Aku
merasa berdosa telah membuat ayahku cemas di usia senjanya. Saat raganya mulai
merapuh, aku belum juga mendapatkan pendamping hidup. Aku yakin, dia pasti
khawatir kalau Tuhan memanggilnya tiba-tiba, di saat belum ada seseorang pun yang
hadir menggantikan posisinya, sebagai pelindungku.
Memang,
hanya ayah tumpuan hidupku selama ini.
Pada dirinyalah kusandarkan segala keluh-kesahku tantang dunia. Dialah yang
membimbingku menjadi seorang perempuan yang ideal. Mendidikku menjadi pribadi
yang cantik dan cerdas. Katanya, aku harus jadi seperti ibu, sosok yang tak
sedikitpun kutahu bentuk wajahnya.
Ayah
bak seorang raja yang ditinggal mati sang ratu. Akulah putrinya. Ia tentu berharap
aku melahirkan generasi untuknya. Menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucunya
kelak. Karena itulah, ia selalu mewanti-wanti agar aku mawas dalam bergaul. Bahkan,
ia pernah memesankan agar aku jangan mau diperdaya rayuan manis seorang lelaki.
Sikap
proteksionis ayah terhadapku, bukan tanpa alasan. Sebagai lelaki yang
bertanggung jawab, ia pasti menginginkan putrinya bersanding dengan lelaki yang
bertanggung jawab pula. Aku masih ingat, ia pernah memarahi seorang teman
dekatku di kampus karena kami kelewat dekat, menurutnya.
Hari
ini, setelah ia keluar dari rumah sakit untuk ketiga kalinya karena penyakit
jantung, di pelataran rumah yang lengang, kami mengobrol tentang masa depanku
yang belum jelas.
“Maafkan
aku Ayah. Sampai saat ini, aku belum mempersembahkan cucu untuk Ayah,” tuturku,
memecah keheningan suasana.
Ia
pun melipat dan meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya. “Airin, anakku, jangan
risaukan itu lagi. Aku tak pernah memberimu target, atau sekadar memaksamu
menikah sebelum aku pergi untuk selama-lamanya. Mauku sederhanya saja. Aku
hanya ingin kau menikah dengan lelaki yang tepat, meski tanpa kehadiranku.”
Jawabannya
jelas membuat bebanku sedikit berkurang.
“Berperangai
baiklah seperti Ibumu. Dia adalah perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Dengan
begitu, aku yakin, kelak, kau akan dipertemukan dengan seorang lelaki yang baik
juga,” tuturnya dengan bola mata yang berkaca-kaca.
“Lelaki
seperti apa yang Ayah maksud?” tanyaku.
Ia
menoleh padaku. Memandangiku lekat-lekat. “Lelaki yang tak bermaksud
mempermainkanmu. Lelaki yang gagah-berani menemuiku dengan hormat, lalu meminta
agar aku merestuinya bersanding denganmu. Tak perlu fisik rupawan dan materi melimpah,
yang penting ia berbudi luhur.”
Aku
tak kuasa membalasnya.
Kini,
aku paham maksud di balik sikap tegas Ayah dalam mengatur pergaulanku. Dari rangkaian
kisah yang kujalani tanpa sepengetahuannya, termasuk kesesatanku karena ilusi
cinta, kusadari sudah, dialah lelaki terbaik yang pernah kukenal. Dan, aku ingin
dipertemukan dan ditakdirkan dengan sosok lelaki sepertinya, atau tidak sama
sekali.
***
Sebagai
seorang ayah yang ditinggal pergi sosok istri, mengurus seorang anak perempuan,
bukanlah perkara mudah. Aku harus mengimajinasikan sendiri nilai-nilai keibuan
untuk kutanamkan dalam dirinya. Dari semua pengalaman pahit yang kualami, aku
ingin ia menjadi sosok ibu yang baik untuk cucu-cucuku kelak.
Jika
kuingat-ingat lagi caraku mendidik anak semata wayangku itu, aku yakin, dia
pasti sering kesal atas sikapku yang terlalu keras membatasi pergaulannya. Caraku
memang berbeda. Mungkin membuat ia merasa terasing di dunia yang ingar-bingar.
Tapi kelak, aku ingin dia memahami, bahwa semua yang kulakukan, demi untuk
dirinya dan generasi penerusku.
Aku
tak pernah mengada-ada soal bagaimana kriteria lelaki yang baik. Sebagai
seorang lelaki, aku tahu betul bagaimana kaum adam memandang seorang perempuan.
Karena terperdaya kecantikan, lelaki mudah saja mengumbar gombalan. Dan aku
takut jika putriku jatuh dipelukan seorang lelaki yang tak setia dan tak
bertanggung jawab.
Sekali
lagi, aku ingin putriku menjadi seorang perempuan yang baik, agar kelak, ia dipersunting
lelaki yang baik. Aku ingin ia hidup dalam keluarga kecil yang harmonis. Itu
bukan soal putriku saja. Lebih lagi, aku tak ingin cucu-cucuku kelak memiliki
kepribadian yang pincang karena ketiadaan kasih-sayang dari sosok ibu atau
ayah. Aku tak ingin itu terjadi.
“Ayah,
ceritakan padaku tentang sosok Ibu,” pinta Airin, anakku.
Dengan
antusias, aku menguraikannya. “Matanya bulat sepertimu. Kulitnya kuning
langsat. Hidungnya mancung. Dia mirip denganmu, sosok yang cantik, cerdas, dan
menyenangkan,” tuturku.
Ia
menerawang dalam benaknya. Seperti berusaha mengonstruksikan sebuah wajah
berdasarkan penggambaranku. “Apa hal terbaik yang Ayah suka dari Ibu?” tanyanya
lagi.
Aku
terdiam beberapa saat. Dengan berat, aku mengungkapkan rahasia terbesar yang
selama ini kupendam. “Dia sosok yang setia. Ia menerima bagaimana pun keadaanku
sebagai suaminya.” Seiring itu, air mataku menetes.
Ia
tampak terenyuh mendengar penuturanku. Tak lama kemudian, ia terisak. Senyum yang
serupa milik mantan istriku, tersamar di wajahnya.
Aku
memeluknya erat. “Jadilah istri yang setia untuk suamimu kelak,” pintaku.
Ya,
masalah kesetiaan istri adalah rahasia terbesarku padanya. Aku tak akan pernah
menceritakan kalau ia terlahir dari rahim seorang wanita yang tega meninggalkan
kami berdua, saat ia belum bisa mengingat hal-hal penting dalam hidup. Kepergian istriku
itu, hanya karena aku sudah tak sekuat, sekaya, dan setampan dahulu, di awal
kebersamaan kami.
Sekali
lagi, aku tak ingin cucu-cucuku hidup tanpa didikan kedua orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar