Lelaki yang tak bermaksud mempermainkanmu. Lelaki yang gagah-berani menemuiku dengan hormat, lalu meminta agar aku merestuinya bersanding denganmu. Tak perlu fisik rupawan dan materi melimpah, yang penting ia berbudi luhur.”

Aku tak kuasa membalasnya.

Kini, aku paham maksud di balik sikap tegas Ayah dalam mengatur pergaulanku. Dari rangkaian kisah yang kujalani tanpa sepengetahuannya, termasuk kesesatanku karena ilusi cinta, kusadari sudah, dialah lelaki terbaik yang pernah kukenal. Dan, aku ingin dipertemukan dan ditakdirkan dengan sosok lelaki sepertinya, atau tidak sama sekali.

***

Sebagai seorang ayah yang ditinggal pergi sosok istri, mengurus seorang anak perempuan, bukanlah perkara mudah. Aku harus mengimajinasikan sendiri nilai-nilai keibuan untuk kutanamkan dalam dirinya. Dari semua pengalaman pahit yang kualami, aku ingin ia menjadi sosok ibu yang baik untuk cucu-cucuku kelak.

Jika kuingat-ingat lagi caraku mendidik anak semata wayangku itu, aku yakin, dia pasti sering kesal atas sikapku yang terlalu keras membatasi pergaulannya. Caraku memang berbeda. Mungkin membuat ia merasa terasing di dunia yang ingar-bingar. Tapi kelak, aku ingin dia memahami, bahwa semua yang kulakukan, demi untuk dirinya dan generasi penerusku.

Aku tak pernah mengada-ada soal bagaimana kriteria lelaki yang baik. Sebagai seorang lelaki, aku tahu betul bagaimana kaum adam memandang seorang perempuan. Karena terperdaya kecantikan, lelaki mudah saja mengumbar gombalan. Dan aku takut jika putriku jatuh dipelukan seorang lelaki yang tak setia dan tak bertanggung jawab. 

Sekali lagi, aku ingin putriku menjadi seorang perempuan yang baik, agar kelak, ia dipersunting lelaki yang baik. Aku ingin ia hidup dalam keluarga kecil yang harmonis. Itu bukan soal putriku saja. Lebih lagi, aku tak ingin cucu-cucuku kelak memiliki kepribadian yang pincang karena ketiadaan kasih-sayang dari sosok ibu atau ayah. Aku tak ingin itu terjadi.

“Ayah, ceritakan padaku tentang sosok Ibu,” pinta Airin, anakku.

Dengan antusias, aku menguraikannya. “Matanya bulat sepertimu. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya mancung. Dia mirip denganmu, sosok yang cantik, cerdas, dan menyenangkan,” tuturku.

Ia menerawang dalam benaknya. Seperti berusaha mengonstruksikan sebuah wajah berdasarkan penggambaranku. “Apa hal terbaik yang Ayah suka dari Ibu?” tanyanya lagi.

Aku terdiam beberapa saat. Dengan berat, aku mengungkapkan rahasia terbesar yang selama ini kupendam. “Dia sosok yang setia. Ia menerima bagaimana pun keadaanku sebagai suaminya.” Seiring itu, air mataku menetes.  

Ia tampak terenyuh mendengar penuturanku. Tak lama kemudian, ia terisak. Senyum yang serupa milik mantan istriku, tersamar di wajahnya.

Aku memeluknya erat. “Jadilah istri yang setia untuk suamimu kelak,” pintaku.

Ya, masalah kesetiaan istri adalah rahasia terbesarku padanya. Aku tak akan pernah menceritakan kalau ia terlahir dari rahim seorang wanita yang tega meninggalkan kami berdua, saat ia belum bisa mengingat hal-hal penting dalam hidup. Kepergian istriku itu, hanya karena aku sudah tak sekuat, sekaya, dan setampan dahulu, di awal kebersamaan kami.

Sekali lagi, aku tak ingin cucu-cucuku hidup tanpa didikan kedua orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar