Masyarakat
desa begitu menganggapnya. Jika tanpa dirinya, perhelatan apa pun di desa terasa
kurang lengkap. Makanya, ia selalu diundang di setiap acara sosial, keagamaan,
sampai adat istiadat. Kehadiran dan petuahnya, dirasa sangat penting. Meski
tanpa jabatan formal, ia tampak sebagai tokoh utama. Berwibawa dan terhormat. Tak
berlebihan jika ia dipandang bak penguasa desa. Makmur, namanya.
Keberuntungan
memang berpihak padanya. Kala dahulu, masyarakat kampung masih menganggap
pendidikan tak penting bagi kehidupan, orang tuanya malah memaksakan ia sekolah
tinggi-tinggi. Ongkos sekolah dipaksakan tercukupi dari hasil kebun kopi. Akhirnya,
gelar sarjana dari kampus di kota, kini disandangnya. Ia pun sering menunjukkan
kebolehannya berbicara di depan masyarakat, membahas tentang pentingnya menjaga
nilai-nilai adat dan prinsip hidup masyarakat desa.
Tak
mengherankan, sekembalinya dari kota, ia langsung digadang-gadang menjadi
kepala desa. Berbekal pendidikan formal, masyarakat menganggapnya layak. Apalagi,
sistem pengaturan pemerintahan desa, sudah semakin rumit. Butuh pengetahuan
administrasi dan penguasaan teknologi untuk duduk sebagai pemerintah desa.
Tanpa itu, salah-salah bisa masuk bui.
Syukur
baginya, masyarakat desa yang berhasrat untuk dipimpinnya, masih beradab. Tanggung
jawabnya, jika dipercayakan sebagai kepala desa nanti, akan terasa ringan. Laku
orang kampung yang lekat dengan tindak kriminal rendahan, seperti mabuk,
berjudi, dan mencuri, tak terjadi di desanya. Watak masyarakat kota yang
antisosial, juga belum meracuni mereka. Kehidupan masyarakat desanya penuh
harmoni dan kegotong-royongan. Entahlah nanti, sebab zaman terus berubah.
Dan,
saat ini, selepas masa panen kopi di desanya, masyarakat akan ramai mengadakan pesta.
Hasil panen dirasa tak berberkah tanpa disucikan dengan sejumlah ritual adat. Ia
pun menjadi sangat sibuk menghadiri acara di sana-sini. Seperti malam ini, ia
diundang ke sebuah rumah warga. Namun karena merasa meriang, akhirnya ia maaf
tak bisa hadir. Ia pun meminta kepada warga yang datang mengundangnya, Kumang,
untuk menyampaikan kabarnya ke masyarakat desa jika ditanya.
Seusai
acara, ketika lewat tengah malam, ia terjaga dari lelapnya yang nyaman. Di
bawah bising rintik hujan di atap rumahnya, ia mendengar teriakan seorang wanita
diiringi bunyi kentungan bertalu-talu, tapi samar-samar. Itu adalah tanda
permintaan tolong. Seseorang dalam bahaya. Ia menduga, asalnya dari bukit
sebelah rumahnya. Di sanalah tinggal seorang janda tua bernama Sumi. Tapi, ia
memilih abai, menutup telinganya dengan bantal, sambil berharap pendengarannya salah.
Ia tak berhasrat memastikan, meski rumahnya terdekat dari sumber suara.
Sang
istri di sampingnya, Sumiah, bergeming. Tertidur pulas.
Bunyi
kentungan semakin kencang. Apalagi ditambah bunyi kentungan warga lain. Ia tahu
kalau jika seperti itu, warga kampung pasti tengah berbondong-bondong ke lokasi
kejadian untuk memberikan pertolongan. Bagi warga desa, demi keselamatan sesama,
nyawa pun dipertaruhkan. Tapi sekali lagi, ia memilih membungkam suara hatinya.
Ia berpikir, luka berat atau bahkan mati jika melawan penjahat, akan
berpengaruh terhadap kehidupannya sendiri, anak, dan istrinya. Itulah yang
lebih penting.
Lama-lama,
suara kentungan pun berhenti. Senyap kembali. Hanya terdengar suara gonggongan
anjing dan suara perbincangan warga yang samar-samar. Dipikirnya, keadaan sudah
aman. Kemungkinan pelaku kejahatan itu tertangkap ataukah berhasil melarikan
diri. Dan setelah kejadian itu, muncullah penyesalan di hatinya. Ia merasa
menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari perhatian warga.
Mentari
pun menyambut setelah semalaman ia gusar memikirkan sikapnya sendiri. Sabtu
pagi ini, seperti biasa, warga desa akan melaksanakan kerja bakti, membenahi
fasilitas umum desa. Jika sebelumnya, kesempatan semacam itu dimanfaatkannya untuk
mencuri perhatian warga, kali ini, ia merasa sebaiknya tidak. Ia perlu
menegaskan kepada warga bahwa keadaannya benar-benar belum pulih, sehingga tak
turut mendatangi kejadian semalam.
Dengan
balutan selimut tebal, ia duduk di depan rumahnya selepas menjemur biji kopi. Pandangannya
terjun ke lembah, mengamati tanaman kopinya tumbuh subur.
“Selamat
pagi, Pak Makmur,” sapa Kumang, warga desa yang mengundangnya ke acara syukuran semalam.
Baru saja ia pulang dari kegiatan kerja bakti.
Ia
menjadi kikuk. Khawatir kalau Kumang menanyakan ketidakhadirannya pada
peristiwa semalam. “Pagi, Pak Kumang,” balasnya, setengah enggan, tanpa
embel-embel seperti biasanya.
“Bapak
sudah tahu kejadian semalam?” tanya Kumang.
“Acara
syukuran maksud Bapak?” Ia pura-pura tak paham. “Aku kan sakit, Pak. Jadi, tentu
tak bisa hadir. Bapak kan tahu sendiri. Kabarku sudah Bapak sampaikan ke warga yang lain kan?”
“Oh,
iya. Tentu, Pak. Banyak warga yang bertanya-tanya kenapa Bapak tak hadir di
acara syukuran. Aku sudah jelaskan ke mereka,” balas Kumang, sambil senyum-senyum.
“Tapi masalah kejadian yang kumaksud ini, lain lagi, Pak. Lewat tengah malam
tadi, sekitar jam 2, Ibu Sumi pukul kentungan. Bapak tak dengar?”
Raut
wajahnya seketika berubah padam. Kalang kabut. Lalu, ia menimpali, “Aku tak
dengarlah, Pak. Kan sakit. Tidur harus cepat-cepat. Aku pasti sudah lelap.
Memang, ada kejadian apa Pak? Ada pencurian?”
Kumang
malah tertawa. “Tidak ada apa-apa Pak. Saya kira juga dia kecurian. Sesampainya
di sana, ternyata ia ketakutan setengah mati hanya karena seekor babi
terperangkap di dalam rumahnya. Dia kira itu pencuri, Pak.”
Ia
tersentak mendengar penjelasan Kumang. Meriangnya yang sekarang dibuat-buat, tampak
sembuh total. Ia bersyukur, nama baiknya di mata masyarakat tak akan apa-apa. “Untung
saja aku tak dengar. Sakit-sakit begini, kalau aku tahu, aku pasti ke sana
juga. Bisa-bisa babi itu kucincang hidup-hidup, Pak Kumang,” tuturnya, lalu
tertawa terbahak-bahak.
Setelah
lelah puas menertawakan kejadian yang terkesan lucu semalam, Kumang lalu pamit
pulang.
Di
sisi lain, di dalam hatinya yang terdalam, Makmur merasa berdosa. Ia menyadari
dirinya belumlah pantas memimpin warga desa. Nyatanya, ia tak mempunyai
kriteria sebagai pemimpin: kepedulian, kejujuran, dan keberanian.
Tidak
lama kemudian, istrinya, Sumiah, muncul membawa dua buah gelas kopi. Rencananya,
itu untuk sang suami dan Kumang. Tapi Kumang terlanjut pulang.
Setelah
mengulang-ulang kembali cerita Kumang tentang kejadian semalam dan bosan
tertawa, mereka pun mengobrolkan rencana pada pemilihan kepala desa.
“Bagaimana
Pak, jadi kan nyalon kepala desa?”
Ia
terlihat merenung dalam-dalam, sambil menyeruput kopi. “Masih belum pasti, Bu.
Bapak merasa tidak siap mental untuk memimpin warga desa,” balasnya.
“Kurang
siap apa, Pak? Bapak kan menjadi harapan semua warga desa. Mereka semua tahu
kalau bapak itu pintar dan soleh,” bantah sang istri.
“Iya.
Mungkin saja begitu, Bu. Tapi mereka hanya menilaiku dari luar. Untuk jadi
pemimpin kan tidak butuh pencitraan, apalagi hanya terlihat pintar dan alim, Bu.
Pemimpin sekarang butuh kepedulian, kejujuran, dan keberanian. Dan kurasa, aku
tak punya itu, Bu,” balas Makmur.
“Kata-kata
Bapak barusan, menandakan kalau Bapak itu jujur. Kalau masalah keberanian, aku
tak meragukan Bapak. Andai saja bapak semalam bugar, aku yakin, Bapaklah yang
lebih dulu sampai di rumah Ibu Sumi. Iya, kan?” balas sang istri, terkesan
memaksakan pendapatnya.
Kata-kata
sang istri kembali menguatkan tekad Makmur. Ia memilih untuk kembali
bersembunyi dalam dirinya. Mengukuhkan egonya. Meski dengan ragu-ragu, ia menilai
maju sebagai calon kepala desa adalah pilihan yang tepat. Apalagi itu demi menjaga
dan meningkatkan harkat dan martabat keluarganya di mata warga desa.
Ia
mengangguk-angguk, seakan baru tersadar dari ketersesatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar