Sabtu, 13 Maret 2021

Yang Hilang

Aku berhadapan lagi dengan layar laptop. Kembali berusaha menyusun kata-kata tentang harapan hidupku. Merangkai puisi, seperti yang sering kulakukan di masa lalu.

Tetapi nyaris setengah jam berlalu. Aku belum juga merampungkan larik-larik menjadi bait. Aku seperti kehilangan semangat setelah aku kehilangan harapan terhadapmu.

Akhirnya, aku menyerah, lantas menghapus kata-kata yang kehilangan arah. Aku lalu kembali mengurai isi blogku, dan merasa-rasai lagi emosiku kala menyusun makna tentangmu.

Setelah puas, aku lantas kembali mengkhayalkan cintaku di dalam hatimu, di masa lalu. Aku kembali membaca kalimat-kalimat di blogmu, dan menafsir-nafsir lagi perasaanmu kepadaku.

Aku tak tahu, apakah kau pernah juga menyibak laman hatiku dan mencari-cari dirimu. Kita memang tak pernah bertukar tanggapan tentang bahasa hati kita masing-masing.

Namun kemungkinan kita, akhirnya tamat setelah memudar dalam waktu yang lama. Kita hanyalah sepasang penulis rasa yang tak pernah berkirim surat secara langsung.

Cerita tentang kita, sudah tandas di dalam rahasia. Selesai sebelum sempat dimulai. Kita berpisah jarak sebelum menyatakan mimpi kita yang entah sejalan atau tidak.

Kini, kesempatan sudah berlalu. Kesanggupanku untuk membahagiakanmu, datang dengan terlambat. Kau telah menikah setahun yang lalu, sebelum aku menggapai kemapananku untukmu

Akhirnya, aku kembali teringat pada kebersamaan terakhir kita, lima tahun yang lalu, yang tak mampu juga memaksaku untuk jujur tentang perasaan masing-masing.

“Aku dapat beasiswa. Besok, aku akan ke pulau seberang, untuk kuliah,” kataku kemudian, saat kita tengah duduk bersampingan di Dermaga Putih, di Pantai Harapan, kala senja.

Seketika, aku melihat raut wajahmu yang asing, yang tak bisa kudefinisikan. “Itu yang kau harapkan, kan? Pergi dari kota besar dan bertemu orang-orang baru?”

Aku mengangguk bodoh dengan perasaan yang kecut, lantas segera menimpali. “Tetapi kalau kuliahku selesai, aku akan pulang ke sini. Aku akan mencari penghidupan di sini.”

“Ya, memang semestinya begitu. Apalagi, ayah-ibumu, pasti membutuhkan kehadirianmu di sini,” timpalmu, lantas melayangkan senyuman yang bersahaja.

Aku hanya balas tersenyum, dengan teriakan janji di dalam hatiku, bahwa aku pasti akan pulang, bukan saja karena tanah ini adalah tanah leluhurku, tetapi juga karena kau ada di sini.

Sampai akhirnya, hari itu berakhir dan menjadi pembatas kita. Maka demi tekadku untuk pulang dan hidup bersamamu, aku pun menuliskan puisi pada secarik kertas yang hilang entah di mana.

Tetapi kini, aku tak lagi risau atas hilangnya puisi itu. Bagaimana pun, cita-cita yang kugantungkan di dalamnya, bahwa kelak kita akan bersama, telah menjadi ketidakmungkinan.

Saat ini, aku pun bisa menerima bahwa kau hanyalah kenangan indah bagiku, setelah kau menjadi milik lelaki lain. Apalagi, akulah yang salah, yang telah menggantungkanmu demi cita-citaku.

Dan sekarang, di tengah hasratku untuk bernostalgia, aku lantas mengetik tempat favorit kita, yang menjadi tempat kebersamaan kita untuk terakhir kalinya: Demaga Putih, Pantai Harapan.

Sesaat kemudian, di tengah keasyikanku menikmati gambar-gambar tempat itu di layar kaca, tiba-tiba, aku menemukan sebuah puisi yang seketika mencuri perhatianku:

 

Akan Kembali

Di Pantai Harapan yang terakhir

Kita menatap seberang di Dermaga Putih

Menghitung-hitung jarak dalam waktu yang merangkak

Meski esok aku akan pulang untuk kau di sini

Dan yang lama tak lagi menyisakan rindu

Tentang cinta di hari-hari kemudian

 

Sontak, aku pun teringat pada puisi yang kutulis lima tahun yang lalu, sebab puisi di blog yang entah milik siapa itu, persis sama dengan puisiku yang telah hilang.

Sampai akhirnya, perasaanku terenyuh saat membaca sebuah unggahan komentar di bawah puisi tersebut. Sebuah komentar yang tertulis dengan akun blogmu, empat tahun yang lalu:

 

Puisi ini mengingatkanku pada seseorang yang aku cintai, yang kini berada di pulau seberang. Semoga kelak, Tuhan menakdirkan kami sebagai sepasang kekasih.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar