Penantian
panjang telah dilaluinya. Namanya Ranti. Orang di kampung sering memanggilnya
Nenek Ukuk, sebab badannya membungkuk. Ia terlahir ke dunia
70 tahun yang lalu. Di usianya yang uzur, kesepian malah merundungnya. Ia
begitu merindukan anak semata wayangnya, Bario.
Kerinduan
memang baru mendera batinnya dalam hitungan tahun. Tapi di rentang waktu itu,
tiap detik serasa berabad-abad. Rasa sepi pun jadi sangat menikam sukmanya.
Apalagi, di rumahnya, tak ada siapa-siapa. Berbeda dengan rumah-rumah tentangga
yang penuh senda-gurau dan pekikan anak-anak kecil.
Sepuluh
tahun lalu, Ranti tak begitu pilu dan sepi sendiri, seperti sekarang. Kala itu,
masih ada Bidu, suaminya yang begitu perhatian sepanjang pernikahan mereka. Semasa
belum menjanda itu, sang suami senantiasa menghiburnya kala merindukan Bario,
anak yang dulu dinanti kelahirannya selama delapan tahun, sejak ia menikah di
usia 27 tahun.
Keadaan
nelangsa ini telah diwanti-wanti Ranti sejak dahulu. Itulah sebabnya, 21 tahun
lalu, setamat Bario SMP, ia meminta kepada sang suami untuk tidak memaksa sang
anak melanjutkan sekolah di kota, di tempat yang jauh. Apalagi Bario memang
ogah-ogahan melanjutkan sekolah.
Permintaan
Ranti itu, nyatanya ditolak. Almarhum suaminya tetap memaksa. Ia tak ingin
melihat sang anak susah payah mencari rezeki. Hidup sebagai petani atau
pengembala, bukanlah pekerjaan yang mudah. Harus peras keringat, dengan
keuntungan yang tak menentu.
Kini,
cita-cita sang suami terwujud. Jenjang pendidikan Bario melebihi semua pemuda
desa di kampungnya. Titel sarjana ekonomi telah tersemat di belakang namanya.
Sebuah pencapaian yang membuatnya disegani masyarakat kampungnya. Ranti pun
dielu-elukan karena itu. Ia dianggap berhasil mendidik anaknya.
Di
kampung sepi, tempat tinggal Ratih, kebanyakan pemuda hanya tamat SMP. Sekadar
memenuhi wajib belajar sembilan tahun. Asal tahu dasar membaca, menulis, dan
berhitung, itu sudah cukup. Selepas putus sekolah, mereka akan menikah dan
beranak-pinak.
Di
sisi lain, pencapaian Bario, nyatanya bukan harapan utama bagi Ranti. Malah,
kini ia selalu membayangkan, seandainya saja Bario menjadi seperti anak kampung
yang lain, pastilah ia tak akan kesepian. Bahkan mungkin, sekarang ia telah
menimang cucu dan cicit yang membuat suasana rumahnya menjadi hidup.
Syukurlah.
Hari ini, kegelisahan Ranti akan sedikit terobati. Jika Tuhan merestui, Bario
akan datang. Kedatangan itu bukan maksud untuk menemuinya tanpa alasan. Bario
pulang untuk menjenguknya. Ranti mengaku tak enak badan. Jika bukan karena
alasan itu, tak akan ada kabar tentang Ranti kepada Bario.
Kemarin-kemarin,
Ranti tak tega berkeluh-kesah kepada Bario tentang keadaan dan kerinduannya. Ia
takut malah mengganggu kesibukan sang anak. Tapi belakangan ini, Ranti tak
kuasa lagi menahan kekalutannya karena rindu. Akhirnya, Yanti, tetangganya yang
masih gadis, mengirimkan pesan singkat kepada Bario tentang pengakuan Ranti.
Malam
pun tiba, tapi Bario belum juga datang. Padahal, jika perjalanannya lancar,
paling lambat, Bario akan sampai sebelum gelap. Keadaan itu membuat Ranti
sangat khawatir. Takut terjadi apa-apa. Di detak waktu yang terasa merangkak,
rindunya yang menumpuk, semakin menyesakkan. Apalagi, Bario tak membalas pertanyaan
Yanti lewat pesan singkat, tentang keberadaannya sekarang.
Ranti
menunggu di dalam rumah dengan harap-harap cemas. Yanti tetap di pelataran
depan untuk memantau kedatangan Bario.
Terdengarlah
suara keresek dedaunan dan tangkai pepohonan di samping rumah. Ranti tak ingin memastikan
itu tanda kedatangan Bario. Mungkin hanya ulah binatang malam. Apalagi, sedari
tadi, suara semacam itu sudah sering terdengar.
“Bario?”
Yanti bersuara. Ia memastikan kedatangan lelaki yang sedari tadi dinanti.
Di
jarak itu, Ranti masih bisa mendengar jelas. Ia yakin, Yanti sedang menyebut
nama anaknya. Tidak berselang lama, terdengar suara letuk-letukan pada lantai
rumah panggung yang terbuat dari papan. Dan, dalam hitungan detik, Bario telah
berdiri di depannya.
“Bario
telah datang, Bu,” tutur Yanti.
“Bario…,”
seru Ranti dengan suara paraunya. Ia lalu menopang badannya sekuat tenaga,
berusaha bangun dari pembaringan. Segera, ia memandang lekat-lekat wajah dan
memegang pipi Bario, menerkanya secara jelas. Seketika juga, tanpa aba-aba, ia
mencium dahi anaknya itu, memeluknya, sembari menangis penuh bahagia.
Jelas,
Ranti sangat merindu saat ini. Pada 21 tahun lalu, saat SMA, Bario hanya pulang
kala libur semester. Bahkan berjalan empat tahun berikutnya, semasa kuliah, ia
hanya pulang tiap lebaran Idul Fitri. Dan, selama empat belas tahun belakangan,
setelah Bario bekerja pada perusahaan swasta di pulau seberang, baru tujuh kali
ia sempat bersua. Kepulangannya di hari lebaran, kala urusan kantor tak
menyibukkan, dan saat hari ayahnya meninggal dunia.
Bario
melepaskan pelukannya pada sang Ibu. Ranti pun melepas pelukannya.
“Aku
baik-baik saja Bu. Coba lihat! Ibu tak usah khawatir,” tutur Bario.
Ranti
masih dengan sikap yang sama. Rasa haru bercampur khawatir, masih terpancar di
wajahnya.
“Kata
Yanti, Ibu sakit? Sakit apa?” tanya Bario.
Ranti
tak membalas pertanyaan itu. Ia terus saja memandangi wajah anaknya, mengusap badan dan kepalanya, sambil
terus melafalkan namanya.
Yanti
berdeham. “Keadaan Ibu sepertinya sudah membaik. Kemarin, ia mengaku tak enak
badan. Ia juga tak makan dengan lahap seperti sebelumnya. Aku jadi khawatir
akan terjadi apa-apa. Jadi, kuhubungilah Kak Bario,” jelas Yanti yang
sebenarnya seumuran dengan Bario. “Bisa jadi, itu karena Ibu sudah sangat
merindukan Kak Bario. Kan, sudah lama Kakak tak pulang ke sini.”
“Sudah
kuduga, Ibu pasti mengawatirkanku. Kan sudah kubilang pada Ibu, kalau aku akan
baik-baik saja di sana. Aku sudah dewasa Bu,” ucap Bario.
Ratih
masih dengan sikap yang sama. Kerinduannya seperti belum terhempas habis.
“Maklumlah
Kak, namanya juga orang tua. Dia pasti merindukan anaknya,” tanggap Yanti, yang
sebenarnya, juga teman semasa kecil Bario.
Melihat
keadaan yang mengharukan itu, Yanti sadar diri. Ia merasa sebaiknya
meninggalkan anak-ibu itu agar kerinduan mereka sirna dalam kekhidmatan. Ia pun
pamit, lalu pergi, meski di malam-malam sebelumnya, ia senang hati menemani dan
membantu keperluan Ratih, kapanpun.
Ibu-anak,
Ratih dan Bario, kini hanya berdua di ruang sunyi.
“Kenapa
datang terlambat Nak. Harusnya kan, sore tadi, kamu sudah tiba. Ibu sangat
khawatir terjadi apa-apa denganmu di perjalanan Nak,” tutur Ratih. Emosinya
mulai stabil.
“Oh.
Aku dapat tiket pesawat yang berangkatnya sore Bu. Yang pagi sudah habis. Kalau
naik kapal, kelamaan Bu. Berangkat subuh, sampai tengah hari. Bikin gerah. Jadi
aku pilih naik pesawat. Lebih mahal, memang. Tapi, Ibu kan tahu, aku sudah
sukses. Uang tak menjadi masalah buat aku Bu,” jelas Bario, membanggakan
dirinya.
Percakapan
mereka lalu berlanjut dengan pembahasan tentang diri Bario. Ibunya terus
menanggapi dan bertanya, sampai Bario tak sekalipun bertanya tentang keadaan
ibunya selama ini. Dengan senang hati, Bario menceritakan sederet kesibukannya
selama bekerja di perusahaan asing. Ia menceritakan semua detail pencapaiannya,
bahkan tentang sepatu yang dibelinya di luar negeri dengan harga Rp. 5 juta. Ia
merasa, Ibunya pasti bangga mengetahuinya, sebagaimana harapan ayahnya dahulu.
Akhirnya,
lengang setelah Bario lelah berceloteh.
“Kamu
kan sudah berhasil Nak. Bukankah sebaiknya kau menikah secepatnya? Kalau Ibu
tidak salah, umurmu kini sudah 35 tahun,” tutur Ratih. “Menikahlah segera Nak,
agar Ibumu yang sudah renta ini, masih sempat menimang cucu sebelum menghadap
Tuhan. Kalau kau tak punya calon, Ibu siap meminta Yanti untuk menikah
denganmu. Dia gadis yang sangat baik Nak. Selama ini, ia selalu menemani dan
membantu Ibu.”
“Apa?
Menikah? Yanti? Aduh, Ibu. Tak usah khawatir soal itu. Kalau aku mau menikah,
kapan saja aku bisa. Ibu tahulah, sekarang kan, aku sudah kaya. Anak Ibu ini
kan, tampan juga. Di kota, banyak wanita yang tergila padaku Bu. Mereka
cantik-cantik, tajir lagi. Yanti tak ada apa-apanya dibanding mereka,” balas
Bario dengan enteng, seperti tanpa beban.
Seketika
juga, bunyi keresek dedaunan dan ranting pepohonan di samping rumah, kembali
terdengar. Lebih berisik dari biasanya. Seperti suara dua ekor binatang yang
sedang beradu. Tapi, itu terdengar hanya sekejap. Sumber suaranya semakin lama,
semakin menjauh, lalu senyap.
Ratih
menolehkan kepalanya. Ia mencoba memfokuskan pendengarannya pada sumber suara.
“Angin
kencang. Sepertinya akan hujan Bu,” tebak Bario yang belum bisa menerka suara
bertanda pada daun-daun pedesaan. Apalagi ia sudah mengantuk. Segera mengakhiri
obrolan malam ini adalah tujuannya. “Sebaiknya Ibu segera tidur.”
“Iya.
Sebaiknya begitu Nak. Apalagi kau pasti capek,” tutur Ratih, sembari tersenyum.
“Oh
iya, karena Ibu baik-baik saja, aku berencana, segera pulang besok. Aku punya
urusan kantor besok lusa Bu. Dalam waktu dekat, aku juga akan ke luar negeri.
Ibu pasti bangga kan? Nantilah kalau aku ke sini, biar kubawa foto-fotoku Bu,
sebagai kenang-kenangan,” tutur Bario, semringah. “Segeralah tidur Bu, supaya
besok, keadaan Ibu bugar dan aku bisa segera pergi.”
Ratih
hanya mengangguk sambil berusaha mempertahankan senyumannya. Raut wajahnya yang
sebelumnya ceria dan tulus, berubah aneh. Ia seperti tak kuasa menerima
kenyatan bahwa besok, anak semata wayangnya itu akan pergi lagi dan tak tahu
kapan akan kembali.
Malam
ini, sepertinya, Ratih akan sulit terlelap.
Dalam
diamnya, Ratih mengingat lagi pernyataannya kala berdebat dengan sang suami,
tentang apakah Bario akan melanjutkan sekolah di bangku SMA atau tidak.
Aku takut kesepian Pak. Aku yakin
tak akan tahan merindukan Bario begitu lama, saat ia berada jauh, di tempat
yang lain. Aku takut anak kita kenapa-kenapa. Aku takut ia berubah. Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, kalau
nanti, ia malah melupakan kita Pak?
Dan
malam itu juga, ada rindu yang tak terbalaskan di hati Ratih. Di satu hati yang
lain, bahkan, ada rindu yang harus terbunuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar