Kamis, 21 Juli 2016

Sisi Lain

Masyarakat desa begitu menganggapnya. Jika tanpa dirinya, perhelatan apa pun di desa terasa kurang lengkap. Makanya, ia selalu diundang di setiap acara sosial, keagamaan, sampai adat istiadat. Kehadiran dan petuahnya, dirasa sangat penting. Meski tanpa jabatan formal, ia tampak sebagai tokoh utama. Berwibawa dan terhormat. Tak berlebihan jika ia dipandang bak penguasa desa. Makmur, namanya.
 
Keberuntungan memang berpihak padanya. Kala dahulu, masyarakat kampung masih menganggap pendidikan tak penting bagi kehidupan, orang tuanya malah memaksakan ia sekolah tinggi-tinggi. Ongkos sekolah dipaksakan tercukupi dari hasil kebun kopi. Akhirnya, gelar sarjana dari kampus di kota, kini disandangnya. Ia pun sering menunjukkan kebolehannya berbicara di depan masyarakat, membahas tentang pentingnya menjaga nilai-nilai adat dan prinsip hidup masyarakat desa. 

Tak mengherankan, sekembalinya dari kota, ia langsung digadang-gadang menjadi kepala desa. Berbekal pendidikan formal, masyarakat menganggapnya layak. Apalagi, sistem pengaturan pemerintahan desa, sudah semakin rumit. Butuh pengetahuan administrasi dan penguasaan teknologi untuk duduk sebagai pemerintah desa. Tanpa itu, salah-salah bisa masuk bui.

Syukur baginya, masyarakat desa yang berhasrat untuk dipimpinnya, masih beradab. Tanggung jawabnya, jika dipercayakan sebagai kepala desa nanti, akan terasa ringan. Laku orang kampung yang lekat dengan tindak kriminal rendahan, seperti mabuk, berjudi, dan mencuri, tak terjadi di desanya. Watak masyarakat kota yang antisosial, juga belum meracuni mereka. Kehidupan masyarakat desanya penuh harmoni dan kegotong-royongan. Entahlah nanti, sebab zaman terus berubah.

Dan, saat ini, selepas masa panen kopi di desanya, masyarakat akan ramai mengadakan pesta. Hasil panen dirasa tak berberkah tanpa disucikan dengan sejumlah ritual adat. Ia pun menjadi sangat sibuk menghadiri acara di sana-sini. Seperti malam ini, ia diundang ke sebuah rumah warga. Namun karena merasa meriang, akhirnya ia maaf tak bisa hadir. Ia pun meminta kepada warga yang datang mengundangnya, Kumang, untuk menyampaikan kabarnya ke masyarakat desa jika ditanya.

Seusai acara, ketika lewat tengah malam, ia terjaga dari lelapnya yang nyaman. Di bawah bising rintik hujan di atap rumahnya, ia mendengar teriakan seorang wanita diiringi bunyi kentungan bertalu-talu, tapi samar-samar. Itu adalah tanda permintaan tolong. Seseorang dalam bahaya. Ia menduga, asalnya dari bukit sebelah rumahnya. Di sanalah tinggal seorang janda tua bernama Sumi. Tapi, ia memilih abai, menutup telinganya dengan bantal, sambil berharap pendengarannya salah. Ia tak berhasrat memastikan, meski rumahnya terdekat dari sumber suara.

Sang istri di sampingnya, Sumiah, bergeming. Tertidur pulas.   

Bunyi kentungan semakin kencang. Apalagi ditambah bunyi kentungan warga lain. Ia tahu kalau jika seperti itu, warga kampung pasti tengah berbondong-bondong ke lokasi kejadian untuk memberikan pertolongan. Bagi warga desa, demi keselamatan sesama, nyawa pun dipertaruhkan. Tapi sekali lagi, ia memilih membungkam suara hatinya. Ia berpikir, luka berat atau bahkan mati jika melawan penjahat, akan berpengaruh terhadap kehidupannya sendiri, anak, dan istrinya. Itulah yang lebih penting. 

Lama-lama, suara kentungan pun berhenti. Senyap kembali. Hanya terdengar suara gonggongan anjing dan suara perbincangan warga yang samar-samar. Dipikirnya, keadaan sudah aman. Kemungkinan pelaku kejahatan itu tertangkap ataukah berhasil melarikan diri. Dan setelah kejadian itu, muncullah penyesalan di hatinya. Ia merasa menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari perhatian warga.

Mentari pun menyambut setelah semalaman ia gusar memikirkan sikapnya sendiri. Sabtu pagi ini, seperti biasa, warga desa akan melaksanakan kerja bakti, membenahi fasilitas umum desa. Jika sebelumnya, kesempatan semacam itu dimanfaatkannya untuk mencuri perhatian warga, kali ini, ia merasa sebaiknya tidak. Ia perlu menegaskan kepada warga bahwa keadaannya benar-benar belum pulih, sehingga tak turut mendatangi kejadian semalam. 

Dengan balutan selimut tebal, ia duduk di depan rumahnya selepas menjemur biji kopi. Pandangannya terjun ke lembah, mengamati tanaman kopinya tumbuh subur.

“Selamat pagi, Pak Makmur,” sapa Kumang, warga desa yang mengundangnya ke acara syukuran semalam. Baru saja ia pulang dari kegiatan kerja bakti.

Ia menjadi kikuk. Khawatir kalau Kumang menanyakan ketidakhadirannya pada peristiwa semalam. “Pagi, Pak Kumang,” balasnya, setengah enggan, tanpa embel-embel seperti biasanya.

“Bapak sudah tahu kejadian semalam?” tanya Kumang.

“Acara syukuran maksud Bapak?” Ia pura-pura tak paham. “Aku kan sakit, Pak. Jadi, tentu tak bisa hadir. Bapak kan tahu sendiri. Kabarku sudah Bapak sampaikan ke warga yang lain kan?”

“Oh, iya. Tentu, Pak. Banyak warga yang bertanya-tanya kenapa Bapak tak hadir di acara syukuran. Aku sudah jelaskan ke mereka,” balas Kumang, sambil senyum-senyum. “Tapi masalah kejadian yang kumaksud ini, lain lagi, Pak. Lewat tengah malam tadi, sekitar jam 2, Ibu Sumi pukul kentungan. Bapak tak dengar?”

Raut wajahnya seketika berubah padam. Kalang kabut. Lalu, ia menimpali, “Aku tak dengarlah, Pak. Kan sakit. Tidur harus cepat-cepat. Aku pasti sudah lelap. Memang, ada kejadian apa Pak? Ada pencurian?”

Kumang malah tertawa. “Tidak ada apa-apa Pak. Saya kira juga dia kecurian. Sesampainya di sana, ternyata ia ketakutan setengah mati hanya karena seekor babi terperangkap di dalam rumahnya. Dia kira itu pencuri, Pak.”

Ia tersentak mendengar penjelasan Kumang. Meriangnya yang sekarang dibuat-buat, tampak sembuh total. Ia bersyukur, nama baiknya di mata masyarakat tak akan apa-apa. “Untung saja aku tak dengar. Sakit-sakit begini, kalau aku tahu, aku pasti ke sana juga. Bisa-bisa babi itu kucincang hidup-hidup, Pak Kumang,” tuturnya, lalu tertawa terbahak-bahak.

Setelah lelah puas menertawakan kejadian yang terkesan lucu semalam, Kumang lalu pamit pulang. 

Di sisi lain, di dalam hatinya yang terdalam, Makmur merasa berdosa. Ia menyadari dirinya belumlah pantas memimpin warga desa. Nyatanya, ia tak mempunyai kriteria sebagai pemimpin: kepedulian, kejujuran, dan keberanian.

Tidak lama kemudian, istrinya, Sumiah, muncul membawa dua buah gelas kopi. Rencananya, itu untuk sang suami dan Kumang. Tapi Kumang terlanjut pulang.

Setelah mengulang-ulang kembali cerita Kumang tentang kejadian semalam dan bosan tertawa, mereka pun mengobrolkan rencana pada pemilihan kepala desa.

“Bagaimana Pak, jadi kan nyalon kepala desa?” 

Ia terlihat merenung dalam-dalam, sambil menyeruput kopi. “Masih belum pasti, Bu. Bapak merasa tidak siap mental untuk memimpin warga desa,” balasnya.

“Kurang siap apa, Pak? Bapak kan menjadi harapan semua warga desa. Mereka semua tahu kalau bapak itu pintar dan soleh,” bantah sang istri.

“Iya. Mungkin saja begitu, Bu. Tapi mereka hanya menilaiku dari luar. Untuk jadi pemimpin kan tidak butuh pencitraan, apalagi hanya terlihat pintar dan alim, Bu. Pemimpin sekarang butuh kepedulian, kejujuran, dan keberanian. Dan kurasa, aku tak punya itu, Bu,” balas Makmur.

“Kata-kata Bapak barusan, menandakan kalau Bapak itu jujur. Kalau masalah keberanian, aku tak meragukan Bapak. Andai saja bapak semalam bugar, aku yakin, Bapaklah yang lebih dulu sampai di rumah Ibu Sumi. Iya, kan?” balas sang istri, terkesan memaksakan pendapatnya.

Kata-kata sang istri kembali menguatkan tekad Makmur. Ia memilih untuk kembali bersembunyi dalam dirinya. Mengukuhkan egonya. Meski dengan ragu-ragu, ia menilai maju sebagai calon kepala desa adalah pilihan yang tepat. Apalagi itu demi menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat keluarganya di mata warga desa.

Ia mengangguk-angguk, seakan baru tersadar dari ketersesatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar