Ruang-ruang
sekolah terdengar riuh. Seketika setelah jam pelajaran berakhir, para murid
menyeruak ke luar kelas dengan riang-gembira. Mereka tampak berceloteh dengan
teman sepermainan mereka sembari pulang bersama-sama. Mereka menempuh jalan
dengan cara yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang berjalan kaki,
menumpang angkutan umum, atau dijemput pihak keluarga.
Ardin
yang tinggal di rumah yang berjarak jauh dengan sekolah, senantiasa menunggu
jemputan ayahnya setelah jam pelajaran berakhir. Seringkali, ia hanya akan
menunggu di gerbang sekolah kala teman-temannya menghilang satu per satu,
sampai ayahnya datang menjemput. Tapi belakangan ini, ia mulai terbiasa menumpang
di mobil jemputan seorang teman perempuannya, Alma, tanpa rasa sungkan sama
sekali.
Aku
turut merasa senang melihat kedekatan Ardin dan Alma sebagai dua orang sahabat
baik. Sebagai wali kelas mereka sejak kelas I hingga kelas VI sekolah dasar,
aku melihat mereka saling memberi pengaruh yang positif. Mereka sama-sama
cerdas dan berbudi baik. Mereka tak pernah berbuat onar dan selalu berada dalam
ranking lima besar di kelasnya. Dan karena itu, orang tua mereka senantiasa
menyampaikan rasa bangganya kepadaku.
Sedari
awal, aku memang mempunyai perhatian khusus kepada Ardin dan Alma. Apalagi, kedua
orang tua mereka telah mengamanahkan agar aku dapat menciptakan keakraban di
antara mereka. Sebab itulah, aku selalu menciptakan kondisi yang mendukung
untuk merekatkan kebersamaan mereka. Hingga aku pun mendudukkan mereka pada
sebuah bangku, sampai memasukkan mereka dalam kelompok kerja yang sama.
Seperti
yang terjadi beberapa kali di waktu belakangan, siang ini, dari kejauhan, aku
kembali menyaksikan kedekatan mereka sepulang sekolah. Aku melihat mereka
berjalan bersama menuju ke arah mobil Aliah, ibu Alma, yang tengah menunggu di
tepi jalan. Mereka berdampingan dengan penuh keceriaan, sambil berpegangan
tangan. Mereka beriringan sambil bercakap-cakap tentang perihal yang tak bisa
kutebak.
Cerita
perkembangan kedekatan antara Ardin dan Alma, selalu menjadi bahan laporanku
kepada Armidan, ayah Ardin. Seperti biasa, setiap kali datang ke sekolah untuk
mengantar-jempur anaknya, ia akan menanyakan perkembangan persahabatan kedua
anak itu. Armidan selalu khawatir kalau terjadi kerenggangan hubungan di antara
mereka. Tapi kali ini, dengan sangat yakin, aku akan menginformasikan betapa
eratnya kedekatan mereka. Bahkan, saking eratnya, aku malah khawatir atas
kedekatan mereka yang terkesan berlebihan, sampai mereka tak peduli lagi kepada
orang yang lain.
Dan
akhirnya, datanglah Armidan dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Lekas ia menuju ke arahku dan bertanya,
“Ardin mana?”
“Dia
ikut ke mobil Ibu Aliah,” jawabku.
Seketika,
raut kecemasan di wajahnya, berubah semringah. “Baguslah. Itu sejalan dengan
apa yang kita rencanakan.”
Kulayangkan
senyuman singkat padanya.
“Kau
sendiri tahu, bulan depan kita akan menikah. Dan seperti yang pernah kukatakan,
aku ingin keakraban kita dengan keluarga Aliah tidak bersekat lagi. Aku ingin
kedua anak itu benar-benar seperti dua orang saudara sebelum kita menjadi
sepasang suami-istri,” katanya lagi, seperti yang telah ia ucapkan berulang
kali.
“Iya,
aku paham. Aku yakin mereka sudah sangat dekat,” kataku, sambil membalut
kecemasan dengan senyuman.
Armidan,
duda yang akan menikahiku setelah bercerai dengan istrinya karena penentangan
orang tua mereka akibat status ekonomi dan sosial yang berbeda, tampak
tersenyum bahagia ke arahku. “Aku yakin, kau akan menjadi seorang ibu yang baik
untuk anak-anak kita kelak.”
Aku
merasa tersipu atas pujiannya. Tapi lekas kemudian, perasaanku kembali tawar.
Aku lalu mempertanyakan sesuatu yang belakangan ini kurasa mengganjal dan membuatku
prihatin. “Bukankah sudah saatnya kita menceritakan yang sesungguhnya kepada
Ardin dan Alma?”
“Kurasa
belum saatnya,” tanggap Armidan. “Mereka pasti masih kebingungan memahami
hubungan kekeluargaan. Kalaupun mereka paham, aku khawatir mereka malah bersedih
setelah mengetahui kalau aku dan Aliah adalah orang tua mereka yang telah berpisah,”
tutur Armidan lagi. Ada keharuan yang tampak di wajahnya. “Nantilah kalau
pikiran dan mental mereka sudah siap untuk memahami hubungan kekeluargaan ini,
kita akan menceritakan apa yang telah terjadi, sejelas-jelasnya,” kata Armidan.
Aku
bisa memahami maksud Armidan, bahkan bersepakat dengannya. Namun tetap saja,
aku tak bisa memendam kerisauanku atas hubungan Ardin dan Alma yang begitu
erat, “Tapi aku khawatir kalau mereka dekat secara berlebihan tanpa memahami
status di antara mereka.”
“Maksudmu?”
sergah Armidan.
Aku
lalu menyodorkan secarik kertas kepadanya. “Ini tulisan Ardin yang kudapat dari
Alma.”
Seketika,
Armidan kaget setengah mati setelah membaca secarik surat yang ditulis anaknya dengan
tulisan tangan yang indah: Alma, aku
mencintaimu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar