Minggu, 23 September 2018

Benih-Benih yang Harus Dibunuh

Ruang-ruang sekolah terdengar riuh. Seketika setelah jam pelajaran berakhir, para murid menyeruak ke luar kelas dengan riang-gembira. Mereka tampak berceloteh dengan teman sepermainan mereka sembari pulang bersama-sama. Mereka menempuh jalan dengan cara yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang berjalan kaki, menumpang angkutan umum, atau dijemput pihak keluarga.
 
Ardin yang tinggal di rumah yang berjarak jauh dengan sekolah, senantiasa menunggu jemputan ayahnya setelah jam pelajaran berakhir. Seringkali, ia hanya akan menunggu di gerbang sekolah kala teman-temannya menghilang satu per satu, sampai ayahnya datang menjemput. Tapi belakangan ini, ia mulai terbiasa menumpang di mobil jemputan seorang teman perempuannya, Alma, tanpa rasa sungkan sama sekali.

Aku turut merasa senang melihat kedekatan Ardin dan Alma sebagai dua orang sahabat baik. Sebagai wali kelas mereka sejak kelas I hingga kelas VI sekolah dasar, aku melihat mereka saling memberi pengaruh yang positif. Mereka sama-sama cerdas dan berbudi baik. Mereka tak pernah berbuat onar dan selalu berada dalam ranking lima besar di kelasnya. Dan karena itu, orang tua mereka senantiasa menyampaikan rasa bangganya kepadaku.

Sedari awal, aku memang mempunyai perhatian khusus kepada Ardin dan Alma. Apalagi, kedua orang tua mereka telah mengamanahkan agar aku dapat menciptakan keakraban di antara mereka. Sebab itulah, aku selalu menciptakan kondisi yang mendukung untuk merekatkan kebersamaan mereka. Hingga aku pun mendudukkan mereka pada sebuah bangku, sampai memasukkan mereka dalam kelompok kerja yang sama. 

Seperti yang terjadi beberapa kali di waktu belakangan, siang ini, dari kejauhan, aku kembali menyaksikan kedekatan mereka sepulang sekolah. Aku melihat mereka berjalan bersama menuju ke arah mobil Aliah, ibu Alma, yang tengah menunggu di tepi jalan. Mereka berdampingan dengan penuh keceriaan, sambil berpegangan tangan. Mereka beriringan sambil bercakap-cakap tentang perihal yang tak bisa kutebak.

Cerita perkembangan kedekatan antara Ardin dan Alma, selalu menjadi bahan laporanku kepada Armidan, ayah Ardin. Seperti biasa, setiap kali datang ke sekolah untuk mengantar-jempur anaknya, ia akan menanyakan perkembangan persahabatan kedua anak itu. Armidan selalu khawatir kalau terjadi kerenggangan hubungan di antara mereka. Tapi kali ini, dengan sangat yakin, aku akan menginformasikan betapa eratnya kedekatan mereka. Bahkan, saking eratnya, aku malah khawatir atas kedekatan mereka yang terkesan berlebihan, sampai mereka tak peduli lagi kepada orang yang lain. 

Dan akhirnya, datanglah Armidan dengan mengendarai sepeda motor bututnya.  Lekas ia menuju ke arahku dan bertanya, “Ardin mana?”

“Dia ikut ke mobil Ibu Aliah,” jawabku.

Seketika, raut kecemasan di wajahnya, berubah semringah. “Baguslah. Itu sejalan dengan apa yang kita rencanakan.”

Kulayangkan senyuman singkat padanya.

“Kau sendiri tahu, bulan depan kita akan menikah. Dan seperti yang pernah kukatakan, aku ingin keakraban kita dengan keluarga Aliah tidak bersekat lagi. Aku ingin kedua anak itu benar-benar seperti dua orang saudara sebelum kita menjadi sepasang suami-istri,” katanya lagi, seperti yang telah ia ucapkan berulang kali.

“Iya, aku paham. Aku yakin mereka sudah sangat dekat,” kataku, sambil membalut kecemasan dengan senyuman.

Armidan, duda yang akan menikahiku setelah bercerai dengan istrinya karena penentangan orang tua mereka akibat status ekonomi dan sosial yang berbeda, tampak tersenyum bahagia ke arahku. “Aku yakin, kau akan menjadi seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak.”

Aku merasa tersipu atas pujiannya. Tapi lekas kemudian, perasaanku kembali tawar. Aku lalu mempertanyakan sesuatu yang belakangan ini kurasa mengganjal dan membuatku prihatin. “Bukankah sudah saatnya kita menceritakan yang sesungguhnya kepada Ardin dan Alma?”

“Kurasa belum saatnya,” tanggap Armidan. “Mereka pasti masih kebingungan memahami hubungan kekeluargaan. Kalaupun mereka paham, aku khawatir mereka malah bersedih setelah mengetahui kalau aku dan Aliah adalah orang tua mereka yang telah berpisah,” tutur Armidan lagi. Ada keharuan yang tampak di wajahnya. “Nantilah kalau pikiran dan mental mereka sudah siap untuk memahami hubungan kekeluargaan ini, kita akan menceritakan apa yang telah terjadi, sejelas-jelasnya,” kata Armidan.

Aku bisa memahami maksud Armidan, bahkan bersepakat dengannya. Namun tetap saja, aku tak bisa memendam kerisauanku atas hubungan Ardin dan Alma yang begitu erat, “Tapi aku khawatir kalau mereka dekat secara berlebihan tanpa memahami status di antara mereka.”

“Maksudmu?” sergah Armidan.

Aku lalu menyodorkan secarik kertas kepadanya. “Ini tulisan Ardin yang kudapat dari Alma.”

Seketika, Armidan kaget setengah mati setelah membaca secarik surat yang ditulis anaknya dengan tulisan tangan yang indah: Alma, aku mencintaimu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar