Tabiat
Satria memang unik. Umurnya baru sepuluh tahun. Tapi pemikirannya tentang kehidupan,
terlampau dewasa bagi anak-anak seumurannya. Jika sebayanya gemar menonton
sinetron atau kartun, ia malah suka berita. Dahulu, ia memang merengek kalau
tayangan kesukaannya, dipindahkan. Tapi karena ayahnya suka menonton berita yang katanya informatif dan mendidik, ia pun jadi terbiasa juga.
Tayangan
berita yang kerap ditontonnya bersama sang ayah adalah tentang penegakan hukum.
Wajar, sebab ayahnya, Sudarmono, memang seorang polisi bagian reserse yang berurusan
dengan persoalan kriminal. Dan, setiap kali menonton kegagahan para aparat
kepolisian di layar kaca, ia akan mengelu-elukan ayahnya. Jadi bangga
memiliki memiliki sosok ayah seorang pemberantas kejahatan.
Rasa
kagum dari sang anak, memang diharapkan Sudarmono.
Sudarmono
tidak hanya dikagumi sang anak, tetapi juga orang-orang di lingkungan
sekitarnya. Apalagi, ia sering muncul di televisi untuk melaporkan serangkaian
tindak kriminal yang berhasil diselesaikan timnya. Tampil berbicara lantang, penuh
kebanggaan. Semringah memampang wajahnya di depan kemera, sembari menjelaskan detail
identitas pelaku kriminal dan tindakannya. Ia bak malaikat, dan penjahat adalah
iblis.
Terakhir,
Sudarmono berhasil menguak tindak pencurian buah kakao di lingkungan tempat
tinggalnya. Sudah lama warga diresahkan tindakan penilep itu. Secara sigap, ia
mampu mengendus sang pelaku dan menangkapnya saat sedang beraksi di gelap malam.
Mengejutkan. Ia adalah tetangga Sudarmono sendiri, Sumar, seorang warga miskin
yang dikenal baik.
Kasus
Sumar belakangan menyita perhatian publik karena menyentuh sisi kemanusiaan. Sudarmono
pun kerap menuturkan perkembangannya kepada awak media. Inti katanya, belas
kasih harus digantung di depan hukum. Kejahatan, tetaplah kejahatan. Apa mau
dibuat, Sumar harus menerima kenyataan dirinya sebagai penjahat kacangan.
Atas
keberhasilannya menyelesaikan beragam jenis kasus, tidak lama lagi, Sudarmono
akan dihadiahi kenaikan pangkat. Ia dianggap sosok penegak hukum yang patut
diteladani.
Di
luar aksi heroik Sudarmono penuh puja-puji itu, Satria malah merasa ada yang
hilang. Persahabatannya dengan Madun, anak Sumar, retak. Karena itu juga, kali
ini, ia merasa kurang senang atas prestasi ayahnya. Ia pun jadi malas menonton
berita seperti biasanya.
Bagi
Satria, Pak Sumar bukanlah penjahat. Ia tahu betul pesan gurunya di sekolah, kalau
manusia tak luput dari kesalahan. Makanya, setiap orang harus senantiasa
bertobat kepada Tuhan, dan saling memaafkan sesama manusia. Ia yakin, Pak Sumar
hanya khilaf atau terpaksa mencuri kerena tekanan ekonomi.
Kini,
setelah hilang kedekatan dengan Madun, Satria sering berandai-andai, entah
bagaimana jika ia adalah Madun. Tentu, sangat memilukan memiliki sosok ayah
yang dianggap hina di mata orang-orang.
Seminggu
berlalu setelah penangkapan Pak Sumar, Satria mencoba mengunjungi Madun untuk
mengajaknya bermain bersama lagi. Ia menduga, teman dekatnya itu telah menerima
kenyataan akan ayahnya.
“Hai
Madun,” sapa Satria.
Kali
ini, Madun tengah bermain kelereng seorang diri di kolong rumahnya. Padahal,
harus ada lawan dalam permainan tradisional itu. Apa mau dibuat, karena malu
bergaul seperti biasa, ia terpaksa melawan dirinya sendiri.
“Hai. Ada apa?” tutur Madun setelah menjentikkan
bola kelerengnya.
Satria
bingung harus bagaimana membalasnya.
“Ayo
main,” ajak Madun.
Satria
kaget mendengar tutur Madun. Ia tak menduga, temannya yang berpenampilan kucel
itu, akan baik-baik saja dengan apa yang telah terjadi di antara ayah mereka.
“Bagaimana
keadaan ayahmu?” Madun bertanya lagi, sembari menatap tegas mata Satria.
Lagi-lagi,
Satria terheran. Ia merasa, pertanyaan itu harusnya meluncur dari mulutnya.
“Ya, baik-baik saja. Tapi sejak dua hari lalu, ia tak pulang-pulang. Kata ibuku,
ia ada tugas di luar kota,” balas Satria dengan kaku.
Setelah
memosisikan kelerengnya di arena permaian, Madun menyerahkan sebuah kelereng kepada
Satria. Mimik datar. Tapi kalau begitu, ia belum tentu memendam perasaan tak
enak. Kehidupan yang keras, membuatnya jadi susah tersenyum.
Satria
pun menerima kelereng itu, lalu melemparkannya juga ke dalam garis lingkaran,
lapangan permainan. “Kau bagaimana? Maksudku, ayahmu, bagaimana kabarnya?”
tanya Satria, begitu segan.
“Ya,
baik-baik saja. Tadi, aku bicara dengannya lewat telepon,” balas Madun.
“Kau
tahu, aku tak pernah sepaham dengan ayahku yang selalu menilai orang itu jahat,
harus dibalas dengan derita dan kenistaan,” tutur Satria, lalu lekas terdiam.
Ia seperti berpikir, tepatkah kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Maksudku,
aku tahu ayahmu. Dia orang yang baik.” Ia terdiam lagi barang beberapa detik. “Madun,
maafkan ayahku ya. Aku tak ingin kita saling membenci karena kasus itu.”
Karena
kelerengnya lebih mendekati garis tengah, Madun menembak lebih dulu. Jitu. Ia
berhasil memukul keluar kelereng Satria. Sekilas, ia tersenyum bangga.
“Ah,
kau tak usah terbebani karena itu. Ayahku memang salah. Ia mengakui perbuatannya.
Kurasa, kuharap kasus itu akan menyadarkannya kalau semiskin apa pun kami, pasti
ada jalan benar untuk memperoleh rezeki yang halal. Semoga ayahku benar-benar
bertobat dan orang-orang memaafkannya,” tutur Madun.
Satria
terkesima mendengar ucapan bijak Madun, sampai tak tahu harus berkata apa. Ia
kagum menyaksikan ketabahan temannya itu.
“Oh,
ya. Aku harap, ayahmu sabar menghadapi kasusnya. Aku tahu, semua orang percaya
kalau dia orang baik. Aku selalu yakin, penjara tak menentukan bahwa seseorang
yang khilaf, tak punya masa depan untuk memperbaiki dirinya,” lanjut Madun.
“Maksudmu?”
tanya Satria, penuh penasaran. Kali ini, ia bingung.
“Kau
tak menonoton televisi belakangan ini?” Madun balik bertanya.
Satria
menggeleng. “Tidak.”
“Aku
tak ingin menjelaskannya padamu. Sebaiknya, kau segera pulang, lalu menonton
berita. Aku harap kau segera tahu,” tutur Madun, kemudian memunguti semua
kelereng miliknya. Setelah itu, ia bergegas menaiki rumah panggungnya.
Beserta
perasaan yang tak keruan, Satria melangkah pulang ke rumahnya, cepat-cepat. Ia
mulai curiga, kenapa dua hari belakangan, ibunya menyarankan agar ia tak menonton
televisi. Ia pun sepakat saja, tanpa tahu apa alasan ibunya mendukung
keputusannya untuk tak menonton lagi, terutama berita.
Sesampai
di rumah, Satria lekas menyalakan televisi, lalu mencari siaran warta berita.
Beberapa detik kemudian, rasa penasarannya berubah menjadi kekalutan, entah
bagaimana mengistilahkannya. Seakan separuh nyawanya melayang kala menyaksikan
tulisan berjalan di tepi bawah layar: Kompol Sudarmono Diperiksa terkait Kasus
Pemerasan Pelaku Kejahatan yang Ditanganinya
Dan,
sepertinya, hari-hari esok, giliran Satria menyendiri di rumah, menunggu hari
berganti, sampai nanti, Madun datang mengajaknya bermain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar