Kamis, 04 Maret 2021

Warung Bakso

Asep telah menjadi pelanggan setia warung bakso milik Darmi, perempuan cantik, idola para lelaki di masa SMA-nya dahulu. Setiap kali lapar di tengah aktivitasnya sebagai tukang ojek, ia sering kali mampir untuk makan di warung itu. Bukan saja karena baksonya memang lezat, tetapi juga karena sikap Darmi yang ramah dan menyenangkan.

Waktu demi waktu, ketertarikan Asep pada bakso Darmi, semakin menjadi-jadi. Apalagi, ia tidak merasakan kenyamanan bersantap yang sama di rumahnya. Selain karena istrinya, Wati, memang tak bisa meracik hidangan Bakso selezat Darmi, juga karena istrinya itu tidak bersikap sehangat Darmi kala menyuguhkan hidangan untuknya.

Namun lambat laut, kebiasaan Asep jajan di warung Darmi, membuat jiwanya mulai tersesat. Ia semakin kecanduan pada sajian Darmi berserta senyuman manisnya. Sedang sebaliknya, lidah dan hatinya malah semakin mati rasa terhadap hidangan dan rupa istrinya sendiri.

Tak ada kesimpulan yang tepat untuk menyederhanakan rahasia batin Asep selain bahwa hatinya telah mendua seiring dengan pemenuhan nafsu lidahnya. Perasaannya telah berselingkuh seiring dengan kenyamanannya menyantap bakso perempuan itu. Dan rumitnya, ia tak bisa memisahkan keduanya.

Tetapi sejak awal, Asep sadar bahwa bibit perasaan di hatinya memang harus ia tumpas setiap kali bertunas. Bagaimana pun, Darmi telah menjadi istri seorang lelaki yang senantiasa menemaninya melayani pelanggan, termasuk dirinya.

Akhirnya, Asep hanya terus mencandui permainan hatinya sendiri terhadap Darmi. Ia suka melakoni itu dengan tekad penuh untuk tidak akan mewujudkannya ke dalam tindakan yang serius. Sekadar mengecap-ngecap bentuk perhatian yang tak bisa ia dapatkan dari istrinya di rumah.

Tetapi sebagai istri, Wati bukannya tidak bertanya-tanya atas sikap dingin Asep di meja makan. Ia bahkan telah mengetahui bahwa suaminya itu sering jajan bakso di warung milik Darmi. Ia mengetahuinya dari teman-teman sepangkalan ojek suaminya sendiri. Perihal yang ia yakini sebagai penyebab utama sehingga sang suami tak lagi semangat bersantap di rumah.

Sebagai bentuk perjuangannya demi harga dirinya sebagai istri, Wati pun belajar untuk memasak bakso yang enak. Ia membaca resep dan menonton video tutorial di internet, kemudian mempraktikkannya secara berulang-ulang, agar bisa merebut kembali nafsu makan sang suami.

Namun akhirnya, Wati harus menerima kenyataan bahwa ia tak bisa mengalahkan cita rasa bakso racikan Darmi pada medan indra pengecap sang suami. Buktinya, setelah berkali-kali menyajikan bakso, sang suami cuma menyantap secukupnya, dan ia tetap saja terdengar mampir di warung bakso Darmi.

“Apa masakan baksoku tidak enak, Pak?” tanya Wati pada satu waktu, di tengah ketidakmengertiannya tentang selera sang suami, saat merekah sedang makan malam bersama.

Asep pun lekas menelan kunyahan bakso buatan sang istri, kemudian melayangkan senyum simpul. “Enak, kok, Bu.”

“Tetapi kenapa Bapak tetap doyan jajan bakso di warung Darmi? Apa hidangan baksonya lebih enak?” sergah Wati.

Sontak, Asep terkejut atas pertanyaan itu. Ia pun cepat menggeleng keras, seperti berusaha meyakinkan sang istri atas kata-katanya. “Aku rasa, masakan bakso Ibu lebih enak.”

Wati pun melayangkan senyuman yang kaku, kemudian memampang raut yang datar, seolah merasa bahwa kata pujian sang suami tidaklah tulus.

Asep kembali melayangkan senyuman simpul, kemudian berusaha menandaskan semangkuk baksonya.

Hari demi hari berlalu. Perkiraan Wati bahwa sang suami masih lebih berselera menyantap bakso di warung Darmi, semakin menguat dan menjadi keyakinan. Itu karena ia menyaksikan sendiri bahwa setiap kali memasak bakso, sisa yang mesti ia panasi semakin banyak akibat porsi makan sang suami semakin berkurang. Dan ia yakin kalau itu terjadi karena sang suami tetap menyisakan rongga perutnya untuk hidangan bakso Darmi, sebagaimana kabar yang tetap ia dengar dari orang-orang.

Akhirnya, pada satu hari, Wati tiba-tiba terdorong untuk mendapatkan penilaian yang lebih valid dan objektif tentang cita rasa masakan baksonya sendiri. Ia lalu memasak bakso dalam porsi banyak, kemudian mengundang tetangga dekatnya untuk bersantap bersama.

Tanpa terduga, Wati berhasil mendapatkan pujian dari para tetangganya. Mereka bahkan menilai bahwa masakan baksonya lebih enak ketimbang bakso di warung Darmi. Tetapi ia mengira saja kalau pujian dari orang-orang dewasa itu barangkali hanyalah bentuk sopan santun. Namun penilaian serupa dari anak-anak yang polos, berhasil membuatnya percaya.

Perlahan-lahan, ide besar pun tumbuh di benak Wati. Ia terpikir untuk membuka warung bakso sendiri sebagai kelanjutan upayanya untuk menaklukkan dan memenangkan indra pengecap sang suami secara berwibawa.

Dan akhirnya, setelah merintis usaha, warung bakso Wati terus berkembang, hingga berhasil mencuri pelangggan warung bakso Darmi. Bahkan dua bulan setelahnya, jumlah pengunjungnya telah mampu menyaingi jumlah pengunjung warung saingannya itu.

Hari demi hari, Wati pun semakin sibuk melayani pengunjung warungnya. Setiap saat, ia mesti tampil menarik dan menyenangkan untuk membuat para pengunjung nyaman dan setia sebagai pelanggan. Ia terus menjaga sikapnya dengan tutur kata yang ramah dan senyuman yang manis, agar para pelanggan senang dan puas.

Akhirnya, hari demi hari, Asep pun terbakar cemburu melihat sikap ramah sang istri dan raut bahagia sejumlah pelangan yang mencurigakan. Karena itulah, ia memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai tukang ojek dan fokus membantu istrinya mengurus warung. Ia pun tak lagi tertarik untuk berseliweran ke mana-mana, termasuk ke warung bakso Darmi. Bahkan ia tak terpikir lagi untuk memperturut kesesatannya mengindrai Darmi dengan alasan makan bakso, sebab kini, pikirannya telah disesaki oleh tafsir-tafsir tentang perasaan terselubung dan terlarang pada diri sejumlah pelanggan terhadap istrinya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar