Jumat, 22 Juli 2016

Melarang Kesenangan


Hak bagi setiap orang untuk merasakan kesenangan. Itu juga berarti, setiap orang berhak mencari sumber kesenangan, baik bentuknya materi ataupun nonmateri, melalui pendekatan jasmani ataupun rohani. Jadi, mencari dan merasakan kesenangan, merupakan hak individual. Karena ranahnya yang individual, maka di sisi lain, setiap orang harus mengupayakan untuk tidak mengganggu hak kesenangan orang lain.

Mencari kesenangan, tidak berarti bebas, sampai menimpakan kerugian kepada orang lain. Bisa jadi, seseorang senang atas sebuah hal, tapi bagi orang lain malah merasakan derita. Keadaan itulah yang perlu dihindari. Namun, selagi kesenangan hanya berdampak secara individual bagi pencari kesenangan, maka siapa pun, harus menghargainya. Bahkan campur tangan otoritas yang mengatasnamakan kepentingan umum, juga harus diminimalisir. 

Kesenangan bagi setiap orang, sama pentingnya dengan kebutuhan dasar atas meteri. Jika makan diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan fisik, maka kesenangan yang bersumber dari aktivitas hiburan, merupakan kebutuhan jiwa. Untuk itu, di hidup yang membutuhkan keseimbangan ini, jelas tidak tepat kalau salah satu kebutuhan saja yang terpenuhi, lalu mengabaikan kebutuhan yang lain.

Tapi belakangan, tindakan melarang kesenangan terus bermunculan. Entah karena latah atau memang kolot, banyak kebijakan yang mengatasnamakan kebaikan bersama, malah merampas kesenangan individual yang notabene asasi. Atas nama kepentingan umum, otoritas tertentu merampas kesenangan seseorang. Individu dipaksa merelakan sumber kesenangannya diboikot. Dilarang senang sendiri-sendiri.

Tindakan melarang kesenangan, terlihat pada sejumlah fenomena kehidupan. Misalnya saja pelarangan atas sejumlah produk makanan, perangkat teknologi, buku-buku, karya seni, sampai pada aplikasi game. Padahal kesemua itu adalah sumber kesenangan yang harusnya menjadi pilihan bebas setiap orang. Kalau pun dianggap mendatangkan keburukan, kebijakan pelarangan, bukanlah jalan terbaik.

Memberedel sumber kesenangan, sama saja dengan menutup jalan menggapai rasa senang. Padahal, naluri individual pada setiap orang, akan terus memberikan dorongan untuk mencari dan merasakan kesenangan. Memusnahkan sumber kesenangan tanpa alasan objektif, nantinya malah membuat seseorang kehilangan nikmat kehidupan, ataukah mencari sumber kesenangan yang terlarang. 

Kekhawatiran beberapa orang yang menilai sumber kesenangan tertentu mendatangkan dampak negatif, sama sekali tidak patut jadi alasan pembenaran terhadap tindakan pelarangan kesenangan. Sebab pada banyak hal, yang dibutuhkan hanyalah pengaturan agar kesenangan sebagai hak, tidak membuat seseorang terlena dan melupakan kewajibannya. Kalau semisal sumber kesenangan hanya dijelajahi di sela-sela waktu, atau bahwa sebagai pelepas penat, maka jelas itu penting.

Kalau pun pada akhirnya, atas pertimbangan rasional, ternyata sebuah sumber kesenangan mendatangkan dampak negatif yang luar biasa, sehingga harus dilarang, maka pelarangan itu, harus diikuti upaya pengalihan sumber kesenangan. Kebutuhan setiap orang untuk mencari kesenangan, harus tetap terwadahi. Jika pelarangan itu tanpa pengalihan, maka pencari kesenangan akan mencari jalannya sendiri, yang mungkin saja lebih buruk.

Merujuk pada kejadian belakangan ini, jika pihak tertentu merasa bahwa game berbasis teknologi membuat anak-anak jadi antisosial, maka melarangan bermain game, bukanlah solusi tepat. Apalagi dunia anak-anak, memang berorientasi pada kesenangan. Maka, jalan terbaik yang harusnya dilakukan adalah membangun suasana, serta memfasilitasi kesenangan anak-anak agar beralih ke permainan tradisional yang jitu dalam membangun relasi sosial. Teknisnya dengan membangun pusat permainan tradisional, diikuti festival dan kompetisi secara rutin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar