Kamis, 04 Maret 2021

Kasir

Hidupku memang biasa-biasa saja. Aku sama sekali tak terpandang dalam soal materi. Aku hanyalah seorang kasir di sebuah kafe dengan upah yang secukupnya. Aku mesti menjaga pemasukan keuangan demi kekayaan sang bos di saat perekonomianku sendiri malah pas-pasan.

Sebagai seorang mahasiswa di tengah kota besar, tentu sajam pendapatanku sebagai kasir paruh waktu tidaklah cukup untuk menalangi kebutuhan hidupku. Selain pembayaran kuliah, aku juga butuh ongkos untuk kebutuhan makan dan indekosku. Tetapi setidaknya, upahku itu bisa meringankan beban orang tuaku yang bekerja sebagai petani di desa.

Namun di tengah kehidupanku yang sederhana, aku tetap berusaha berlaku cukup. Aku terus belajar mengendalikan keinginanku, dan hanya memperturut kebutuhanku. Aku tak ingin memiliki sesuatu yang berada di luar batas kemampuan finansialku, yang bisa memaksaku melakukan perbuatan yang tidak-tidak.

Atas prinsip itulah, sampai kini, aku tetap bertahan sebagai karyawan yang baik. Selama setahun bekerja sebagai kasir, aku tak pernah mendapatkan teguran yang keras karena salah atau lalai menunaikan tugas. Aku bahkan telah mendapatkan pengakuan dari bosku sebagai pegawai yang jujur.

Tentu saja, sebagai kasir, aku punya kesempatan untuk berlaku culas. Ada begitu banyak cara untuk menilap uang usaha dan membuat catatan pemasukan tetap bersih. Apalagi, aku punya teman kerja yang kejujurannya masih labil. Tetapi aku sama sekali tak berniat untuk melakukannya.

Keteguhanku terhadap kejujuran, bukanlah sesuatu yang begitu saja terpatri di dalam hatiku. Itu merupakan kekuatan batin yang telah kulatih sekian lama. Perihal yang aku kokohkan setelah sadar tentang betapa pentingnya menjaga nama baik di atas segalanya.

Paling tidak, puncak kesadaranku tentang arti penting kejujuran, baru dimulai tiga tahun yang lalu, ketika aku duduk di kelas 2 SMA, di kampungku. Pada satu hari, ketika aku melangkah menuju ke pasar dengan maksud membeli berbagai keperluan, tiba-tiba saja, aku menemukan dompet di tengah perjalanan. Setelah kutilik isinya, aku pun menemukan kartu identitas milik Huri, seorang tetangga jauhku yang bekerja sebagai guru honorer, yang baru saja mendahului langkahku ke dalam kompleks pasar.

Saat itu, seketika saja, aku menjadi bimbang. Kata hatiku menuntut agar aku mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya, tetapi aku membutuhkan dana untuk membeli seragam sekolah dan buku pelajaran. Sampai akhirnya, aku mengantongi dompet itu dan menetapkan rencana untuk menggunakan sejumlah uang yang ada di dalamnya.

Namun ketika aku belum juga menggunakan uang itu secara haram, tiba-tiba, Larsam datang menghampiriku, lantas mendakwa dengan tegas, “Hai, berikan barang yang baru saja kau pungut!”

“Barang apa, Pak?” tanyaku, berusaha mengelak.

Wajahnya pun tampak geram. “Kau kira aku tak tahu kalau kau baru saja mengantongi dompet yang kau temukan di jalan, he?”

Seketika, aku jadi mati kutu.

Ia lantas menggeledah saku celanaku. Sampai akhirnya, ia merogoh dompet itu. “Apa ini? Ini dompetmu, iya?”

Aku terdiam saja. Bingung harus menjawab apa.

“Ini jelas bukan dompetmu, dan semestinya dikembalikan kepada pemiliknya,” vonisnya, kemudian menuturkan nasihat sembari menuding-nuding wajahku dengan jari telunjuknya, “Kau yang masih muda ini, janganlah belajar-belajar mengambil hak orang lain. Semua orang di desa ini tahu kalau orang tuamu adalah orang yang baik. Kau mau kalau mereka jadi malu kerena perilakumu yang tidak jujur?” peringatnya, lantas melecutkan ludah ke tanah, seolah-olah ia sendiri benar-benar telah menginsafi masa lalunya yang kadung terkenal dan terkenang di tengah masyarakat sebagai pencuri. “Kau semestinya menjaga nama baikmu. Kau mau namamu rusak dan dicap  pencuri sepanjang hidup, seperti aku ini?”

Aku hanya menggeleng, sembari menunduk takut dengan persaan bersalah. “Maafkan aku, Pak.”

Ia lalu melanjutkan peringatannya, “Kau ini masih beruntung, sebab hanya akulah yang menyaksikan tingkahmu kali ini. Bagaimana kalau orang banyak tahu?” tantangnya, lantas berdeham. “Aku tak akan menceritakan tingkah culasmu ini kepada siapa-siapa, tetapi kau jangan sampai melakukan perbuatan semacam ini lagi. Paham?”

Aku mengangguk. “Sekali lagi, maafkan aku, Pak. Aku tak akan mengulanginya,” balasku, dengan penuh keinsafan.

“Sudah! Pergi!” perintahnya, terdengar masih kesal.

Aku pun berbalik dan beranjak meninggalkannya dengan penyesalan yang mendalam atas tindakan salah yang secara sadar telah kulakukan.

Dan seiring waktu, kata Larsam benar, aku masih beruntung, sebab setelah kejadian itu, aku tak pernah mendengar orang-orang berkata miring bahwa aku adalah orang yang tidak jujur. Karena itulah, aku merasa sangat berutang budi pada lelaki itu di tengah keberhasilan dan keteguhanku menjaga nama baik sebagai orang yang bisa dipercaya.

Atas segala kebaikan hidup yang kudapatkan sampai hari ini, aku pun terus mendoakan kebaikan untuk Larsam atas peringatan-peringatannya yang kutafsir sebagai pesan-pesan hidup yang penting. Aku sangat berharap semoga masih ada kesempatan bagiku bertemu dengannya untuk menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.

Sampai akhirnya, harapanku itu terkabul secara tiba-tiba. Tanpa kuduga, di antara banyak pengunjung kafe, Larsam tampak menghampiriku, seperti hendak menyelesaikan tagihannya.

“Ah, Pak Larsam,” kataku, terheran menyaksikan sebuah kebetulan.

Wajahnya pun menampakkan keterkejutan.

Aku lalu menyodorkan tanganku, dan ia pun menjabatnya.

“Apa kabar, Pak?” tanyaku, sembari melayangkan senyuman.

Raut wajahnya datar saja. “Ba… Ba… Baik,” balasnya, tampak masih terheran atas pertemuan kami yang tak terkira. “Kok bisa, kau ada di sini?”

Aku pun tertawa pendek. “Aku memang kasir, Pak.”

“Oh…,” dengungnya, kemudian lekas menyambung, “Jadi, total tagihanku berapa? Aku di meja nomor 9.”

Aku pun segera mengecek data pemesanan di layar monitor, sembari melontarkan pertanyaan, “Omong-omong, ada urusan apa Bapak di kota ini?”

Tetapi ia seperti tak mendengar pertanyaanku. Ia tampak plonga-plongo saja memandangi keadaan sekitar kafe.

Aku tak mengulang pertanyaanku. Aku lalu menyampaikan jumlah tagihannya. “Totalnya, Rp. 32.000, Pak.”

Ia lantas membuka dompetnya yang tampak berisi banyak lembar-lembar uang, kemudian menyerahkan selembar pecahan Rp. 100.000. “Kembaliannya, biar saja,” katanya.

Aku pun terheran atas sikap dermawannya.

“Sampai jumpa,” pungkasnya dengan senyuman simpul yang sekilas, kemudian pergi dengan langkah buru-buru.

Aku pun jadi tak mengerti atas sikap buru-burunya. Padahal, ada banyak hal yang ingin kuutarakan kepadanya.

Hingga akhirnya, seseorang yang duduk di meja nomor 10 tampak gusar dan menanyai orang-orang setelah tasnya yang berisi sejumlah barang berharga, tiba-tiba hilang dari sisi samping kursinya.

Suasana pun jadi gaduh.

Dengan cepat-cepat, kami pun mengecek tangkapan kamera pemantau, lantas menyaksikan bahwa pengunjung di meja nomor 9, Larsam, adalah orang yang telah mencuri dan membawa pergi tas tersebut.

Aku sungguh tak habis pikir.

Seketika, aku pun mempertanyakan peristiwa penting bersama Larsam yang membuatku sadar tentang arti penting nilai kejujuran dan nama baik. Seketika juga, aku ingin menemui Huri dan menanyakan apakah Larsam benar-benar mengembalikan dompetnya dua tahun yang lalu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar