Kamis, 04 Maret 2021

Biji Salak

Akhirnya, aku melihat Baim secara langsung. Dia adalah seorang lelaki yang mengalami gangguan kejiwaan, sebagaimana kata orang-orang. Sudah dua hari aku memerhatikan gerak-geriknya dari balik jendela penginapanku. Dan setiap sore, aku akan melihatnya duduk termenung di gerbang lorong, sambil meremas-remas biji salak di dalam genggaman tangannya.

Sudah sangat lama aku memendam rasa penasaran tentang sosok lelaki itu. Sejak dua tahun yang lalu, di kota seberang, aku telah berjanji kepada Mila, anakku, untuk menemuinya demi menyampaikan pesan penting. Hingga akhirnya, aku berada di kota ini setelah mendapatkan tugas dari kantorku untuk mengikuti sebuah seminar, dan aku bertekad menunaikan janjiku itu.  

Tetapi sampai detik ini, aku belum juga memiliki kesanggupan untuk bertemu dengan lelaki itu dan menyampaikan maksudku. Atas keadaan jiwanya yang tidak stabil, aku takut salah melakukan pendekatan dan membuat emosinya terguncang. Sebab itulah, aku terus saja memantau dan mempelajari tingkah lakunya sebelum mengambil tindakan.

Namun waktu terus berjalan. Kesempatanku sisa beberapa jam saja. Pada awal malam nanti, sesuai jadwal, aku akan kembali ke kota seberang. Karena itulah, aku terus berjuang untuk memikirkan taktik pendekatan yang tepat, agar aku bisa menyampaikan pesan putriku kepadanya secara baik. Tetapi keberanianku masih saja pasang dan surut di tengah strategiku yang masih kacau.

Sampai akhirnya, sore ini, saat aku terus berusaha untuk mematangkan rencana dan menguatkan hatiku, tiba-tiba, terjadi keriuhan. Seorang lelaki paruh baya, secara sengaja, telah menyepak pergelangan tangan Baim dengan maksud meledek, hingga biji salaknya terlempar dan mendarat entah di mana. Sontak Baim pun lekas mencarinya ke badan jalan, hingga menimbulkan kemacetan.

Dalam beberapa lama, Baim terus berkitar-kitar ke segala sisi. Ia tampak berupaya keras untuk menemukan biji salak itu. Namun ia tak kunjung berhasil. Hingga akhirnya, terjadilah peristiwa yang menegangkan. Baim mendekati lelaki paruh baya itu dengan wajah geram. Kemudian tanpa aba-aba, ia lantas menghantamnya dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi.

Dengan langkah buru-buru, aku pun menuruni tangga penginapan untuk menuju pada pusat kegaduhan. Sampai akhirnya, aku melihat darah pada wajah lelaki paruh baya itu akibat kemarahan Baim yang tak juga berhenti mencengkeram dan menghajarnya, meski orang-orang berusaha melerai.

“Berhenti, Baim!” seruku kemudian, dengan begitu saja, tanpa keraguan. Aku lalu menunjukkan sebuah biji salak kepadanya.  “Lihat, aku telah menemukan biji salakmu!”

Sontak, Baim pun berhenti melampiaskan amarahnya yang mendalam. Matanya tampak menyorot biji salak yang aku perlihatkan. Lalu dengan raut penuh penasaran, ia kemudian bangkit dan mendekat ke sisiku.

Aku lantas memancing, “Ini biji salak yang kau cari, kan?”

Ia lekas mengambil biji salak itu dari telapak tanganku. Ia lalu memandanginya beberapa saat, kemudian mengangguk dengan raut yang datar.

Aku pun mendengkus. Merasa lega.

Dengan tanpa beban, seolah tak pernah terjadi apa-apa, Baim lalu berbalik badan, kemudian melangkah menuju pada titik diamnya setiap sore, pada sebuah tembok dudukan di gerbang lorong.

Perlahan-lahan, keadaan kembali tenang seperti semula.

Namun di tengah misiku yang belum tuntas, seketika saja, aku bingung tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku merenung saja, sembari mengingat-ingat pesan permohonan Mila, putri semata wayangku, kala ia tengah terbaring di rumah sakit, dua tahun yang lalu:

“Aku mohoh, temui dia, Bu. Ceritakanlah kepadanya tentang apa yang terjadi padaku. Berikanlah ini kepadanya,” pinta Mila, anak semata wayangku, sembari menyerahiku sebuah biji salak yang melambangkan kesetiaan cintanya kepada Baim, sebagaimana yang akhirnya kupahami dari isi buku catatan hariannya yang kutemukan kemudian.

Aku pun mengiyakan dan menjanjikan untuk mewujudkan permohonannya.

Sejak saat itu, aku pun menjaga biji salak darinya. Sebuah benda yang menanti untuk bersatu dengan pasangannya di sisi Baim. Sepasang benda yang menjadi pengingat dan pengikat hati di antara dia dengan Baim. Sepasang benda yang lahir dari satu buah salak yang mereka bagi menjelang hari perpisahan mereka pada satu sore. Sepasang benda yang menyimpan janji mereka untuk bertemu kembali dan bersatu pada satu saat nanti.

Namun akhirnya, takdir memisahkan mereka. Mila telah pergi untuk selamanya, dan Baim masih saja menunggu kedatangannya.

Kini, aku telah memenuhi separuh janji kepada putriku. Aku telah memberikan biji salaknya kepada Baim, ketika satu biji pasangannya, yang merupakan pegangan lelaki itu, telah hilang entah ke mana. Namun aku masih sangat ragu untuk menuntaskannya dengan menjelaskan kepada lelaki itu bahwa dua tahun yang lalu, putriku, kekasih hatinya, telah meninggal akibat kelainan jantung yang ia idap sejak lahir. Aku takut kalau jiwanya terguncang.

Sampai akhirnya, aku menyerah pada kebingunganku sendiri. Aku lalu kembali ke dalam ruang penginapan untuk kembali memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan perihal putriku kepadanya.

Waktu bergulir cepat.

Ketika malam menjelang, sebelum Baim mengakhiri penantiannya hari ini, dan sebelum aku meninggalkan kota ini, akhirnya, aku menetapkan rencana untuk menyampaikan semua perihal Mila kepada Baim tanpa banyak berkata-kata.

Sesaat kemudian, sebelum aku benar-benar pergi, aku pun menghampiri Baim di titik penantiannya.

“Ada bingkisan untukmu, Baim,” kataku kemudian, sembari menyodorkan buku catatan harian putriku yang telah kubungkus dengan kertas kado. Sebuah buku yang memuat rahasia hati putriku untuknya sepanjang hidup.

Baim pun menyambut buku itu dengan raut penuh tanya.

Tanpa menunggu apa yang terjadi kemudian, aku lantas beranjak menuju ke bandara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar