Selasa, 12 Juli 2016

Kerusuhan Media Sosial

Psywar (psychological warfare) atau perang urat saraf, belakangan menjadi sering disebut-sebut. Istilah ini berarti penggunaan pendekatan psikologi untuk menjatuhkan mental lawan sebelum bertanding. Caranya dengan menggembar-gemborkan kelebihan pihak sendiri, dan merendahkan kemampuan pihak lawan. Taktik semacam ini biasa juga dilakukan melalui media sosial. Pernyataan-pernyataan bernuasa sindiran yang provokatif, sengaja dilayangkan di dunia maya untuk “memanas-manasi” pihak kontra.
 
Masyarakat di abad XXI, sulit dipisahkan dari media sosial berbasis internet. Faktor kepraktisan, menjadi pendorong utama fenomena kehidupan ini. Berkomunikasi di media sosial, akhirnya, tidak lagi menjadi selingan di celah waktu, tapi telah menjadi kebutuhan yang menyita begitu banyak waktu. Apalagi, pengguna internet, biasanya menggunakan lebih dari satu aplikasi media sosial. Jadinya, komunikasi tanpa berbatas yang dapat berujung pada perang urat saraf pun, mengalir deras di ranah dunia maya, media sosial. 

Tujuan utama dari pengembangan aplikasi media sosial, terus diingkari dari waktu ke waktu. Media sosial yang seharusnya dijadikan wadah perekat antarindividu yang terpisah ruang dan waktu, nyatanya malah membuat manusia terasing dari nuraninya. Karena media sosiallah, belakangan, orang-orang tak lagi saling menghargai. Sejumlah orang menjadi “ringan jari” mengetik kata-kata, tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Etika yang berlaku di dunia nyata, acap kali diabaikan di media sosial, bahkan sampai berujung pada pelanggaran hukum. 

Kerusahan-kerusuhan di media sosial, tak terkendali dan sulit untuk dihindari. Pertikaian pernyataan sudah menjadi pemandangan umum. Grasak-grusuk tak keruan, terus berlangsung. Tapi, pertikaian di media sosial itu, bukanlah sungguhan. Sering terjadi, perbincangan panas di media sosial hanya berlangsung dalam kurun waktu yang singkat, dan lambat-laun akan berakhir dengan sendirinya. Alasannya karena kerusuhan itu tak lebih dari sekadar pertikaian pernyataan yang didasari kelabilan emosi atau keusilan belaka.

Banyak persolan yang menjadi besar atau sengaja dibersar-besarkan di media sosial. Persoalan yang kelihatannya sederhana, dapat menjadi masalah jika setiap orang, tanpa rasa, turut andil memanas-manaskan suasana melalui komentar miringnya. Pertikaian pendapat pun, bisa ditafsir berujung pada kerusuhan di dunia nyata. Kehidupan jadinya sangat menakutkan. Padahal sesungguhnya, persoalan itu menjadi masalah akibat kebiasaan menganggap bahwa kanyataan di media sosial yang maya, linear dengan kenyataan dalam dunia nyata. Dikira, pertikaian pendapat di dunia maya, akan terwujud, persis sama di dunia nyata. Akhirnya, setiap orang merasakan ketakutan di dunia nyata, setara dengan ketakutannya di dunia maya. 

Kecerdasan dalam bermedia sosial, sudah saatnya dianut setiap orang. Memisahkan secara jernih antara kenyataan di media sosial dan dunia nyata, perlu dijadikan prinsip. Menerima mentah-mentah pernyataan di media sosial tanpa pertimbangan secara bijak, akan membuat orang buta dalam melihat kenyataan seungguhnya. Intinya, kesan-kesan yang timbul dari media sosial, tak semestinya dicitrakan sama persis dalam dunia nyata. Dunia maya media sosial yang penuh kerusuhan, tak boleh membuat dunia nyata yang sebenarnya tenang-tenang saja, malah ikut menjadi rusuh.

Tentu, tak semua informasi yang diperoleh di media sosial, tak berkorelasi dengan dunia nyata. Apa yang hangat diperbincangkan di media sosial, kadang kala, memang berangkat dari kenyataan sesungguhnya di dunia nyata. Meski begitu, pernyataan-pernyataan yang terungkap di media sosial, selayaknya hanya dijadikan referensi untuk direfleksikan kembali dalam dunia nyata. Upaya verifikasi menjadi sangat penting. Jangan sampailah, kerusuhan di dunia nyata, hanya diakibatkan oleh penafiran atau pernyataan pribadi seseorang yang diungkapkan melalui media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar