Psywar (psychological warfare) atau perang urat saraf, belakangan menjadi
sering disebut-sebut. Istilah ini berarti penggunaan pendekatan psikologi untuk
menjatuhkan mental lawan sebelum bertanding. Caranya dengan
menggembar-gemborkan kelebihan pihak sendiri, dan merendahkan kemampuan pihak
lawan. Taktik semacam ini biasa juga dilakukan melalui media sosial. Pernyataan-pernyataan
bernuasa sindiran yang provokatif, sengaja dilayangkan di dunia maya untuk
“memanas-manasi” pihak kontra.
Masyarakat
di abad XXI, sulit dipisahkan dari media sosial berbasis internet. Faktor kepraktisan,
menjadi pendorong utama fenomena kehidupan ini. Berkomunikasi di media sosial,
akhirnya, tidak lagi menjadi selingan di celah waktu, tapi telah menjadi
kebutuhan yang menyita begitu banyak waktu. Apalagi, pengguna internet,
biasanya menggunakan lebih dari satu aplikasi media sosial. Jadinya, komunikasi
tanpa berbatas yang dapat berujung pada perang urat saraf pun, mengalir deras
di ranah dunia maya, media sosial.
Tujuan
utama dari pengembangan aplikasi media sosial, terus diingkari dari waktu ke
waktu. Media sosial yang seharusnya dijadikan wadah perekat antarindividu yang
terpisah ruang dan waktu, nyatanya malah membuat manusia terasing dari
nuraninya. Karena media sosiallah, belakangan, orang-orang tak lagi saling
menghargai. Sejumlah orang menjadi “ringan jari” mengetik kata-kata, tanpa
mempedulikan perasaan orang lain. Etika yang berlaku di dunia nyata, acap kali
diabaikan di media sosial, bahkan sampai berujung pada pelanggaran hukum.
Kerusahan-kerusuhan
di media sosial, tak terkendali dan sulit untuk dihindari. Pertikaian
pernyataan sudah menjadi pemandangan umum. Grasak-grusuk tak keruan, terus
berlangsung. Tapi, pertikaian di media sosial itu, bukanlah sungguhan. Sering
terjadi, perbincangan panas di media sosial hanya berlangsung dalam kurun waktu
yang singkat, dan lambat-laun akan berakhir dengan sendirinya. Alasannya karena
kerusuhan itu tak lebih dari sekadar pertikaian pernyataan yang didasari
kelabilan emosi atau keusilan belaka.
Banyak
persolan yang menjadi besar atau sengaja dibersar-besarkan di media sosial.
Persoalan yang kelihatannya sederhana, dapat menjadi masalah jika setiap orang,
tanpa rasa, turut andil memanas-manaskan suasana melalui komentar miringnya. Pertikaian
pendapat pun, bisa ditafsir berujung pada kerusuhan di dunia nyata. Kehidupan
jadinya sangat menakutkan. Padahal sesungguhnya, persoalan itu menjadi masalah akibat
kebiasaan menganggap bahwa kanyataan di media sosial yang maya, linear dengan
kenyataan dalam dunia nyata. Dikira, pertikaian pendapat di dunia maya, akan terwujud,
persis sama di dunia nyata. Akhirnya, setiap orang merasakan ketakutan di dunia
nyata, setara dengan ketakutannya di dunia maya.
Kecerdasan
dalam bermedia sosial, sudah saatnya dianut setiap orang. Memisahkan secara
jernih antara kenyataan di media sosial dan dunia nyata, perlu dijadikan
prinsip. Menerima mentah-mentah pernyataan di media sosial tanpa pertimbangan secara
bijak, akan membuat orang buta dalam melihat kenyataan seungguhnya. Intinya,
kesan-kesan yang timbul dari media sosial, tak semestinya dicitrakan sama
persis dalam dunia nyata. Dunia maya media sosial yang penuh kerusuhan, tak
boleh membuat dunia nyata yang sebenarnya tenang-tenang saja, malah ikut
menjadi rusuh.
Tentu,
tak semua informasi yang diperoleh di media sosial, tak berkorelasi dengan
dunia nyata. Apa yang hangat diperbincangkan di media sosial, kadang kala, memang
berangkat dari kenyataan sesungguhnya di dunia nyata. Meski begitu, pernyataan-pernyataan
yang terungkap di media sosial, selayaknya hanya dijadikan referensi untuk direfleksikan
kembali dalam dunia nyata. Upaya verifikasi menjadi sangat penting. Jangan
sampailah, kerusuhan di dunia nyata, hanya diakibatkan oleh penafiran atau pernyataan
pribadi seseorang yang diungkapkan melalui media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar