Sabtu, 13 Maret 2021

Maring

Leon kembali bertandang di sebuah warung makan favoritnya, di tepi kompleks terminal. Seperti sebelumnya, setiap kali akan pulang ke kampung di tengah libur kerjanya sebagai karyawan swasta, ia akan mengisi perutnya di warung itu sebelum berangkat dengan mobil sewa tumpangannya.

Seketika saja, di tengah makan, ia teringat lagi pada peristiwa yang terjadi setahun yang lalu. Saat itu, ketika hendak mengambil uang untuk membayar tagihan makanannya, tiba-tiba, dompet di dalam kantongnya hilang. Ia  pun jadi kelimpungan dan segera mengecek keadaan di sekitarnya.

Sontak, teman semeja makannya menoleh. “Ada apa, Pak?” tanya lelaki dengan jaket kulit dan topi hitam itu.

“Dompetku hilang,” jawab Leon.

Lelaki itu pun tampak terkejut. “Bagaimana bisa?”

“Aku sendiri tidak tahu, Pak,” bingung Leon, dengan sikap kalang-kabut. “Padahal, tadi, aku masih memegang dompet itu saat membeli buah-buahan di kios sebelah.”

Lelaki itu lantas menenggak air putih dan mengelap tangannya dengan tisu, seperti telah menandaskan santapannya. “Tenang, Pak. Sebaiknya, Bapak ingat-ingatlah dulu, kemudian kembali mengunjungi tempat-tempat persinggahan Bapak sebelum ke sini. Siapa tahu, Bapak menemukan dompet itu di suatu tempat.”

Leon masih tampak bingung. “Tetapi, bagaimana ini?” tanyanya, sambil menuding pada menu lengkap yang telah habis ia santap.

Lelaki itu pun tersenyum. “Biar aku yang talangi, Pak.”

Namun Leon merasa tidak enak hati, “Tetapi…”

“Tak apa-apa, Pak. Izinkan aku beramal,” sela lelaki itu seketika.

Leon pun mengangguk pasrah.

Akhirnya, mereka berdua keluar dari warung itu setelah sang lelaki menyelesaikan urusan pembayaran.

Namun sebelum benar-benar berpisah arah untuk tujuan masing-masing, mereka pun berkenalan secara singkat. Dari penuturannya, Leon lantas mengenal lelaki itu dengan nama Maring, yang bekerja sebagai kernet.

Atas peristiwa itu, Leon masih terus mengingat Maring. Lima bulan yang lalu, ketika ia kembali berada di terminal untuk pulang berlebaran di kampung, ia pun mengecek-ngecek pangkalan mobil semua jurusan, tempat Maring kemungkinan berada sebagai kernet, tetapi ia tak menemukannya.

Sampai kini, Leon sangat ingin bertemu dengan Maring. Ia merasa berutang budi dan sangat ingin membalas. Ia ingin mengembalikan pemberian Maring berkali-kali lipat, sebab ia menyadari bahwa Maring yang seorang kernet, jelas tak lebih baik daripada dirinya dalam soal keuangan.

Demi niat besarnya, selepas makan, Leon pun segera menuju ke kasir untuk membayar tagihannya, sebelum kembali berjalan-jalan di lingkungan terminal untuk mencari-cari keberadaan Maring.

“Eh, kau mengenal seorang kernet bernama Maring?” tanya Leon pada perempuan muda, anak pemilik warung yang bertindak sebagai kasir.

Gadis itu menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa, Om Cadel,” tanyanya balik, dengan sapaan akrab untuk Leon yang ketika mengeja huruf R, lebih terdengar sebagai huruf L.

“Aku punya urusan dengannya. Urusan orang dewasa. Kau tak pantas tahu,” balas Leon, bercanda.

Sang gadis mendengkus dengan raut kecewa yang dibuat-buat “Baiklah. Aku mengelti.

Leon pun tertawa gemas, kemudian beranjak ke luar. Ia lalu melangkah ke segala sisi terminal, sambil menilik wajah orang-orang di setiap pangkalan demi menemukan Maring. Namun sejauh langkahnya, ia tak juga menemukan lelaki bertubuh kurus dan berambut panjang itu.

Sampai akhirnya, pencariannya menjeda sementara waktu setelah ia singgah di sebuah warung untuk membeli minuman, lantas menemukan seorang perempuan tua di sampingnya tampak berkitar-kitar sambari menunduk-menyorot sekitar tapakannya.

“Ibu cari apa?” tanya Leon.

Perempuan itu pun mengangkat wajah bingungnya. “Dompetku hilang, Nak.”

Dengen perasaan prihatin, Leon turut melihat-lihat ke segala sisi untuk mencari keberadaan dompet tersebut.

Lalu tanpa terduga, sudut matanya menangkap wajah Maring. Ia sontak melangkah ke arah Maring, tanpa peduli lagi pada kemalangan sang perempuan tua.

Tetapi langkah Maring yang tampak terburu-buru, akhirnya membuat ia terpaksa berseru, “Maring! Maring! Hai, Maring!”

Bukannya berhenti, Maring malah mempercepat langkahnya.

Beberapa orang pun tampak mendekati Maring, dan ia menduga kalau orang-orang itu ingin memberikan penjelasan kepada Maring bahwa ia sedang memanggilnya.

“Maring…! Maring…!” seru Leon lagi, semakin keras, dengan langkah setengah berlari, tanpa kesadaran sedikit pun bahwa atas pelafalannya yang cadel, seruannya itu akan terdengar sebagai kata “maling” di telinga orang-orang.

Sampai akhirnya, orang-orang mengerumuni Maring. Dan tanpa meminta penjelasan, beberapa orang lalu menghantam Maring dengan pukulan dan tendangan.

Leon pun terperanjat, lantas tersadar atas kekeliruannya.

Tetapi keadaan sudah terlanjur.

Akhirnya, terdengarlah kalimat-kalimat dakwaan dari mulut orang-orang:

“Maling sialan!”

“Geledeh dia!”

“Kasih pelajaran sebelum diserahkan ke polisi, biar kapok!”

“Berhenti, Pak! Berhenti!” seru Leon, sambil menyeruak dalam kerumunan massa untuk menyelamatkan Maring dari amukan. Tetapi, suaranya sama sekali tidak jelas di antara sumpah-sumpah serapah.

“Ini dompetmu? Iya? Jadi, namamu Sumiati? Kau perempuan?” sidik seseorang di antara massa.

Perempuan tua yang baru saja kehilangan dompet, kemudian berseru keras, “Pak, aku Sumiati! Itu dompetku!”

Sontak, perasaan Leon tersentak atas kebetulan yang telah terjadi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar