Sabtu, 13 Maret 2021

Babi

Kekesalan telah menumpuk di dalam hati Damhuri. Babi-babi masih saja sering menggerayangi tanaman singkongnya. Padahal, ia telah memasang pagar bambu di sekelilingnya. Bahkan ia sering bermalam di tengah kebun untuk berjaga-jaga. Tetapi kawanan penjarah itu tetap menerbos benteng buatannya saat ia lengah atau sedang tidak meronda.

Akibat keberingasan para babi, Dumhari terancam menunda rencana besarnya. Ia sudah ingin menikah, tetapi biaya pernikahannya tak akan pernah cukup jika panen singkongnya selalu mengecewakan akibat ulah hewan liar itu. Padahal, ibunya yang sudah lanjut usia, terus-menerus meminta agar ia segera menikah di usianya yang sudah 37 tahun.

Tetapi atas keadaan kebun singkongnya yang memprihatinkan, orang-orang di desanya memang meragukan kemampuannya secara pribadi. Ia dipandang manja dan lembek. Ia dinilai jauh berbeda dibanding almarhum ayahnya yang pekerja keras. Bahkan ia dianggap lebih cocok mengurus pekerjaan rumah yang tidak terlalu menguras tenaga ketimbang berkebun.

Keraguan para warga terhadap kemampuan Damhuri, bermula sejak lama. Pasalnya, dahulu, ia lebih suka bermain masak-masakan dengan teman perempuannya ketimbang bermain bola dengan anak laki-laki. Kecenderungannya itu berlanjut ketika ia memilih menjadi penata rias pada sebuah salon di ibu kota kabupaten daripada mencari pekerjaan yang tampak lebih cocok untuk lelaki.

Tetapi akhirnya, tiga bulan yang lalu, Damhuri pasrah untuk pulang kampung dan menetap sebagai petani. Itu terjadi setelah ayahnya yang terus berharap dan berusaha untuk mendidiknya menjadi lelaki yang tangguh, meninggal dunia. Sedangkan pada saat yang sama, ibunya yang sedari dahulu memanjanya sebagai anak semata wayang, mulai mengidap berbagai macam penyakit

Namun sikap Damhuri yang sekian lama cenderung pada keperempuanan, tidak bisa mengubah persepsi warga dalam sekejap waktu. Biarpun ia telah menggarap tanah sebagaimana lelaki desa pada umumnya, mereka tetap mempertanyakan kelaki-lakiannya. Bahkan sebagian besar mereka meragukan kalau kelak ia akan menikah dengan seorang perempuan.   

Anggapan yang sama, juga bercokol di benak Wiro, kepala dusun di alamat rumah Damhuri. Bahkan lelaki itu menduga keras bahwa Damhuri tak punya hasrat kepada perempuan. Hingga dengan maksud bercanda, ia pun pernah berseloroh kepada teman seperdomiannya, bahwa Damhuri tidak memiliki kelamin yang serupa dengan kelamin laki-laki sejati.

Sampai akhirnya, tudingan Wiro, sampai juga di telinga Damhuri. Ia pun merasa sangat tersinggung. Tetapi sebagaimana selalu, ia akan memendam sakit hatinya dan berusaha tampil seperti biasa. Apalagi, lelaki berkumis tebal itu adalah ayah dari seorang perempuan yang selama ini ia idam-idamkan sebagai pendamping hidup, yang memotivasinya merawat singkong.

Dan hebatnya, sampai sekarang, Damhuri bisa menahan diri. Ia sanggup bersabar menyikapi singgungan orang-orang atas kelaki-lakiannya. Ketimbang membalas dengan sumpah serapah, ia memilih diam dan melaksanakan rencananya untuk mementahkan anggapan tersebut. Makanya, ia fokus saja memerhatikan tanaman singkongnya demi menikahi wanita pujaannya.

Sampai akhirnya, saat hari sudah sore, tiba-tiba, warga desa menjadi riuh. Di balik dinding seng kamar mandinya, Damhuri pun bisa mendengar kalau mereka sedang mengejar babi. Karena itu, ia lekas memakai baju dan mengilas sarung di pinggangnya. Sekejap kemudian, ia bergegas keluar, lantas ikut berburu setelah mengambil lembing di bawah kolong rumahnya.

Atas kekesalannya yang memuncak terhadap babi, Damhuri pun tak kalah gesit dengan pemburu yang lain. Setelah membaca keadaan, dengan perhitungan instingnya, ia memilih arah berbeda, ke titik yang mungkin menjadi pelarian bagi buruan itu. Ia menyimpang jalan setapak, menuju ke sungai. Ia berlari, sambil terus menggulung sarungnya yang melorot dari pinggangnya.

Sesaat berselang, Damhuri sampai di pelataran sungai. Ia menunggu saja, sambil bersiap-siap menyasar. Hingga lima detik kemudian, babi itu pun muncul dari balik semak-semak, lalu terjun ke sungai setelah terpojok oleh kepungan orang-orang. Maka tanpa melewatkan kesempatan, ia pun melecutkan lembingnya, dan berhasil mendarat tepat di sisi perut buruan tersebut.

Seketika, redamlah teriakan-teriakan belasan lelaki pemburu yang kemudian datang menyusul. Begitu pula pekikan beberapa perempuan yang tengah mandi di sungai. Mereka tampak terkesima setelah menyaksikan keberhasilan Damhuri. Mereka seperti sukar memercayai bahwa Damhuri bisa melakukan aksi semacam itu.

Damhuri yang turut tercengang atas kejituan bidikannya sendiri, kemudian melayangkan senyuman puas kepada orang-orang. Ia tampak berbangga diri karena menjadi pemenang dalam perburuan itu. Ia merasa berhasil menunjukkan keberaniannya sebagai seorang lelaki kepada para warga yang selama ini memandangnya sebelah mata.

“Ya, aku hebat!” gumam Damhuri, kemudian menghela-embuskan napas untuk menenangkan debaran jantungnya.

Tetapi kemudian, tatapan kekaguman pada wajah orang-orang, malah berubah menjadi tawa yang lepas.

Damhuri pun menjadi bingung. “Kenapa? Kok, ketawa? Apa yang lucu?” tanyanya, penasaran, sambil menoleh kepada para lelaki pemburu yang terus saja tergelak, juga kepada para perempuan yang tengah mandi, yang tampak memalingkan wajah mereka yang tersipu-sipu, termasuk gadis pujaan hatinya.

Wiro, sang kepala dusun yang tampak sebagai komandan pemburu, kemudian berdeham keras, lalu melirik dan menunjuk ke sisi bawah tubuh Damhuri.

Perlahan-lahan, Damhuri pun menoleh pada tubuhnya sendiri, lantas mendapati kalau sarungnya telah tergulung sampai di atas pangkal pahanya. Seketika, dengan sikap malu-malu, ia pun memalangkan telapak tangannya di pusat kejantanannya, kemudian mengulur kilasan sarungnya sampai ke sisi bawah lututnya.

Detik demi detik, tawa orang-orang pun mereda. Mereka lantas mengerumuni seekor babi yang sekarat.

Akhirnya, kini, mereka harus menerima kenyataan bahwa Damhuri adalah lelaki pemberani yang ternyata memiliki pusat raga yang tampak perkasa, seperti lelaki sejati pada umumnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar