Jumat, 15 Juli 2016

Rindu

Penantian panjang telah dilaluinya. Namanya Ranti. Orang di kampung sering memanggilnya Nenek Ukuk, sebab badannya membungkuk. Ia terlahir ke dunia 70 tahun yang lalu. Di usianya yang uzur, kesepian malah merundungnya. Ia begitu merindukan anak semata wayangnya, Bario.

Kerinduan memang baru mendera batinnya dalam hitungan tahun. Tapi di rentang waktu itu, tiap detik serasa berabad-abad. Rasa sepi pun jadi sangat menikam sukmanya. Apalagi, di rumahnya, tak ada siapa-siapa. Berbeda dengan rumah-rumah tentangga yang penuh senda-gurau dan pekikan anak-anak kecil.

Sepuluh tahun lalu, Ranti tak begitu pilu dan sepi sendiri, seperti sekarang. Kala itu, masih ada Bidu, suaminya yang begitu perhatian sepanjang pernikahan mereka. Semasa belum menjanda itu, sang suami senantiasa menghiburnya kala merindukan Bario, anak yang dulu dinanti kelahirannya selama delapan tahun, sejak ia menikah di usia 27 tahun.

Keadaan nelangsa ini telah diwanti-wanti Ranti sejak dahulu. Itulah sebabnya, 21 tahun lalu, setamat Bario SMP, ia meminta kepada sang suami untuk tidak memaksa sang anak melanjutkan sekolah di kota, di tempat yang jauh. Apalagi Bario memang ogah-ogahan melanjutkan sekolah. 

Permintaan Ranti itu, nyatanya ditolak. Almarhum suaminya tetap memaksa. Ia tak ingin melihat sang anak susah payah mencari rezeki. Hidup sebagai petani atau pengembala, bukanlah pekerjaan yang mudah. Harus peras keringat, dengan keuntungan yang tak menentu. 

Kini, cita-cita sang suami terwujud. Jenjang pendidikan Bario melebihi semua pemuda desa di kampungnya. Titel sarjana ekonomi telah tersemat di belakang namanya. Sebuah pencapaian yang membuatnya disegani masyarakat kampungnya. Ranti pun dielu-elukan karena itu. Ia dianggap berhasil mendidik anaknya.

Di kampung sepi, tempat tinggal Ratih, kebanyakan pemuda hanya tamat SMP. Sekadar memenuhi wajib belajar sembilan tahun. Asal tahu dasar membaca, menulis, dan berhitung, itu sudah cukup. Selepas putus sekolah, mereka akan menikah dan beranak-pinak. 

Di sisi lain, pencapaian Bario, nyatanya bukan harapan utama bagi Ranti. Malah, kini ia selalu membayangkan, seandainya saja Bario menjadi seperti anak kampung yang lain, pastilah ia tak akan kesepian. Bahkan mungkin, sekarang ia telah menimang cucu dan cicit yang membuat suasana rumahnya menjadi hidup. 

Syukurlah. Hari ini, kegelisahan Ranti akan sedikit terobati. Jika Tuhan merestui, Bario akan datang. Kedatangan itu bukan maksud untuk menemuinya tanpa alasan. Bario pulang untuk menjenguknya. Ranti mengaku tak enak badan. Jika bukan karena alasan itu, tak akan ada kabar tentang Ranti kepada Bario. 

Kemarin-kemarin, Ranti tak tega berkeluh-kesah kepada Bario tentang keadaan dan kerinduannya. Ia takut malah mengganggu kesibukan sang anak. Tapi belakangan ini, Ranti tak kuasa lagi menahan kekalutannya karena rindu. Akhirnya, Yanti, tetangganya yang masih gadis, mengirimkan pesan singkat kepada Bario tentang pengakuan Ranti.

Malam pun tiba, tapi Bario belum juga datang. Padahal, jika perjalanannya lancar, paling lambat, Bario akan sampai sebelum gelap. Keadaan itu membuat Ranti sangat khawatir. Takut terjadi apa-apa. Di detak waktu yang terasa merangkak, rindunya yang menumpuk, semakin menyesakkan. Apalagi, Bario tak membalas pertanyaan Yanti lewat pesan singkat, tentang keberadaannya sekarang.

Ranti menunggu di dalam rumah dengan harap-harap cemas. Yanti tetap di pelataran depan untuk memantau kedatangan Bario. 

Terdengarlah suara keresek dedaunan dan tangkai pepohonan di samping rumah. Ranti tak ingin memastikan itu tanda kedatangan Bario. Mungkin hanya ulah binatang malam. Apalagi, sedari tadi, suara semacam itu sudah sering terdengar. 

“Bario?” Yanti bersuara. Ia memastikan kedatangan lelaki yang sedari tadi dinanti.

Di jarak itu, Ranti masih bisa mendengar jelas. Ia yakin, Yanti sedang menyebut nama anaknya. Tidak berselang lama, terdengar suara letuk-letukan pada lantai rumah panggung yang terbuat dari papan. Dan, dalam hitungan detik, Bario telah berdiri di depannya. 

“Bario telah datang, Bu,” tutur Yanti.

“Bario…,” seru Ranti dengan suara paraunya. Ia lalu menopang badannya sekuat tenaga, berusaha bangun dari pembaringan. Segera, ia memandang lekat-lekat wajah dan memegang pipi Bario, menerkanya secara jelas. Seketika juga, tanpa aba-aba, ia mencium dahi anaknya itu, memeluknya, sembari menangis penuh bahagia.

Jelas, Ranti sangat merindu saat ini. Pada 21 tahun lalu, saat SMA, Bario hanya pulang kala libur semester. Bahkan berjalan empat tahun berikutnya, semasa kuliah, ia hanya pulang tiap lebaran Idul Fitri. Dan, selama empat belas tahun belakangan, setelah Bario bekerja pada perusahaan swasta di pulau seberang, baru tujuh kali ia sempat bersua. Kepulangannya di hari lebaran, kala urusan kantor tak menyibukkan, dan saat hari ayahnya meninggal dunia.

Bario melepaskan pelukannya pada sang Ibu. Ranti pun melepas pelukannya.

“Aku baik-baik saja Bu. Coba lihat! Ibu tak usah khawatir,” tutur Bario. 

Ranti masih dengan sikap yang sama. Rasa haru bercampur khawatir, masih terpancar di wajahnya. 

“Kata Yanti, Ibu sakit? Sakit apa?” tanya Bario.

Ranti tak membalas pertanyaan itu. Ia terus saja memandangi wajah  anaknya, mengusap badan dan kepalanya, sambil terus melafalkan namanya.

Yanti berdeham. “Keadaan Ibu sepertinya sudah membaik. Kemarin, ia mengaku tak enak badan. Ia juga tak makan dengan lahap seperti sebelumnya. Aku jadi khawatir akan terjadi apa-apa. Jadi, kuhubungilah Kak Bario,” jelas Yanti yang sebenarnya seumuran dengan Bario. “Bisa jadi, itu karena Ibu sudah sangat merindukan Kak Bario. Kan, sudah lama Kakak tak pulang ke sini.”

“Sudah kuduga, Ibu pasti mengawatirkanku. Kan sudah kubilang pada Ibu, kalau aku akan baik-baik saja di sana. Aku sudah dewasa Bu,” ucap Bario.

Ratih masih dengan sikap yang sama. Kerinduannya seperti belum terhempas habis.

“Maklumlah Kak, namanya juga orang tua. Dia pasti merindukan anaknya,” tanggap Yanti, yang sebenarnya, juga teman semasa kecil Bario. 

Melihat keadaan yang mengharukan itu, Yanti sadar diri. Ia merasa sebaiknya meninggalkan anak-ibu itu agar kerinduan mereka sirna dalam kekhidmatan. Ia pun pamit, lalu pergi, meski di malam-malam sebelumnya, ia senang hati menemani dan membantu keperluan Ratih, kapanpun.

Ibu-anak, Ratih dan Bario, kini hanya berdua di ruang sunyi.

“Kenapa datang terlambat Nak. Harusnya kan, sore tadi, kamu sudah tiba. Ibu sangat khawatir terjadi apa-apa denganmu di perjalanan Nak,” tutur Ratih. Emosinya mulai stabil. 

“Oh. Aku dapat tiket pesawat yang berangkatnya sore Bu. Yang pagi sudah habis. Kalau naik kapal, kelamaan Bu. Berangkat subuh, sampai tengah hari. Bikin gerah. Jadi aku pilih naik pesawat. Lebih mahal, memang. Tapi, Ibu kan tahu, aku sudah sukses. Uang tak menjadi masalah buat aku Bu,” jelas Bario, membanggakan dirinya.

Percakapan mereka lalu berlanjut dengan pembahasan tentang diri Bario. Ibunya terus menanggapi dan bertanya, sampai Bario tak sekalipun bertanya tentang keadaan ibunya selama ini. Dengan senang hati, Bario menceritakan sederet kesibukannya selama bekerja di perusahaan asing. Ia menceritakan semua detail pencapaiannya, bahkan tentang sepatu yang dibelinya di luar negeri dengan harga Rp. 5 juta. Ia merasa, Ibunya pasti bangga mengetahuinya, sebagaimana harapan ayahnya dahulu.

Akhirnya, lengang setelah Bario lelah berceloteh.

“Kamu kan sudah berhasil Nak. Bukankah sebaiknya kau menikah secepatnya? Kalau Ibu tidak salah, umurmu kini sudah 35 tahun,” tutur Ratih. “Menikahlah segera Nak, agar Ibumu yang sudah renta ini, masih sempat menimang cucu sebelum menghadap Tuhan. Kalau kau tak punya calon, Ibu siap meminta Yanti untuk menikah denganmu. Dia gadis yang sangat baik Nak. Selama ini, ia selalu menemani dan membantu Ibu.”

“Apa? Menikah? Yanti? Aduh, Ibu. Tak usah khawatir soal itu. Kalau aku mau menikah, kapan saja aku bisa. Ibu tahulah, sekarang kan, aku sudah kaya. Anak Ibu ini kan, tampan juga. Di kota, banyak wanita yang tergila padaku Bu. Mereka cantik-cantik, tajir lagi. Yanti tak ada apa-apanya dibanding mereka,” balas Bario dengan enteng, seperti tanpa beban.

Seketika juga, bunyi keresek dedaunan dan ranting pepohonan di samping rumah, kembali terdengar. Lebih berisik dari biasanya. Seperti suara dua ekor binatang yang sedang beradu. Tapi, itu terdengar hanya sekejap. Sumber suaranya semakin lama, semakin menjauh, lalu senyap.

Ratih menolehkan kepalanya. Ia mencoba memfokuskan pendengarannya pada sumber suara.

“Angin kencang. Sepertinya akan hujan Bu,” tebak Bario yang belum bisa menerka suara bertanda pada daun-daun pedesaan. Apalagi ia sudah mengantuk. Segera mengakhiri obrolan malam ini adalah tujuannya. “Sebaiknya Ibu segera tidur.”

“Iya. Sebaiknya begitu Nak. Apalagi kau pasti capek,” tutur Ratih, sembari tersenyum.

“Oh iya, karena Ibu baik-baik saja, aku berencana, segera pulang besok. Aku punya urusan kantor besok lusa Bu. Dalam waktu dekat, aku juga akan ke luar negeri. Ibu pasti bangga kan? Nantilah kalau aku ke sini, biar kubawa foto-fotoku Bu, sebagai kenang-kenangan,” tutur Bario, semringah. “Segeralah tidur Bu, supaya besok, keadaan Ibu bugar dan aku bisa segera pergi.”

Ratih hanya mengangguk sambil berusaha mempertahankan senyumannya. Raut wajahnya yang sebelumnya ceria dan tulus, berubah aneh. Ia seperti tak kuasa menerima kenyatan bahwa besok, anak semata wayangnya itu akan pergi lagi dan tak tahu kapan akan kembali. 

Malam ini, sepertinya, Ratih akan sulit terlelap. 

Dalam diamnya, Ratih mengingat lagi pernyataannya kala berdebat dengan sang suami, tentang apakah Bario akan melanjutkan sekolah di bangku SMA atau tidak.   

Aku takut kesepian Pak. Aku yakin tak akan tahan merindukan Bario begitu lama, saat ia berada jauh, di tempat yang lain. Aku takut anak kita kenapa-kenapa. Aku takut ia berubah.  Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, kalau nanti, ia malah melupakan kita Pak?

Dan malam itu juga, ada rindu yang tak terbalaskan di hati Ratih. Di satu hati yang lain, bahkan, ada rindu yang harus terbunuh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar