Kamis, 04 Maret 2021

Barang Terlarang

Agus telah menggapai cita-cita masa kecilnya. Sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak, ia selalu menunjukkan keinginannya untuk menjadi seorang polisi. Ia ingin menjadi pembela kebenaran dan pemberantas kejahatan, seperti sosok hero yang sering ia tonton di layar televisi.

Meski cita-cita di masa kanak-kanak hanyalah harapan yang asal-asalan, Agus malah selalu mengingatnya sebagai petunjuk takdir. Ia tak pernah lupa pada kegemarannya bertingkah layaknya polisi di masa dahulu, dan ia pun jadi terpacu untuk benar-benar mewujudkannya.

Beruntung, Agus mendapatkan dukungan dari ayah dan ibunya. Bahkan cita-citanya itu terus terjaga karena motivasi dari kedua orang tuanya. Apalagi, dengan menjadi  polisi, ia dianggap bisa meninggikan martabat dan mengharumkan nama baik keluarga.

Sebab itulah, sejak dahulu, Agus mendapatkan didikan kebaikan yang keras dari orang tuanya. Ia digembleng untuk menjadi orang baik, sebab kata mereka, hanya orang baik yang bisa menjadi polisi yang baik. Bahkan tak sesekali saja ia mendapatkan hardikan ketika ketahuan berbuat nakal.

Dan kini, Agus pun tampil sebagai seorang polisi berbudi baik, sebagaimana bentukan kepribadiannya sejak dahulu. Ia menjadi pemberantas kejahatan yang tak pernah melakukan kejahatan. Ia menyelidiki penyimpangan tanpa punya pengalaman menyimpang.

Sampai akhirnya, Agus pun mendapat tugas untuk menyelidiki proses peredaran barang terlarang di sebuah desa. Ia dibebankan misi untuk menguak jaringan perdagangan miras dan narkotika di tengah masyarakat. Dan mau tak mau, siap tidak siap, ia harus melaksanakan perintah itu.

Untuk melancarkan aksinya, Agus kemudian menyamar sebagai seorang butuh tani yang datang dari pulau seberang. Berbekal berkas-berkas duplikasi data diri dan cerita rekayasa tentang latar belakangnya, ia pun diterima bekerja oleh seorang warga yang memiliki tanah yang luas.

Hari demi hari, Agus pun hidup layaknya buruh tani pada umumnya. Ia berangkat ke sawah pada pagi hari, lalu pulang setelah lewat tengah hari. Ia melakukan pemupukan, penyemprotan, dan penjagaan terhadap tanaman padi untuk menjamin panen berhasil di lahan sang bos.

Tetapi untuk kesuksesan misinya, Agus tak bisa hanya tampil sebagai dirinya yang baik. Untuk menyelidiki peredaran barang terlarang, ia mesti menyamar menjadi lelaki berandal. Atau paling tidak, ia harus membenarkan penyimpangan warga, agar ia diizinkan masuk ke dalam pergaulan.

Berbekal kemampuan bertingkah bohong yang sementara waktu tak ia anggap dosa, ia pun berhasil melakukan pendekatan. Atas perantaraan sang bos tani yang juga pemabuk, yang merupakan salah seorang pendana yang baik, ia akhirnya diterima sebagai bagian dari kelompok pemadat itu.

Aksi penyamaran kemudian terasa mudah bagi Agus. Selepas bertani di siang hari, pada malam hari, ia akan berkumpul dan bersenda-gurau dengan para warga. Di satu rumah warga yang menyepi dari rumah-rumah yang lain, ia akan nimbrung dengan maksud ganda.

Pada tempat nongkrong itulah, Agus menyelidiki peredaran barang-barang terlarang di tengah warga. Ia berusaha membaca peran setiap anggota pecandu itu di dalam jaringan. Dan perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati, ia mulai melakukan penelusuran tersebunyi.

Sampai akhirnya, di tengah aktivitas penyelidikannya, pada satu malam, kelompok itu kembali menyelenggarakan pesta. Bersama sang bos, Agus kembali menuju ke markas para pemabuk itu setelah mendapatkan undangan untuk bermaian kartu dan berleha-leha.

Setelah sampai, seketika, Agus mendapatkan sambutan hangat dari enam orang yang ada, seolah seperti wakil pemimpin yang terhormat. Dan tanpa menunggu lama, ia pun turut dalam permainan domino dengan sistem berdikari, dengan mempertaruhkan sebungkus rokok masing-masing.

Tak lama berselang, Marno, pemilik rumah, seorang duda yang ditinggal pergi oleh istri dan anak semata wayangnya, datang dari ruang belakang, sembari membawa minuman di dalam botol miras dan juga minuman di dalam teko. Lelaki itu memang selalu menyajikan minuman keras untuk para pemabuk, dan sirup untuk yang bukan, seperti Agus.

Akhirnya, setelah orang-orang di sekitarnya menenggak minuman di dalam motol miras, perlahan-lahan, Agus melihat mereka mulai bertingkah mabuk. Meski tidak biasa, seperti sebelumnya, Agus pun meniru saja kata-kata kotor mereka, untuk turut menambah keseruan.

Sampai akhirnya, di tengah tingkah kacaunya, sang bos kemudian menuturkan perintah untuknya, “Hai, Gus, minum! Ayo, minum!” titahnya, saat kartu domino tengah dikocok.

Sontak, Agus terperanjat. Pasalnya, sang bos yang sebelumnya selalu membela ia ketika orang-orang menyuruhnya menenggak minuman keras, malah memerintahkan ia untuk melakukannya.

“Ayolah! Sampai kapan kau mau jadi culun begini?” tantang sang bos, tegas, sambil menyodorkan botol miras untuknya. “Ambillah! Minum!”

Agus pun menerima sodoran sang bos, dan menjadi sangat bimbang.

“Ayo, minumlah, cepat!” ajak seorang yang lain, dengan rupa teler.

Akhirnya Agus pun menyesap minuman itu sekali dengan penuh keengganan, kemudian meletakkannya.

“Ah, masa begitu saja?” ejek seorang yang lain.

Demi menjaga hubungan perkawanan dan melancarkan rencananya, akhirnya, Agus menenggak minuman itu, seteguk demi seteguk.

“Ayolah! Habiskanlah, sampai mabuk!” pinta sang bos.

Merasa terlanjur basah, Agus pun benar-benar menandaskan isi di dalam botol miras itu, sembari penasaran atas kondisi teler yang tidak pernah ia rasakan selama hidup. Tetapi ganjilnya, ia tetap merasa berada di dalam kesadaran. Padahal, orang-orang di sekitarnya telah teler hanya dengan menenggak segelas minuman itu. Hingga akhirnya, ia bersyukur saja, sebab barangkali, kekuatan ajaib telah menghindarkannya dari mabuk yang dosa.

“Bagaimana? Kau sudah mabuk?” tanya sang bos kemudian, dengan gerak-gerik yang tampak tidak stabil.

Tak ingin benar-benar mabuk setelah selamat entah bagaimana, Agus pun pura-pura mabuk. “Ah, iya. Sekarang aku mabuk,” katanya, dengan tingkah bodoh, layaknya tingkah orang mabuk yang sering ia saksikan.

Sang bos pun kembali bertanya, “Bagaimana rasanya mabuk?”

Dengan menggoyang-goyangkan kepala dan meredup-redupkan sorot matanya, Agus pun berseru, “Ah, asyik, Bos! Mantap!”

Seketika, sang bos pun tertawa patah-patah, lalu diam setelah tawa yang keras.

Dua orang lawan dominonya yang lain, juga pemain domino pada grup lain, turut tertawa sambil menoleh padanya.

Agus pun jadi heran melihat tingkah mereka.

Sang bos lalu menepuk keras pundaknya. “Ah, kau ini benar-benar lucu, Gus. Masa sirup bisa membuatmu benar-benar mabuk,” olok sang bos, kemudian kembali tertawa terbahak-bahak.

Sekejap kemudian, Agus pun melihat perilaku orang-orang di sekitarnya kembali normal. Sontak, ia merasa bodoh sendiri telah terjebak ke dalam sandiwara mereka.

“Tetapi gayamu benar-benar oke, Gus. Kau tampak seperti orang yang mabuk betulan,” puji seorang yang lain.

Dengan perasaan limpung, Agus turut menertawakan dirinya sendiri.

Dari grup sebelah, Marno pun menimpali, “Nanti, kalau pasokan ada lagi, kita harus melihat Agus benar-benar mabuk.”

“Setuju,” timpal seorang di sampingnya.

Mereka semua kembali tertawa.

Agus ikut saja tertawa dengan perasaan yang kacau.

Sejak saat itu, Agus semakin berhati-hati. Ia tak ingin kecolongan lagi, apalagi sampai membahayakan dirinya. Karena itu, ia kembali mempelajari literatur di internet untuk memperdalam pengetahuan tentang ciri-ciri barang terlarang dan ciri-ciri para pecandu yang teler.

Sampai akhirnya, dua hari kemudian, pada awal malam, pesta kembali digelar. Seperti sebelumnya, Agus pun turut saja pada sang bos, demi melancarkan misinya sendiri.

Setelah sampai, orang-orang kembali menertawakannya, seolah-olah mereka masih tergelitik mengingat tingkah bodohnya di pesta sebelumnya.

Demi misinya, Agus berusaha tampil biasa saja.

“Apa kau sudah siap untuk teler?” singgung Marno, lalu tergelak.

Agus tersenyum saja, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sebaiknya, jangan dipaksa. Sepertinya dia agresif kalau benar-benar teler. Bisa-bisa, kita dihajarnya,” kata sang bos, dengan raut meledek.

Sontak, mereka kembali tergelak.

“Jadi, sebaiknya begini. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan akibat tingkah mabuk Agus, kita berpesta saja, dan biarlah Agus merokok sambil meminum kopi, agar ia tenang dan tidak membahayakan,” timpal Marno, dengan raut mengolok.

“Lebih baik begitu, Pak,” tanggap seorang yang lain.

Mereka semua pun berseru setuju.

Agus hanya tertawa mendengus.

Akhirnya, pesta pun dimulai. Sebanyak sebelas orang berkaraoke dan berjoget ria, seolah lupa daratan.

Di pojok ruangan, Agus duduk seorang diri, sambil mengisap rokok elektrik yang sengaja disediakan untuknya.

Sesaat kemudian, dari dalam ruang belakang, Marno muncul sambil membawa beberapa botol minuman keras.

Seketika, orang-orang yang lain menyerbu dan menenggak minuman tersebut.

Diam-diam, Marno percaya tidak percaya saja terhadap isi botol miras itu setelah sebelumnya telah terperdaya oleh tipuan. Apalagi, kepeduliannya tentang semua itu perlahan-lahan surut setelah ia semakin asyik dengan isapan rokok elektriknya sendiri.

Hingga akhirnya, dengan kesadaran yang semakin redup, Agus menyaksikan orang-orang di sekitarnya bergerak mengerubungi meja. Lalu samar-samar, ia pun melihat bong, alat penghisap sabu-sabu, di tengah-tengah mereka.

Sontak, di batas kesadaran dan ketidaksadarannya akibat isapan rokok elektrik yang ajaib, Agus pun terperanjat, sebab barang bukti dan fakta kejahatan yang selama ini ia incar, telah terpampang jelas di depan matanya.

Dengan sikap tubuh yang kacau sebagai orang yang tengah teler, Agus lalu bangkit dari posisi duduknya, kemudian menuding-nuding mereka semua dengan jari telunjuk. “Hai, ini pesta terlarang, Bung. Sabu-sabu, Ya?” ketusnya, lantas melepas tawa.

Seketika, semua orang tergelak keras melihat tingkahnya.

Dengan gerak sempoyongan, Agus lalu merogoh ponsel di kantong celananya, kemudian berbicara dengan seseorang di ujung telepon, “Halo, komandan, kirim pasukan ke TKP, sekarang. Sasaran sedang berpesta dengan barang bukti yang kita sasar,” lapornya, dengan tutur kata yang keras dan tidak stabil. “Baik, Komandan. Siap!” pungkasnya kemudian.

Tawa orang-orang pun semakin kencang atas tingkahnya.

“Hai, gerombolan polisi akan datang ke sini dan menangkap kalian semua,” terangnya, kemudian tertawa mendengus. “Aku ini polisi, Bodoh…!”

Lagi-lagi, orang-orang itu hanya tergelak. Mereka sama sekali tidak percaya.

Beberapa lama kemudian, seiring tawa-tawa mereka yang tak berkesudahan melihat tingkah Agus yang sudah tidak waras di tengah ketidakwarasan mereka masing-masing, akhirnya, kawanan polisi benar-benar datang menyergap.

Sontak, mereka pun kalang kabut. Namun tanpa perkiraan dan persiapan untuk kabur, mereka semua diringkus dengan sangat mudah.

Akhirnya, misi Agus berhasil ketika ia ditemukan sedang terkulai lemas dan melupakan dirinya sendiri.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar