Kamis, 04 Maret 2021

Parfum

Hari demi hari, Ajun terus-menerus memakai jaket andalannya. Ia mengenakannya seolah seperti jubah kehormatannya. Saking setianya pada luaran itu, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali mencucinya. Ia hanya rutin mengangin-anginkannya kala basah, lalu mengibas-ibaskannya kala kering.

Untungnya, pokok warna yang hitam membuat jaket itu masih tampak bersih. Tidak terlihat bercak-bercak noda dan perubahan warna karena gesekan sikat atau terpaan terik matahari. Tetapi bau yang tidak lagi terdefinisikan, tetap bisa terendus oleh hidung orang-orang dari jarak dekat.

Sebagai manusia normal, tentu Ajun tak suka juga pada bau busuk. Tetapi sebagaimana manusia pada umumnya, ia pun tak merasa risih atas bau tubuhnya sendiri. Karena itu, ia merasa nyaman-nyaman saja atas aroma jaketnya yang terbentuk dari perpaduan bau-bau tubuhnya secara natural.

Aroma yang alami, memang sudah menjadi kenyamanan bagi indra penciuman Ajun. Ia sama sekali tak suka pada aroma yang menyengat, seperti yang acap kali ia cium dari diri para pecandu parfum. Atas kebiasaannya itu, ia bahkan tak sekali pun membeli parfum selama hidupnya.

Tetapi akhirnya, Ajun jatuh hati pada aroma parfum berbau teh yang melekat pada jaketnya. Biarpun sedikit menyerbak, tetapi aroma itu muncul setelah ia menyaksikan bahwa jaket yang senantiasa ia gantung di belakang pintu sekretariat organisasinya, telah dikenakan oleh Mira, gadis idamannya, seorang teman seorganisasinya di kampus, tanpa seizinnya.

Atas aroma peninggalan dari sang pujaan, Ajun akhirnya jadi semakin suka mengenakan jaket itu. Ia pun berusaha untuk menghindarkannya dari kontaminasi bau apa pun yang bisa menawar aroma tehnya. Karena itu, ia tidak lagi menggantungnya di belakang pintu sekretariat sebagai jaket yang bebas dipakai, apalagi meminjamkannya secara sengaja kepada orang lain.

Sampai akhirnya, Ajun lengah dan tak menjaga jaket andalannya di kawasan rumahnya sendiri. Dengan tiba-tiba saja, di hari Minggu, pagi kemarin, ia menemukan jaket itu tengah menggantung pada tali jemuran di halaman depan rumahnya, bersama dengan pakaian lain yang baru saja dicuci oleh ibunya.

Sontak, Ajun segera menghadap ibunya untuk menyampaikan protes. “Kenapa Ibu mencuci jaketku?”

Sang ibu seketika terheran menyaksikan raut kesal Ajun. “Memangnya kenapa kalau Ibu mencucinya, Nak?”

Ajun pun terdiam. Kebingungan. Hingga ia melontarkan kilahannya, “Tetapi itu jaket kesayanganku, Bu. Aku membutuhkannya untuk ke mana-mana.”

“Tetapi jaketmu itu kotor, Nak. Baunya sangat tidak sedap,” tutur sang ibu. “Tak baik kalau lelaki dewasa sepertimu mengenakan pakaian yang tidak bersih dan harum.”

“Tetapi itu pakaianku, Bu. Itu harusnya jadi urusanku,” bantah Ajun.

Sang ibu pun tersenyum. “Tak apa-apa, Nak. Ibu tak merasa keberatan, kok.”

Ajun mendengkus pasrah. “Pokoknya, mulai hari ini, biar aku yang mengurus soal pakaianku sendiri,” katanya, kemudian berlalu dengan raut suntuk.

Sang ibu pun semakin heran menyaksikan sikap Ajun dan tak memiliki sangkaan yang masuk akal selain bahwa anaknya itu mulai sadar untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Hingga akhirnya, pagi hari ini, Ajun berangkat ke kampus tanpa semangat. Pasalnya, ia harus mengenakan jaket andalannya tanpa aroma teh yang menyenangkan perasaannya. Yang tercium hanya aroma sabun cuci dan sedikit bau apek karena proses penjemuran yang tidak baik di separuh hari yang hujan kemarin.

Sesampainya di lingkungan kampus, Ajun pun segera bertandang ke sekretariat organisasinya. Ia lantas kembali menggantung jaket andalannya itu di balik pintu, sembari berharap-harap semoga pujaan hatinya kembali mengenakannya, hingga kembali melekatkan aroma teh parfumnya.

Waktu demi waktu bergulir. Ajun pun mengikuti jam kuliah tanpa antusias seperti kemarin-kemarin. Ia seolah kehilangan penyemangat hidup, dan sangat ingin mendapatkannya kembali.

Lalu ketika jam istirahat tiba, Ajun pun lekas kembali ke sekretariatnya. Dan seketika, ia terkejut ketika menyaksikan bahwa jaket andalannya kembali menghilang dari balik pintu. Sontak, ia jadi semakin berharap semoga jaket andalannya kembali tampak melingkupi badan sang pujaan hatinya.

Tetapi akhirnya, Ajun harus kecewa. Tak beberapa lama setelah ia tiba di ruang sekretariat, gadis pujaannya pun datang tanpa mengenakan jaket andalannya. Kemudian sejenak setelahnya, ia malah melihat jaket itu dikenakan oleh Muis, teman seorganisasinya yang lain.

“Hai, jaketmu,” kata Muis, dengan raut senang, lalu melayangkan jaket itu kepada Ajun. “Terima kasih sebelumnya.”

Ajun pun mengendus aroma jaket itu dengan penuh keheranan.

“Maafkan aku,” tutur Muis, dengan raut meledek. “Aku tahu kau tak suka aroma yang menyengat. Tetapi aku harus menyemprot jaketmu itu dengan parfumku ketimbang harus mencium bau apek.”

Ajun hanya mengangguk-angguk bodoh.

Akhirnya, dengan perasaan kecele, Ajun pun membenci aroma teh yang kembali menyerbak dari jaket andalannya.

 

2 komentar:

  1. Kakak penulis yang rupawan, boleh bagi tips untuk tetap menghidupkan suatu blog? keliatannya blog ini telah berumur panjang dan tetap hidup. Apakah tidak berminat untuk berpindah ke media sosial lainnya?

    BalasHapus
  2. ya, tipsnya harus terus menulis, adik yang rupawati. menulis untuk kesenangan diri sendiri, supaya bertahan terus... masih setia di sini ji. belum ada rencana ke tumblr nyusul adik

    BalasHapus