Reaksi
beberapa orang terhadap sebuah persoalan, tentu dapat berujung pada perbedaan
paham. Paham yang dimaksud di sini bisa berarti tingkat pengetahuan, sampai
pada konsep pandangan. Perbedaan itu terjadi akibat ketidakmampuan setiap orang
untuk mempersamakan pengertiannya atas pesan yang diterimanya. Bisa pula
diakibatkan perspektif yang digunakan berbeda, sehingga menghasilkan persepsi
yang berbeda pula.
Cara
pikir yang tak sejalan, bahkan bertentangan, adalah faktor utama perbedaan
paham. Ketidaksepahaman, tak lain, akibat dari perbedaan pemaknaan atas sebuah
persoalan. Perbedaan itu lahir dari pola pikir yang tidak sama. Meski begitu, pemikiran
seseorang yang berbeda-beda, tak bisa disalahkan. Cara berpikir, sampai
berujung pada sebuah paham yang diyakini, merupakan hak individual yang asasi.
Nilai
kebenaran yang dipahami, sebagai buah dari proses berpikir, tak lain adalah
wujud dari persepsi subjektif. Setiap orang, pada akhirnya, dapat berbeda-beda
paham. Itu tergantung pada cara setiap orang menggunakan daya pikiran. Cara
yang berbeda, tentu akan berujung pada akhir yang berbeda pula. Begitulah yang
terjadi.
Tentu
mustahil untuk menyamakan cara berpikir setiap orang, apalagi menyamakan paham
yang merupakan hasil dari proses berpikir. Dengan cara apa pun, paham seseorang
tak akan bisa diubah, kecuali ia sendiri menyadari bahwa pahamnya harus diubah.
Bahkan, meski secara lahiriah, seseorang terlihat tak menjalankan pahamnya
karena alasan tertentu, belum tentu ia mengingkari pahamnya, sebab paham yang
sejati, tetap yang tersirat di dalam jiwanya.
Perbedaan
paham, merupakan persoalan yang mendasar. Apalagi, paham yang berbeda, pasti
berujung pada perbedaan cara berperilaku. Setiap orang pasti bersikap sesuai
dengan nilai yang diakuinya benar, yang dipahaminya. Segala hal yang tampak
pada pribadi seseorang, senantiasa sejalan dengan paham yang diyakininya.
Kalau
paham seseorang sejalan dengan perilakunya, maka menilai tindak-tanduk
seseorang, juga berarti menilai paham yang diyakininya, termasuk juga cara
berpikirnya. Sejalan dengan asumsi itu, maka mempermasalahkan seseorang atas
perilakunya, sama dengan mempermasalahkan paham yang diyakininya, juga
mempermasalahkan cara berpikirnya.
Mengingat
bahwa perbedaan cara berpikir dan paham setiap orang adalah hak asasi, dan
wajar jika terjadi, maka perbedaan dalam perilaku lahiriah, juga harus diakui
sebagai hal yang wajar. Untuk itu, setiap orang harus diberikan jaminan kebebasan
untuk mengaplikasikan pahamnya. Tentu dengan catatan bahwa perwujudan paham itu,
tidak mengganggu hak-hak orang lain untuk mewujudkan pahamnya juga.
Jika
beda perilaku sebagai perwujudan paham adalah manusiawi dan wajar, maka memaksakan
seseorang untuk mengimplementasikan atau mengingkari paham tertentu adalah
tindakan yang sia-sia, sebab akar dari semua tindakan lahiriah adalah paham
yang abstrak. Keinginan menyeragamkan paham adalah cita-cita yang mustahil.
Apalagi jika menyadari bahwa dalam satu pokok paham pun, perbedaan dapat
terjadi, misalnya berbeda pada bagaimana cara mewujudkan paham itu.
Kalau
tak mungkin menyamakan paham pada semua orang, maka setiap orang sebisanya hanya
perlu sebatas menawarkan pahamnya pada orang lain, tanpa paksaan dan tipuan. Penawaran
paham dengan disertai argumentasi yang baik, akan efektif dalam mengubah paham
seseorang. Perilaku lahiriah pun akan turut berubah seiring dengan perubahan
paham. Untuk itu, tawar-menawar paham adalah jalan terbaik untuk mengubah
keadaan.
Sudah
saatnya saling mengerti bahwa perbedaan paham dan perwujudannya, tak seharusnya
dijadikan alasan untuk saling menyalahkan. Mencap seseorang salah atas paham
yang diyakininya, sama saja dengan menyalahkan ikan hidup di air. Sungguh kejam
dan bodoh jika memaksakan seseorang meyakini paham tertentu. Maka dari itu, sudah
sepantasnyalah setiap orang untuk saling menghargai paham masing-masing,
sembari saling menasihati sesuai paham yang diyakini, tentu cara-cara yang
damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar