Sabtu, 13 Maret 2021

Toilet

Piga merasa jemu. Lisa, istrinya, selalu saja meminta toilet. Padahal, di puncak bukit tempat mereka berada, urusan pembuatan toilet bukanlah perkara yang mudah. Pengantaran untuk bahan pembangunannya saja, membutuhkan biaya yang mahal. Itu pun kalau ada tukang ojek handal yang berani membawa beban seberat itu sampai ke tengah lahan perkebunan mereka

Menolak, bukan berarti Piga tidak mengasihi istrinya. Ia sungguh ingin memanjakan sang istri agar betah menemaninya. Ia hanya ingin sang istri bersabar sementara waktu, sampai musim kemarau datang, dan bagian jalanan setapak yang buruk, telah dibeton atas swadaya masyarakat. Saat begitu, para tukang ojek akan enteng mengangkut bahan bangunan, dan ongkosnya akan sepantasnya saja.

Tetapi alasan apa pun, seolah tak berguna lagi bagi Lisa. Ia sudah tak tahan membuang air besarnya seperti kucing. Ia sangat keberatan untuk berjalan ke tepi lahan perkebunan, ke semak-semak, kemudian menggali dan menutup tanah untuk melaksanakan hajatnya. Ia sungguh takut dan kerepotan. Karena itu, ia  terus saja menuntut, agar permintaannya atas toilet, dikabulkan sesegera mungkin.

Akhirnya, kengototan istrinya membuat Piga teringat lagi pada peringatan almarhum ibunya. Sang ibu pernah menasihati agar ia mencari pasangan hidup bukan atas dasar perpaduan perasaan semata, tetapi juga kesanggupan untuk menjalani pahitnya kehidupan bersama-sama. Sang ibu menyarankan agar ia menikah saja dengan gadis desa yang sederajat dengannya, supaya hidupnya tenteram.

Namun langkah Piga yang jauh sampai ke kota, telah menggariskan jalan jodohnya. Ia terlanjur bertemu dengan Lisa pada masa kuliah, yang seketika membuatnya jatuh hati dan tak bisa berpaling pada yang lain. Hingga akhirnya, dengan usaha yang keras, ia pun berhasil manaklukkan dan menikahi Lisa yang merupakan anak sepasang pegawai kantoran dengan kehidupan yang sangat mapan.

Sialnya, jalan jodoh Piga tak sebaik jalan rezekinya. Dahulu, ia yakin akan mendapatkan pekerjaaan yang bergengsi dan menjamin untuk kehidupan keluarga kecilnya. Tetapi empat tahun setelah menikah dan menyandang gelar sarjana ekonomi, ia tak juga berhasil. Akhirnya, dengan perasaan berat, ia pun memutuskan untuk pulang ke kampung dan mengurus pohon cengkih muda warisan orang tuanya di puncak bukit.

Kini, Piga terus berjuang membangun rumah tangganya demi sang wanita pujaannya, di tengah kondisi kehidupan yang tak pernah ia impikan. Segalanya telah terjadi atas keputusannya sendiri, dan ia harus bertahan untuk menjaga janji sucinya. Ia mesti bersabar hingga beberapa tahun ke depan, ketika hasil panen cengkihnya melimpah, dan ia bisa memberikan apa pun untuk sang istri.

Namun di tengah masa-masa pembangunan seperti sekarang, Piga memang harus menebalkan kuping atas keluhan sang istri, terutama soal toilet. Meski ia sendiri bertekad untuk membangun tempat pembuangan itu demi sang istri yang tak biasa membuang kotoran di sembarang tempat, tetapi tidak dalam waktu dekat. Karena itu, demi menghindari percekcokan yang membahayakan hubungan mereka, ia pun lebih banyak diam dan menghindari persinggungan dengan sang istri.

Sampai akhirnya, malam ini, di malam ke-21 keberadaan mereka di puncak bukit, Piga kembali memutuskan untuk tidak tidur setikar dengan istrinya di dalam bilik kamar, untuk malam yang ke lima. Ia memilih untuk tidur di badan rumah, meski harus merasakan hawa dingin dan gigitan nyamuk. Ia ingin mengesankan kepasrahannya, dan berharap sang istri iba dan mau mengerti tentang keadaan sulit mereka.

Tetapi perkara kemudian menyusul. Atas terpaan angin malam lewat dinding kayu rumah kebunnya, Piga merasakan kembung di perutnya, seperti masuk angin. Beberapa waktu kemudian, saat tengah malam, ia pun terdesak untuk segera mengeluarkan isi perutnya itu. Maka di bawah bulan yang cerah, ia lantas menuruni gubuk panggungnya dengan langkah buru-buru, kemudian menuju ke tepi kebun dengan membawa segayung air.

Dan akhirnya, Piga berhasil menunaikan hajatnya dengan penuh kekhidmatan, di tengah kegelapan dan keheningan malam. Ia kemudian cebok dengan perasaan lega, dengan kesadaran bahwa perkara berak memang tidak akan terasa sebagai siksaan kalau ia telah memiliki toilet.

Sesaat kemudian, di tengah istinjanya, Piga merasa geli dengan dengungan serangga di sekitar kepalanya. Dengan kesal, ia pun mengambil ranting kayu dan memukul-mukulkannya ke sisi atasnya, ke semak-semak yang menyelubungi tubuhnya. Sampai akhirnya, dengung makhluk itu terdengar semakin keras. Dan seketika, ia mendapat sengatan di seluruh sisi tubuhnya secara bertubi-tubi.

Piga sontak menandaskan ceboknya. Ia lalu menyelubungi tubuhnya dengan sarung, sembari berlari pontang-panting menuju ke rumah kebunnya. Tetapi kawanan serangga yang ia duga tawon itu, seperti masih juga menyerangnya. Maka, dengan kesakitan yang tiada tara, ia pun cepat-cepat naik ke atas rumah, lantas masuk ke bilik kamar, kemudian menyusup ke dalam kelambu istrinya.

Sontak, istrinya terbangun kaget. “Apa? Apa?”

Piga yang ngos-ngosan, tak kuasa berkata-kata.

Sang istri lalu menyalakan senter, dan terkejut menyaksikan satu wajah yang asing. “Heh, siapa kau?” sergahnya, ketakutan, sembari menarik tubuhnya ke belakang.

Piga pun mendengkus, sambil mengaduh-aduh. “Ini aku, Bu. Piga. Suami Ibu.”

“Apa?” Sang istri lalu mengarahkan sorotan senter ke wajah itu, dan akhirnya bisa membaca wajah sang suami di balik benjolan-benjolan yang parah. “Apa yang terjadi, Pak?”

“Aku diserang tawon, Bu,” terang Piga, sambil mengeluh-ngeluh kesakitan.

“Kok bisa? Bagaimana ceritanya, Pak?” tanya sang istri, dengan perasaan prihatin dan penasaran.

Pikiran Piga cepat bekerja. Ia berupaya mengarang cerita untuk berkilah, agar kenyataan yang sesungguhnya terjadi, tak membuat sang istri semakin kekeh menuntut toilet sesegera mungkin. “Aku menepuk seekor tawon saat sedang berbaring-baring, Bu. Aku kira hanya serangga biasa. Dan akhirnya, kawanannya datang menyerangku.”

Sang istri pun mendengkus dengan rasa kasihan. Ia lantas mengambil minyak gosok yang ia duga akan mampu meredakan rasa sakit akibat gigitan tawon. Dengan lembut, ia lalu mengusapkan minyak itu pada wajah dan badan sang suami. “Harusnya Bapak hati-hati. Jangan asal menepuk dan membunuh makhluk kecil. Bahaya.”

Piga pun merasa senang atas perhatian sang istri. “Iya, Bu.”

Hening beberapa saat.

“Jadi, kapan Bapak akan membuat toilet?” tanya sang istri kemudian.

Sontak, Piga terkejut mendengar singgungan perihal persoalan yang beberapa hari belakangan, berusaha ia hindari. Namun atas apa yang telah terjadi padanya, akhirnya, ia pun mengungkapkan tekadnya, dengan kesadaran bahwa toilet memang hal yang perlu, “Aku akan segerakan, Bu,” katanya, lalu membelai pipi sang istri. “Selama aku mampu, aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Ibu.”

Baru saja tersanjung, sang istri lantas mengendus-endus keras. “Kok, ada bau tidak enak, Pak.”

Piga turut mengendus, kemudian membaui telapak tangan kirinya yang busuk.

“Aduh, Pak!” kesal sang istri.

Piga pun merasa kelimpungan.

“Kalau cebok, yang bersih-bersihlah, Pak!” keluh sang istri.

Dengan perasaan bodoh, Piga lalu menyenter keadaan di luar kelambu. Dan setelah memastikan keadaan sudah aman, ia pun bergegas keluar untuk menyempurnakan ceboknya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar