Sabtu, 30 Juli 2016

Karma

Tabiat Satria memang unik. Umurnya baru sepuluh tahun. Tapi pemikirannya tentang kehidupan, terlampau dewasa bagi anak-anak seumurannya. Jika sebayanya gemar menonton sinetron atau kartun, ia malah suka berita. Dahulu, ia memang merengek kalau tayangan kesukaannya, dipindahkan. Tapi karena ayahnya suka menonton berita yang katanya informatif dan mendidik, ia pun jadi terbiasa juga.
 
Tayangan berita yang kerap ditontonnya bersama sang ayah adalah tentang penegakan hukum. Wajar, sebab ayahnya, Sudarmono, memang seorang polisi bagian reserse yang berurusan dengan persoalan kriminal. Dan, setiap kali menonton kegagahan para aparat kepolisian di layar kaca, ia akan mengelu-elukan ayahnya. Jadi bangga memiliki memiliki sosok ayah seorang pemberantas kejahatan. 

Rasa kagum dari sang anak, memang diharapkan Sudarmono.

Sudarmono tidak hanya dikagumi sang anak, tetapi juga orang-orang di lingkungan sekitarnya. Apalagi, ia sering muncul di televisi untuk melaporkan serangkaian tindak kriminal yang berhasil diselesaikan timnya. Tampil berbicara lantang, penuh kebanggaan. Semringah memampang wajahnya di depan kemera, sembari menjelaskan detail identitas pelaku kriminal dan tindakannya. Ia bak malaikat, dan penjahat adalah iblis. 

Terakhir, Sudarmono berhasil menguak tindak pencurian buah kakao di lingkungan tempat tinggalnya. Sudah lama warga diresahkan tindakan penilep itu. Secara sigap, ia mampu mengendus sang pelaku dan menangkapnya saat sedang beraksi di gelap malam. Mengejutkan. Ia adalah tetangga Sudarmono sendiri, Sumar, seorang warga miskin yang dikenal baik.  

Kasus Sumar belakangan menyita perhatian publik karena menyentuh sisi kemanusiaan. Sudarmono pun kerap menuturkan perkembangannya kepada awak media. Inti katanya, belas kasih harus digantung di depan hukum. Kejahatan, tetaplah kejahatan. Apa mau dibuat, Sumar harus menerima kenyataan dirinya sebagai penjahat kacangan. 

Atas keberhasilannya menyelesaikan beragam jenis kasus, tidak lama lagi, Sudarmono akan dihadiahi kenaikan pangkat. Ia dianggap sosok penegak hukum yang patut diteladani. 

Di luar aksi heroik Sudarmono penuh puja-puji itu, Satria malah merasa ada yang hilang. Persahabatannya dengan Madun, anak Sumar, retak. Karena itu juga, kali ini, ia merasa kurang senang atas prestasi ayahnya. Ia pun jadi malas menonton berita seperti biasanya.

Bagi Satria, Pak Sumar bukanlah penjahat. Ia tahu betul pesan gurunya di sekolah, kalau manusia tak luput dari kesalahan. Makanya, setiap orang harus senantiasa bertobat kepada Tuhan, dan saling memaafkan sesama manusia. Ia yakin, Pak Sumar hanya khilaf atau terpaksa mencuri kerena tekanan ekonomi. 

Kini, setelah hilang kedekatan dengan Madun, Satria sering berandai-andai, entah bagaimana jika ia adalah Madun. Tentu, sangat memilukan memiliki sosok ayah yang dianggap hina di mata orang-orang. 

Seminggu berlalu setelah penangkapan Pak Sumar, Satria mencoba mengunjungi Madun untuk mengajaknya bermain bersama lagi. Ia menduga, teman dekatnya itu telah menerima kenyataan akan ayahnya. 

“Hai Madun,” sapa Satria. 

Kali ini, Madun tengah bermain kelereng seorang diri di kolong rumahnya. Padahal, harus ada lawan dalam permainan tradisional itu. Apa mau dibuat, karena malu bergaul seperti biasa, ia terpaksa melawan dirinya sendiri.

 “Hai. Ada apa?” tutur Madun setelah menjentikkan bola kelerengnya.

Satria bingung harus bagaimana membalasnya.

“Ayo main,” ajak Madun.

Satria kaget mendengar tutur Madun. Ia tak menduga, temannya yang berpenampilan kucel itu, akan baik-baik saja dengan apa yang telah terjadi di antara ayah mereka. 

“Bagaimana keadaan ayahmu?” Madun bertanya lagi, sembari menatap tegas mata Satria. 

Lagi-lagi, Satria terheran. Ia merasa, pertanyaan itu harusnya meluncur dari mulutnya. “Ya, baik-baik saja. Tapi sejak dua hari lalu, ia tak pulang-pulang. Kata ibuku, ia ada tugas di luar kota,” balas Satria dengan kaku. 

Setelah memosisikan kelerengnya di arena permaian, Madun menyerahkan sebuah kelereng kepada Satria. Mimik datar. Tapi kalau begitu, ia belum tentu memendam perasaan tak enak. Kehidupan yang keras, membuatnya jadi susah tersenyum.

Satria pun menerima kelereng itu, lalu melemparkannya juga ke dalam garis lingkaran, lapangan permainan. “Kau bagaimana? Maksudku, ayahmu, bagaimana kabarnya?” tanya Satria, begitu segan.
“Ya, baik-baik saja. Tadi, aku bicara dengannya lewat telepon,” balas Madun.

“Kau tahu, aku tak pernah sepaham dengan ayahku yang selalu menilai orang itu jahat, harus dibalas dengan derita dan kenistaan,” tutur Satria, lalu lekas terdiam. Ia seperti berpikir, tepatkah kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Maksudku, aku tahu ayahmu. Dia orang yang baik.” Ia terdiam lagi barang beberapa detik. “Madun, maafkan ayahku ya. Aku tak ingin kita saling membenci karena kasus itu.”

Karena kelerengnya lebih mendekati garis tengah, Madun menembak lebih dulu. Jitu. Ia berhasil memukul keluar kelereng Satria. Sekilas, ia tersenyum bangga. 

“Ah, kau tak usah terbebani karena itu. Ayahku memang salah. Ia mengakui perbuatannya. Kurasa, kuharap kasus itu akan menyadarkannya kalau semiskin apa pun kami, pasti ada jalan benar untuk memperoleh rezeki yang halal. Semoga ayahku benar-benar bertobat dan orang-orang memaafkannya,” tutur Madun.

Satria terkesima mendengar ucapan bijak Madun, sampai tak tahu harus berkata apa. Ia kagum menyaksikan ketabahan temannya itu. 

“Oh, ya. Aku harap, ayahmu sabar menghadapi kasusnya. Aku tahu, semua orang percaya kalau dia orang baik. Aku selalu yakin, penjara tak menentukan bahwa seseorang yang khilaf, tak punya masa depan untuk memperbaiki dirinya,” lanjut Madun.

“Maksudmu?” tanya Satria, penuh penasaran. Kali ini, ia bingung.

“Kau tak menonoton televisi belakangan ini?” Madun balik bertanya.

Satria menggeleng. “Tidak.”

“Aku tak ingin menjelaskannya padamu. Sebaiknya, kau segera pulang, lalu menonton berita. Aku harap kau segera tahu,” tutur Madun, kemudian memunguti semua kelereng miliknya. Setelah itu, ia bergegas menaiki rumah panggungnya.

Beserta perasaan yang tak keruan, Satria melangkah pulang ke rumahnya, cepat-cepat. Ia mulai curiga, kenapa dua hari belakangan, ibunya menyarankan agar ia tak menonton televisi. Ia pun sepakat saja, tanpa tahu apa alasan ibunya mendukung keputusannya untuk tak menonton lagi, terutama berita. 

Sesampai di rumah, Satria lekas menyalakan televisi, lalu mencari siaran warta berita. Beberapa detik kemudian, rasa penasarannya berubah menjadi kekalutan, entah bagaimana mengistilahkannya. Seakan separuh nyawanya melayang kala menyaksikan tulisan berjalan di tepi bawah layar: Kompol Sudarmono Diperiksa terkait Kasus Pemerasan Pelaku Kejahatan yang Ditanganinya

Dan, sepertinya, hari-hari esok, giliran Satria menyendiri di rumah, menunggu hari berganti, sampai nanti, Madun datang mengajaknya bermain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar