Sabtu, 13 Maret 2021

Tas Laptop

Kemajuan zaman telah mengubah tafsir kebutuhan. Mail masih duduk di bangku kelas 2 SMA, tetapi ia sudah sangat memerlukan laptop. Pasalnya, para guru sering memberikan tugas yang mengharuskannya menggunakan teknologi itu. Entah untuk praktik penggunaan aplikasi komputer, ataukah mencari referensi tugas di internet yang mesti dirampungkan dalam bentuk ketikan cetak.

Setelah sekian lama meminta, hati kedua orang tuanya pun luluh. Ia akhirnya dibelikan sebuah laptop dengan merek dan kecanggihan yang tidak terlalu baik, dan tidak pula terlalu buruk. Sedang-sedang saja, sebagaimana perekonomian keluarganya yang pas-pasan atas ayahnya yang bekerja sebagai satpam, dan ibunya yang seorang penjual sayur.

Namun sebelum permintaannya dikabulkan, Mail telah diharuskan oleh orang tuanya untuk menenangkan Hiro, adik laki-lakinya, agar tidak menuntut permintaan yang tak kalah membebani. Apalagi, sang adik sudah lama merengek untuk dibelikan perangkat gim seperti milik temannya, meski kedua orang tuanya terus menolak sebab barang tersebut bukanlah kebutuhan, apalagi untuk anak kelas 6 SD.

Karena itulah, saat membeli laptop barunya, Mail telah meminta kepada operator untuk menginstalkan gim sepak bola dan tembak-tembakan yang selama ini dicandui sang adik. Ia berharap, dengan permainan itu, sang adik merasa permintaannya telah terpenuhi, sehingga berhenti untuk meminta perangkat permainan yang akan memberatkan orang tua mereka.

Untuk semakin menenangkan perasaan adiknya, Mail pun berpura-pura kalau laptop yang ia beli hanyalah laptop bekas dengan harga sekitar 1,5 juta rupiah, yang berarti setengah dari harga versi barunya. Dengan begitu, ia berharap adiknya tidak iri, bahkan menjadi iba, kemudian kehilangan nafsu untuk menuntut perangkat gim mutakhir yang harganya jauh lebih mahal.

Demi meyakinkan adiknya, Mail pun telah menyembunyikan kardus pembungkus dan segala embel-embel yang bisa menunjukkan kebaruan laptopnya. Bahkan ia telah menempelkan beragam jenis striker di segala sisi laptopnya untuk menyamarkan kondisinya yang kinclong, termasuk menempelkan stiker nama band favoritnya di atas merek laptonya.

Agar adiknya benar-benar tenang, Mail kemudian berusaha menyenangkan perasaan sang adik. Sebuah tas baru yang menyertai pembelian laptop barunya, ia berikan kepada sang adik. “Ini, tas baru yang aku belikan untukmu,” dusta Mail. “Ambillah.”

Sang adik yang tengah memainkan gim tembak-tembakan sambil menatap layar laptop, akhirnya menoleh dan tampak semringah. Ia sontak menyambut sodoran itu. “Terima kasih, Kak.”

Mail mengangguk, sambil tersenyum. “Kau suka, kan?”

Sang adik mengangguk keras dengan raut takjub memandangi tas itu. “Aku suka, Kak.”

Sebagai bonusnya, juga supaya adiknya tak selalu mengganggu kemerdekaannya atas laptop barunya, Mail pun menyerahkan pula tablet bekasnya. “Ini jadi milikmu sekarang,” katanya kemudian, sambil menyodorkan gadget itu. “Aku telah menginstalkan beberapa gim yang kau sukai.”

Sontak saja, sang adik tampak semakin senang. Ia pun menyambut pemberian itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Kak.”

Mail mengangguk lagi, sambil melayangkan senyuman. “Kau jaga baik-baik, ya.”

Sang adik balas mengangguk, dengan wajah semringah. “Pasti, Kak. Aku akan menjaganya.”

Seketika, Mail jadi sangat senang sebab rencananya berjalan lancar. Ia telah berhasil menyamarkan kebaruan laptopnya dari pengetahuan sang adik yang pasti akan berkecil hati jika mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.

Tetapi kerendahan dan kemurahan hati Mail yang setengah tulus terhadap adiknya, tak berhenti hanya pada soal tablet dan tas laptop. Sehari berselang, Mail pun tampak mengenakan tas bekas milik adiknya untuk menggendong laptop barunya ke sekolah. Alasannya, tas miliknya selama ini, ternyata sempit untuk ukuran laptopnya, sedang tas bekas sang adik memiliki ukuran yang pas. Tetapi ia merasa lebih baik begitu, agar teman-temannya turut mengira bahwa laptopnya adalah laptop bekas, sehingga tidak memujinya dengan nada meledek.

Akhirnya, hari demi hari berganti. Mail dan adiknya hidup dalam kegembiriaan masing-masing. Mereka berdua merasa senang atas apa yang mereka miliki. Mail senang atas laptop barunya, sebab aktivitas belajarnya bisa berjalan lancar. Sedangkan sang adik senang atas tas baru dan tablet bekasnya, sebab ia bisa memamerkannya kepada teman-temannya.

Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa yang menghentak perasaan Mail dan orang tuanya. Tiba-tiba saja, sekitar jam 9 malam, sang adik tiba di rumah dengan raut murung, sepulang dari rumah seorang temannya.

“Kau kenapa?” tanya sang ibu.

Sang adik kemudian menangis. “Tas dan tabletku hilang, Bu”

Sontak, sang ayah terkaget. “Kok bisa? Kau hilangkan di mana?”

“Aku dibegal, Pak.”

“Dibegal?” sergah Mail. Terkejut. “Bagaimana ceritanya?”

Sambil berusaha menahan tangisnya, sang adik pun bertutur dengan suara putus-putus. “Dua orang, berbocengan dengan sepeda motor, tiba-tiba menghadang arah sepedaku, Kak. Seorang lalu menodongkan badik ke arahku, kemudian mengancam, ‘Serahkan laptopmu, cepat!’. Aku katakan bahwa aku tidak punya laptop, tetapi mereka tidak percaya, kemudian merampas tasku dengan paksa.”

Seketika, Mail, juga ayah dan ibunya, tampak terenyuh mendengar pengisahan sang adik.

Sang ibu lalu bangkit dan memeluk anak bungsunya itu. “Tenanglah, Nak. Tak apa-apa. Kalau ada rezeki, kami akan membelikan penggantinya untukmu.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar