Kamis, 04 Maret 2021

Penjaja Perantara

Sudah tiga bulan Warni berkeliling dengan berjalan kaki untuk mencari penghasilan yang akan menunjang kebutuhan hidupnya. Setiap kali sepulang sekolah, ia akan menjajakan es krim stik yang ia peroleh dari sebuah rumah produksi skala rumahan. Ia akan menawarkannya kepada siapa saja yang ia temui di jalan. Dari hasil penjualannya, ia pun akan mendapatkan persenan upah.

Tetapi belakangan hari, Warni mulai belajar untuk menghemat tenaganya. Ia telah menandai beberapa tempat yang tepat untuk melapak dan menunggu pembeli datang dengan sendirinya. Satu di antarnya adalah pelataran rumah makan di sudut perempatan jalan. Satu titik yang ramai karena berdekatan dengan sebuah bangunan rumah sakit dan kampus, juga sejumlah kafe dan perkantoran.

Hingga akhirnya, delapan hari yang lalu, ketika Warni memutuskan untuk bolos sekolah dan menjual es krim lebih cepat, seorang perempuan dewasa bernama Gita menghampirinya untuk membeli dua buah es krim rasa cokelat.

Setelah mengantongi es krim beliannya, perempuan cantik itu pun bertanya, “Adik tidak sekolah?”

“Aku sekolah, Kak. Aku sudah kelas 1 SMP,” jawab Warni.

“Tetapi kenapa belum lewat tengah hari begini, kau sudah berjualan di sini?” selidik Gita.

Warni pun melayangkan senyuman canggung. “Guru-guruku ada rapat penting, Kak. Mereka tak sempat mengajar di kelasku hari ini. Jadi, aku pulang lebih cepat,” kilahnya. “Aku baru akan berjualan es krim sepulang sekolah, Kak, untuk membantu Ibuku mencari uang.”

Gita pun mengangguk-angguk dan percaya begitu saja. Dengan rasa kasihan, ia pun kembali menyelidik. “Memangnya, dari mana kau dapat es krim yang kau jual ini? Buatan Ibumu sendiri?”

Warni lekas menggeleng dengan raut datar. “Aku dapat dari tetanggaku, Kak. Aku menjual es krim buatannya, dan aku mendapatkan upah darinya.”

 “Kau dapat berapa dari penjualan satu es krim?” tanya Gita lagi.

Warni menelan ludah di tenggorokannya. “Lima ratus rupiah, Kak.”

Sontak, diam-diam, Gita jadi iba. Karena itulah, ia pun menambah beliannya dengan sikap biasa, “Eh, aku tambah dua lagi es krim cokelat dong, Dik.”

Cepat-cepat, Warni pun membuka termos es krimnya, dan segera menyerahkan pesanan itu. “Kakak suka es krim cokelat, ya?” tanyanya, untuk mengakrabkan diri.

Gita menyambut sodoran itu sembari menggeleng. “Tidak terlalu. Aku membelinya untuk saudara perempuanku yang sedang dirawat di rumah sakit seberang,” balasnya, lalu memberikan sejumlah uang yang lebih dari jumlah bayaran seharusnya. “Adik ambil saja lebihnya.”

Seketika, Warni pun tampak sangat senang. “Terima kasih, Kak.”

Gita mengangguk saja, kemudian menyeberang jalan menuju ke gedung rumah sakit.

Sejak perbincangan itu, Warni dan Gita pun menjadi semakin akrab sebagai pelanggan dan langganan. Di antara empat hari setelah perkenalan mereka, Gita selalu membeli es krim Warni sebelum beranjak ke dalam rumah sakit. Gita menyatakan bahwa saudara perempuannya yang tengah dirawat, sangat menyukai rasa es krim jualan Warni.

Hingga akhirnya, keakraban Warni dengan Gita, mengundang perhatian dan kehadiran seseorang bernama Wasdan. Lelaki dewasa itu diketahui Warni bekerja di sebuah kantor jasa pengiriman barang yang bersampingan dengan rumah sakit di seberang jalan. Dengan tiba-tiba saja, dua hari yang lalu, lelaki itu mendatanginya dan bertanya-tanya perihal Gita.

“Es krim rasa apa yang ia suka, Dik?” tanya Wasdan kemudian, setelah memperkenalkan diri secara personal dan mendapatkan pengetahuan dasar tantang identitas Gita.

Warni tampak mengingat-ingat atau menimbang-nimbang, kemudian menjawab setelah menengok isi termos es krimnya, “Rasa jeruk, Kak. Ia paling sering membeli rasa jeruk ini,” katanya, sambil menunjuk kemasan es krim yang ia maksud. “Memangnya kenapa, Kak?”

Wasdan pun tampak semringah. “Kau bisa bantu aku kan, Dik?”

Warni mengangguk setengah yakin. “Bantu apa, Kak?” tanyanya, penasaran.

Seketika, Wasdan tersenyum. “Begini, Dik. Aku ingin berkenalan dengan Gita.”

“Kakak menyukainya, ya?” ketus Warni.

Wasdan pun mengangguk malu, kemudian menuturkan rencananya, “Jadi, begini, Dik. Aku beli es krim rasa jeruk. Nanti kalau Gita mau beli es krim, kasi saja es krim yang sudah kubeli. Bilang padanya kalau seorang laki-laki bernama Wasdan, telah membayarkan es krim itu untuknya. Bagaimana? Bisa, kan?”

Warni mengangguk setuju.

Tanpa berlama-lama, Wasdan pun memberikan bayaran yang lebih untuk tiga buah es krim rasa jeruk. Padahal sebelumnya, dengan naluri bisnisnya, Warni telah menaikkan harga es krim rasa jeruk sebesar 50%.

Warni pun menjadi sangat senang.

Sejenak kemudian, Wasdan pergi. Ia beranjak ke seberang jalan, lalu masuk ke dalam kantornya.

Akhirnya, Warni kembali duduk di titik lapaknya, sembari menunggu para pembeli datang, terutama Gita, yang sesuai jadwal, akan kembali berkunjung ke rumah sakit. Ia sungguh menanti kedatangan perempuan itu untuk rencananya sendiri.

Benar saja. Tak lama kemudian, Gita datang dan menghampirinya untuk membeli sejumlah es krim. Dan di seberang jalan, di lantai dua sebuah kantor jasa pengiriman barang, ia pun melihat Wasdan sedang mengintip di balik jendela.

Beberapa lama kemudian, Gita pun beranjak menuju ke dalam gedung rumah sakit.

Warni lantas melihat Wasdan merekahkan senyuman penuh kesenangan kepadanya, dan ia balik membalas dengan senyuman.

Sampai akhirnya, hari ini, ketika Gita akan kembali berkunjung ke rumah sakit. Wasdan pun kembali datang menghampiri Warni.

“Jadi, bagaimana pendapatmu? Apa mungkin perasaanku bersambut?” tanya Wasdan kemudian, perihal dampak langkah awalnya dua hari yang lalu.

“Entahlah, Kak. Tetapi setidaknya, aku lihat, ia menerima pemberian Kakak dengan senang hati,” balas Warni.

Sontak, Wasdan jadi gembira atas cita-citanya sendiri. Ia lalu menyampaikan rencana lanjutannya, “Kalau begitu, hari ini, aku minta bantuan lagi. Jadi, nanti, berikan lagi es krim rasa jeruk pembelianku kepadanya. Sampaikan kepadanya bahwa aku, Wasdan, akan menunggunya untuk berkenalan langsung di kafe sebelah pada jam 4 sore,” katanya, lalu menuding sebuah kafe di samping mereka. “Bagaimana? Bisa, kan?”

Warni mengangguk tegas. “Baik, Kak.”

Wasdan pun semringah dan lekas memberi bayaran untuk tiga es krim rasa jeruk yang masih semahal harga sebelumnya, dengan bonus yang lebih banyak lagi. Sesaat kemudian, ia pun beranjak ke kantornya dan kembali memantau dari balik jendela.

Sekitar jam 2 siang, Gita pun datang lagi dan membeli es krim pada Warni, kemudian beranjak lagi ke dalam rumah sakit.

Dari balik jendela, raut Wasdan pun tampak penuh kesenangan.

Waktu begulir cepat.

Jam 4 sore telah tiba. Dari balik dinding kaca, Warni pun dapat melihat Wasdan sedang duduk menunggu dengan harap-harap cemas, sambil membawa dua buah es krim rasa jeruk yang baru saja dibeli lelaki itu darinya.

Tetapi waktu terus berganti, dan Gita tak juga datang. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, namun Gita tak juga menghampirinya. Setelah hampir dua jam, Wasdan pun menyerah dan keluar dari kafe dengan wajah lesu, kemudian melangkah menuju ke samping Warni.

“Ah, sepertinya perasaanku tak bersambut, Dik,” keluh Wasdan kemudian.

“Sabar, Kak. Kalau bukan dengan Kak Gita, Kakak pasti akan dipertemukan dengan perempuan baik yang lain,” kata Warni, terkesan menasehati.

“Tetapi aku terlanjur jatuh hati padanya, Dik,” keluh Wasdan lagi. “Ah.”

Warni diam saja. Bingung menuturkan balasan.

Wasdan lalu membuka sebuah kotak kecil, kemudian mengeluarkan dua buah es krim rasa jeruk yang hendak ia berikan kepada Gita. Ia lantas mencicipi satu dari es krim itu, lalu menyidorkan satunya kepada Warni.

Akhirnya, mereka berdua mengulum es krim dengan perasaan masing-masing. Wasdan merasa sangat terpuruk setelah deru perasaannya tak mendapatkan balasan dari pujaan hatinya, Gita. Sedang sebaliknya, Warni senang-senang saja sebab persoalan di antara Wasdan dan Gita, telah memberinya pendapatan yang lebih, sebagaimana yang telah ia rencanakan.

“Ah, aku sungguh kecewa, Dik,” keluh Wasdan lagi.

“Jangan terlalu dipikirkan, Kak. Bisa jadi, kekecewaan Kakak hari ini, telah menghindarkan Kakak dari kekecewaan yang lebih menyakitkan,” balas Warni, sebagaimana kata-kata bijak yang pernah ia baca di media sosial, sebab ia tahu kalau jam 3 tadi, Gita telah pergi meninggalkan rumah sakit setelah suaminya datang menjemput.

“Tetapi aku sudah melakukan langkah-langkah yang tepat sejauh ini, Dik,” sesal Wasdan.

Warni pun melayangkan senyuman. “Ada hal-hal yang memang sebaiknya tidak terjadi, Kak. Kita hanya tidak mengetahuinya,” nasihat Gita lagi, sebagaimana kata-kata bijak yang pernah ia baca di media sosial, sebab ia tahu kalau rencana besar Wasdan tak pernah melangkah ke mana-mana, sebab sedari awal, ia memang tak pernah penyampaikan pesan-pesan lelaki itu kepada Gita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar