Kamis, 04 Maret 2021

Pemburu Zaman

Pada satu desa, di atas sebuah rumah panggung, Darni merasa kesepian. Di usia yang nyaris 60 tahun, ia hidup sendiri sebagai seorang janda. Anak laki-laki semata wayangnya telah berkeluarga dan tinggal di kota yang jauh darinya. Meski ia masih bisa berbagi kabar dan cerita dengan sang anak sekeluarga lewat telepon, tetapi ia merasa kalau itu tidak cukup untuk menuntaskan kesepian dan kerinduannya.

Sampai akhirnya, setahun yang lalu, ia membeli sebuah ponsel pintar pada sebuah gerai di dekat pasar. Dengan benda canggih itu, atas pengajaran tetangga dekatnya, seorang perempuan tua yang sepantaran dengannya, ia pun bisa mendengarkan lagu-lagu dan radio untuk membendung kesepiannya. Lantas kemudian, atas bantuan perempuan itu, enam hari yang lalu, ia pun bisa bertatapan langsung dengan sang anak sekeluarga lewat layar ponsel, melalui panggilan video, untuk sedikit meredakan kerinduannya.

“Hai, Nek, apa kabar?” tanya cucu perempuannya di balik layar, setelah menguasai ponsel ayahnya.

Darni pun merasa gemas menyaksikan rupa polos cucunya yang baru duduk di kelas 1 SD. “Baik, Cu. Kau apa kabar?”

“Aku baik-baik saja, Nek,” jawab sang cucu dengan tutur cadel dan senyuman yang menampakkan satu gigi seri atasnya yang ompong. “Oh, ya, Nenek jalan-jalan ke sini, dong. Kami di sini merindukan Nenek. Aku ingin bermain-main bersama Nenek,” katanya kemudian, setelah sang menantu mendiktekan kata-kata padanya.

Sontak, kerinduan Darni pun membuncah. “Aku juga rindu pada kalian, Cu,” katanya. “Tetapi kalau aku ke situ, siapa yang anak menjaga kebun jagung dan ayam-ayamku di sini, Cu?”

Sang cucu lantas mendengus dengan raut kecewa. “Kalau ditinggal sebentar, kan tidak apa-apa, Nek. Kan bisa Nenek titip sebentar ke tetangga,” balasnya, dengan menuruti saran kata-kata dari ayahnya.

Darni pun tertawa bahagia mendengar balasan dari cucunya. Di dalam hati, kerinduannya semakin menderu. Ia jadi sangat ingin bertemu secara langsung. “Kalau begitu, akan aku usahakan untuk berkunjung ke situ, Cu.”

Seketika, raut sang cucu berubah menjadi senang. “Ya. Aku tinggu, ya, Nek.”

“Iya, Cu. Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa, Nek.”

Dan akhirnya, keesokan harinya, Darni pun berkunjung ke rumah anaknya dengan perasaan antusias untuk segera berbagi kisah dan kasih. Ia tak memberitahukan tentang kedatanganya untuk maksud memberikan kejutan. Tetapi setelah sampai, ketika waktu menjelang tengah hari, ia malah mendulang kecewa, sebab yang ia temui hanya seorang perempuan paruh baya, saudari menantunya, yang tinggal bersebelahan dengan rumah tujuannya itu.

Namun Darni memang hanya perlu bersabar. Orang-orang yang ia rindukan belum datang saja. Anaknya masih berada di kantor sebagai seorang staf keuangan sebuah perusahaan swasta. Menantunya pun masih di kantor sebagai dosen berstatus ASN. Sedangkan cucunya masih berada di sekolah. Dalam beberapa jam saja, mereka semua akan pulang ke rumah dan menemuinya dengan sukacita.

Menit demi menit bergulir. Penantian Darni pun terwujud satu per satu. Empat jam kemudian, cucunya datang, dan mereka berdua lantas berbagi pelukan dan cerita pendek. Satu jam berselang, menantunya pun datang, dan mereka berdua meluluhkan kerinduan dengan cara yang sama. Dan akhirnya, setengah jam selanjutnya, anaknya datang, dan mereka berdua kembali melakoni prosesi yang sama seperti sebelumnya.

Tetapi seiring waktu, deru kerinduan mereka perlahan surut setelah menadaskan cerita kehidupan mereka masing-masing. Dalam hitungan jam, seru-seru kegembiraan mereka akhirnya mereda setelah sama-sama kehabisan bahan obrolan. Keadaan pun kembali menjadi biasa, seolah tak ada lagi rindu atas perpisahan mereka selama lebih sembilan bulan. Satu keadaan yang terasa begitu cepat terjadi bagi Darni.

Pada waktu-waktu selanjutnya, suasana pun semakin menjemukan perasaan Darni. Setiap saat, kala mereka semua sedang berada di dalam rumah, mereka tak lagi berhimpun dan bercengkerama secara hangat. Ruang keluarga, atau meja makan, tak menjadi tempat berkumpul dan berbagi cerita untuk menyenangkan waktu. Setelah mengisi perut dan membenahi diri sesuai waktu yang mereka inginkan masing-masing, mereka akan larut dalam aktivitas sendiri-sendiri. Cucunya akan asyik saja memainkan ponsel pintarnya. Anak dan menantunya pun demikian. Sedang ia sendiri akan membunuh kebosanan dengan menonton televisi. Hingga akhirnya, saat malam melarut, mereka akan terpencar ke dalam ruang kamar mereka masing-masing, sampai siang datang untuk kembali terpisah ke dalam ruang aktivitas mereka masing-masing, sampai mereka kembali di bawah atap yang sama untuk melakoni kebersamaan yang biasa dan begitu-begitu saja.

Akhirnya, kemarin, saat pagi-pagi, pada hari keempatnya di rumah sang anak, di teras depan rumah, Darni pun mengungkapkan perasaannya. “Aku sudah ingin pulang, Nak.”

Sang anak yang telah berseragam lengkap dan tengah mengikat tali sepatunya, tampak terkejut. “Kok, cepat sekali, Bu?”

Darni melayangkan senyuman. “Aku kepikiran pada ayam-ayam dan kebun jagungku, Nak.”

Sang anak pun mengangguk maklum.

Lalu tiba-tiba, cucu dan menantunya muncul dari balik pintu dengan mengenakan seragam lengkap mereka masing-masing.

“Apa Nenek tak betah berlama-lama di sini?” tanya sang cucu dengan raut polosnya.

Darni menggeleng. “Tentu saja aku senang berada di sini dan melihat cucuku yang cantik ini,” katanya, kemudian mengusap-usap rambut cucunya. “Tetapi di kampung, aku juga punya urusan yang mendesak, Cu.”

Sang cucu pun tampak cemberut.

“Apa tak sebaiknya Ibu pulang pada hari minggu saja? Pada malam minggu nanti, kita bisa jalan-jalan dan membeli apa saja yang Ibu mau,” tawar sang menantu.

Darni kembali menggeleng, sambil tersenyum. “Aku merasa sudah tak bisa lagi menunda waktu untuk urusanku di desa, Nak,” kilahnya.

Merasa bahwa tekad mertuanya sudah bulat, sang menantu pun mengangguk-angguk saja.

Waktu bergulir cepat.

Akhirnya, di ujung pagi, ketika anak, menantu, dan cucunya pergi untuk urusan mereka masing-masing, Darni pun pamit pada sang perempuan paruh baya, saudari sang menantu, kemudian menumpang mobil sewa langganannya untuk pulang ke kampung

Setelah enam jam perjalanan, Darni pun sampai di rumah panggungnya. Ia kembali ke dalam suasana yang hening dan sunyi. Ia kembali merasakan kesepian atas kesendiriannya. Kesepian yang lebih dalam ketimbang hari-hari sebelumnya.

Hingga akhirnya, saat sore menjelang, ia pun memutuskan untuk beranjak ke rumah seorang perempuan yang sepantaran dengannya, yang telah mengajarinya menggunakan ponsel pintar. Ia ingin belajar memaksimalkan fungsi ponselnya untuk mendapatkan pelarian dari rasa bosannya dalam waktu luang, seperti yang acap kali dilakukan oleh anak, menantu, dan cucunya.

“Aku mau minta tolong lagi, Bu,” kata Darni kemudian, setelah bertamu.

“Minta tolong apa?” tanya perempuan tua itu, penasaran.

Darni pun menelan ludah di tenggorokannya. Lalu dengan sikap malu-malu, ia pun menyampaikan maksudnya, “Aku ingin belajar menggunakan media sosial, Bu.”

Sontak, sang perempuan tua tergelak. “Mau belajar apa, Bu?”

“Apa saja. Facebook, Twitter, Youtube, atau apa saja yang bisa aku lakukan untuk mengisi waktu dengan ponsel pintarku,” tutur Darni, sedikit segan.

Sambil tersenyum, sang perempuan tua pun menganggukkan permintaan Darni.

Darni jadi sangat senang.

Akhirnya, mereka berdua kembali menjadi seorang guru dan murid.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar