Minggu, 03 Juli 2016

Beda Paham

Reaksi beberapa orang terhadap sebuah persoalan, tentu dapat berujung pada perbedaan paham. Paham yang dimaksud di sini bisa berarti tingkat pengetahuan, sampai pada konsep pandangan. Perbedaan itu terjadi akibat ketidakmampuan setiap orang untuk mempersamakan pengertiannya atas pesan yang diterimanya. Bisa pula diakibatkan perspektif yang digunakan berbeda, sehingga menghasilkan persepsi yang berbeda pula.
 
Cara pikir yang tak sejalan, bahkan bertentangan, adalah faktor utama perbedaan paham. Ketidaksepahaman, tak lain, akibat dari perbedaan pemaknaan atas sebuah persoalan. Perbedaan itu lahir dari pola pikir yang tidak sama. Meski begitu, pemikiran seseorang yang berbeda-beda, tak bisa disalahkan. Cara berpikir, sampai berujung pada sebuah paham yang diyakini, merupakan hak individual yang asasi. 

Nilai kebenaran yang dipahami, sebagai buah dari proses berpikir, tak lain adalah wujud dari persepsi subjektif. Setiap orang, pada akhirnya, dapat berbeda-beda paham. Itu tergantung pada cara setiap orang menggunakan daya pikiran. Cara yang berbeda, tentu akan berujung pada akhir yang berbeda pula. Begitulah yang terjadi.

Tentu mustahil untuk menyamakan cara berpikir setiap orang, apalagi menyamakan paham yang merupakan hasil dari proses berpikir. Dengan cara apa pun, paham seseorang tak akan bisa diubah, kecuali ia sendiri menyadari bahwa pahamnya harus diubah. Bahkan, meski secara lahiriah, seseorang terlihat tak menjalankan pahamnya karena alasan tertentu, belum tentu ia mengingkari pahamnya, sebab paham yang sejati, tetap yang tersirat di dalam jiwanya.   

Perbedaan paham, merupakan persoalan yang mendasar. Apalagi, paham yang berbeda, pasti berujung pada perbedaan cara berperilaku. Setiap orang pasti bersikap sesuai dengan nilai yang diakuinya benar, yang dipahaminya. Segala hal yang tampak pada pribadi seseorang, senantiasa sejalan dengan paham yang diyakininya.

Kalau paham seseorang sejalan dengan perilakunya, maka menilai tindak-tanduk seseorang, juga berarti menilai paham yang diyakininya, termasuk juga cara berpikirnya. Sejalan dengan asumsi itu, maka mempermasalahkan seseorang atas perilakunya, sama dengan mempermasalahkan paham yang diyakininya, juga mempermasalahkan cara berpikirnya.

Mengingat bahwa perbedaan cara berpikir dan paham setiap orang adalah hak asasi, dan wajar jika terjadi, maka perbedaan dalam perilaku lahiriah, juga harus diakui sebagai hal yang wajar. Untuk itu, setiap orang harus diberikan jaminan kebebasan untuk mengaplikasikan pahamnya. Tentu dengan catatan bahwa perwujudan paham itu, tidak mengganggu hak-hak orang lain untuk mewujudkan pahamnya juga. 

Jika beda perilaku sebagai perwujudan paham adalah manusiawi dan wajar, maka memaksakan seseorang untuk mengimplementasikan atau mengingkari paham tertentu adalah tindakan yang sia-sia, sebab akar dari semua tindakan lahiriah adalah paham yang abstrak. Keinginan menyeragamkan paham adalah cita-cita yang mustahil. Apalagi jika menyadari bahwa dalam satu pokok paham pun, perbedaan dapat terjadi, misalnya berbeda pada bagaimana cara mewujudkan paham itu.

Kalau tak mungkin menyamakan paham pada semua orang, maka setiap orang sebisanya hanya perlu sebatas menawarkan pahamnya pada orang lain, tanpa paksaan dan tipuan. Penawaran paham dengan disertai argumentasi yang baik, akan efektif dalam mengubah paham seseorang. Perilaku lahiriah pun akan turut berubah seiring dengan perubahan paham. Untuk itu, tawar-menawar paham adalah jalan terbaik untuk mengubah keadaan.

Sudah saatnya saling mengerti bahwa perbedaan paham dan perwujudannya, tak seharusnya dijadikan alasan untuk saling menyalahkan. Mencap seseorang salah atas paham yang diyakininya, sama saja dengan menyalahkan ikan hidup di air. Sungguh kejam dan bodoh jika memaksakan seseorang meyakini paham tertentu. Maka dari itu, sudah sepantasnyalah setiap orang untuk saling menghargai paham masing-masing, sembari saling menasihati sesuai paham yang diyakini, tentu cara-cara yang damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar